May Day 2025: Panggung Perlawanan atas Solusi Palsu Pemerintah

CategoriesNasional

Berbagai aliansi buruh melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR RI dalam rangka memperingati Hari Buruh Internasional 2025. Para buruh tuntut solusi konkret dari pemerintah dan perlindungan yang lebih baik terhadap buruh.

Aspirasionline.com – Ribuan buruh menggelar aksi dalam rangka peringatan Hari Buruh Internasional pada Kamis, (1/5). Massa dari berbagai elemen buruh mulai memadati ruas Jalan Gatot Subroto, tepat di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), sejak pukul 08.00 Waktu Indonesia Barat (WIB).

Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, Zulyani Evi, Koordinator Divisi Riset dan Edukasi Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), menyampaikan bahwa May Day 2025 bukanlah momen perayaan. Ia menyebut May Day tahun ini sebagai ‘May Day yang gelap’. 

Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa May Day yang mengusung ‘Tolak Solusi Palsu’ ini merupakan kelanjutan dari berbagai aksi yang telah berlangsung sebelumnya.

“Ini sebenarnya kelanjutan dari ‘Indonesia Gelap’, dengan tuntutan cabut TNI (Tentara Nasional Indonesia), serta berbagai evaluasi dan kritik terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang kami bilang di sini adalah solusi palsu,” ungkap Zulyani Evi saat di wawancarai oleh ASPIRASI pada Kamis, (1/5). 

Senada dengan hal tersebut, Sunarno, Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), menambahkan bahwa para buruh masih menuntut DPR untuk mencabut Undang-Undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja demi melindungi buruh, terutama di sektor-sektor yang rentan.

“Sampai dengan saat ini, kami melakukan aksi menuntut DPR agar segera mencabut UU Omnibus Law Cipta Kerja dan meminta pemerintah sesuai dengan putusan MK (Mahkamah Konstitusi) 168, yang artinya pemerintah harus melakukan perubahan untuk UU perlindungan buruh Indonesia yang baru, terutama buruh di sektor rentan,” jelas Sunarno saat diwawancarai oleh ASPIRASI pada Kamis, (1/5).

Para Buruh Desak Solusi Nyata untuk PHK Massal dan Dorong Pengesahan RUU PPRT

Memasuki tahun 2025, tercatat sudah lebih dari 18.000 buruh mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Angka ini menambah deretan panjang korban PHK sejak tahun 2023. Para buruh menuntut pemerintah agar tidak lagi bersikap reaktif dalam menangani gelombang PHK. Sunarno menilai bahwa selama ini pemerintah baru bergerak setelah buruh kehilangan pekerjaannya.

“Kami (para buruh) menuntut pemerintah untuk melakukan pencegahan terhadap PHK. Jangan kasusnya buruh sudah di-PHK, pemerintah baru bergerak. Pemerintah hanya menghitung pesangon buruh, padahal pesangonnya juga tidak diberikan,” tegasnya di depan gedung DPR.

Menanggapi gelombang PHK yang terus terjadi, Evi menyampaikan kritik tajam terhadap respons pemerintah. Menurutnya, seluruh kebijakan yang dikeluarkan sejauh ini hanya solusi palsu yang bersifat dangkal dan sebatas upaya pencitraan. 

“Jadi, kenapa kita bilang solusi palsu? Karena semua kebijakan yang dikeluarkan pemerintah itu hanya kebijakan yang di levelnya sangat permukaan. Itu hanya respons yang mementingkan citra mereka, tetapi tidak menjawab akar masalahnya. Jadi, kayak badai PHK, akarnya apa sih badai PHK itu?” kritik Evi.

Evi juga menyoroti situasi sosial dan ekonomi Indonesia yang tidak layak bagi pekerja, khususnya di sektor nonformal. Ia juga menegaskan bahwa negara seharusnya menjamin hak-hak dasar pekerja, bukan membebankannya kepada individu.

“Negara itu punya tanggung jawab, karena kita membayar pajak, kita adalah warga negara, kita memilih dalam pemilu, dan negara memiliki infrastruktur dan resource paling besar. Mereka seharusnya bertanggung jawab dengan situasi saat ini, bukannya menyerahkan masalah itu kepada individu pekerja,” pungkas Evi.

Di kesempatan yang sama, Nadya Pelu, perwakilan dari Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), menyampaikan desakannya terkait pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang telah mandek selama lebih dari dua dekade.

“Sampai saat ini kita tahu PRT (Pekerja Rumah Tangga) adalah pekerja yang masih belum dianggap sebagai pekerja. Jadi, dengan desakannya itu, semoga ini akan menjadi titik cerah bagi para PRT yang belum diakui sampai sekarang sebagai pekerja,” ujar Nadya Pelu saat ditemui ASPIRASI pada Kamis, (1/5).

Polarisasi Perayaan Hari Buruh 2025 di Dua Titik

Hari Buruh Nasional tahun ini juga diwarnai polarisasi, dimana sebagian buruh memilih berunjuk rasa di DPR RI, sementara sebagian lagi memilih mendatangi festival perayaan bersama Presiden Prabowo Subianto di Monas.

Situasi ini pun dianggap sebagai suatu bentuk pengalihan massa yang berpotensi melemahkan tuntutan buruh. Hal ini menunjukkan bahwa perjuangan buruh masih menghadapi tantangan politik dan sosial yang kompleks.

Evi menilai, bahwa tantangan akan semakin berat jika buruh tidak bersatu dan bergerak dalam satu barisan yang solid untuk menghadapi berbagai tindakan politik yang berusaha melemahkan suara mereka.

“Makanya panggilannya sekarang adalah mari berserikat. Kalau berserikat kita kuat, kalau berserikat teman-teman pekerja tidak akan menghadapi semuanya sendirian, tetapi kita punya kelompok yang lebih besar,” jelas Evi.

Sementara itu, merujuk pada unggahan video oleh @NarasiNewsRoom melalui Instagram, Prabowo melangsungkan pidatonya di Monas pada hari yang sama dalam rangka menyambut Hari Buruh Internasional dan melontarkan beberapa solusi serta janji. 

Dalam pidato tersebut, Prabowo mengatakan bahwa ia tidak akan membiarkan pekerja di-PHK secara semena-mena, sehingga akan membentuk Satgas PHK. Selain itu, Prabowo juga berjanji akan segera merealisasikan RUU PPRT.

“Kita akan segera meloloskan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Wakil Ketua DPR yang hadir, pak Sufmi Dasco Ahmad, melaporkan ke saya. Minggu depan RUU ini segera akan mulai dibahas,” ujar Prabowo dalam pidatonya pada Kamis, (1/5). 

Di akhir pidatonya, Prabowo juga menyatakan akan meminta Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional untuk mengkaji percepatan penghapusan outsourcing. Namun, tetap mengingatkan masyarakat untuk tetap realistis.

Tapi saudara-saudara, kita juga harus realistis, harus menjaga kepentingan para investor juga. Kalau mereka tidak investasi, tidak ada pabrik, kalian tidak bekerja. Jadi kita harus bekerja bersama-sama mereka,” pungkas Prabowo dalam akhir pidatonya.

 

Foto: ASPIRASI/Rasyid Hilmy

Reporter : Nazriel Mg. & Rieanita Mg. | Editor: Safira 

About the author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *