Kejanggalan Terhadap Pemanggilan Reporter Balairung Sebagai Saksi Kasus Pemerkosaan
Pemanggilan Citra Maudy, reporter BPPM Balairung oleh polisi sebagai saksi atas kasus pemerkosaan dirasa janggal dan terdapat indikasi kriminalisasi.
Citra Maudy selaku penulis “Nalar Pincang UGM atas Kasus Perkosaan” memenuhi panggilan oleh Polda D.I. Yogyakarta sebagai saksi terkait dugaan tindak pidana pemerkosaan dan pencabulan kepada Agni.
Pemanggilan tersebut berdasarkan pada aduan yang diajukan oleh Arif Nur Cahyo, Kepala Satuan Keamanan Kampus (SKK) UGM dengan nomor S.Pgl/2450/XII/2018/Ditreskrimum.
Dalam konferensi pers yang diselenggarakan kantor LBH Yogyakarta, pada Rabu (16/01). Yogi Zulfadhli, kuasa hukum Citra menilai ada yang ganjil terhadap pemanggilan Citra sebagai saksi dari kasus pemerkosaan mahasiswi UGM bernama Agni (bukan nama sebenarnya).
Menurut Yogi, Citra tidak dapat dikategorikan sebagai saksi. Dikarenakan peran citra hanya sebagai pencari berita dan mempublikasikannya melalui website Balairung.
Jika merujuk kepada kategori saksi berdasarkan KUHP, saksi merupakan orang yang melihat, mengetahui, mendengar, dan mengalami sendiri peristiwa pidananya, sehingga Citra juga tidak termasuk dalam kategori tersebut.
Saat Citra diperiksa, Yogi mengungkapkan penyidik justru lebih banyak mengulik isi berita dan proses reportase yang dilakukan. Pertanyaan-pertanyaan yang garis besarnya seperti, siapa saja narasumber yang ditemui, di mana menjumpainya, apa yang disampaikan si narasumber hingga pertanyaan apakah berita ini benar atau hoax, dilontarkan oleh penyidik.
Dalam kasus Agni, posisi BPPM Balairung hanya sebagai pewarta yang mencari berita, yang kerjanya terikat dengan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
Dalam pasal 4 ayat 4 UU 40/1999 sudah terang dinyatakan, dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan punya hak tolak. Tujuan utama hak tolak adalah agar wartawan dapat melindungi sumber-sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber informasi.
Hal tersebut dapat digunakan jika wartawan dimintai keterangan oleh pejabat penyidik dan atau diminta menjadi saksi di pengadilan. Serupa dengan pasal 4 ayat4, di dalam Pasal 7 KEJ juga sudah memberikan Batasan bagi jurnalis, di mana jurnalis punya hak tolak.
Hak tolak adalah hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya. Namun polisi tampaknya abai terhadap ketentuan ini.
Dilansir dari lpmarena.com Dalam pemanggilannya, Citra mengaku dicecar beberapa pertanyaan yang justru di luar substansi kasus, yang mengarah pada tindakan Citra sendiri sebagai reporter.
Seperti, identitas narasumber yang dianonimkan, di mana menjumpainya, bagaimana kondisi korban ketika diwawancara, hingga apa hingga pertanyaan mengenai apakah berita ini benar atau hoax.
Kegagalan Polisi Dalam Memahami Kasus Pemerkosaan
Alih-alih mempersoalkan kasus perkosaan itu sendiri, Yogi menilai justru penyidik malah mempermasalahkan pemberitaan kasus pemerkosaan yang ditulis oleh Citra.
Dilansir dari ekspresionline.com dugaan Yogi berdasarkan kepada pernyataan yang dikeluarkan Direktur Ditreskrimum Polda DIY yang mempersoalkan kebenaran berita dari BPPM Balairung.
Tindakan yang dilakukan Polda DIY dapat dinilai sebagai kegagalan paham dalam menangani kasus ini. Sebab, Citra yang dipanggil sebagai saksi atas kasus perkosaan namun yang dikejar penyidik justru mengenai kebenaran berita yang ditulisnya.
Menurut Yogi, kalau memang yang dipermasalahkan adalah beritanya, maka pendekatan yang dipakai harusnya melalui UU Pers atau mekanisme jurnalistik lainnya, bukan menggunakan pendekatan pidana.
Pito Agustin Rudiana anggota LBH Pers Yogyakarta, mengungkapkan Dewan pers sudah memiliki Memorandum of Understanding (MoU) dengan Polri mengenai penanganan kasus yang berkaitan dengan pers.
Kasus yang berurusan dengan pers harus dikembalikan ke Dewan Pers, bukan dengan memanggil jurnalis meskipun hanya sebagai saksi.
Pada akhir konfrensi pers Yogi membacakan sikap dari Aliansi Untuk BPPM Balairung terhadap pemanggilan Reporter Balairung.
Pertama, menolak segala upaya pengaburan isu penyelesaian kasus kekerasan seksual di UGM. Kedua, menuntut pihak-pihak berkepentingan untuk menuntaskan kasus Agni. Ketiga, mengecam keras intimidasi dan kriminalisasi terhadap kerja-kerja yang dilakukan jurnalis pers mahasiswa. Keempat, menolak kriminalisasi terhadap jurnalis BPPM Balairung. Kelima, mendesak Rektor UGM untuk melindungi penyintas dan pihak-pihak yang melakukan kerja-kerja pengungkapan kasus kekerasan seksual di UGM.
Reporter: Taufiq Hidayatullah