Aksi protes mahasiswa menggema di depan Gedung Kemendiktisaintek RI, Jakarta Pusat. Berbagai protes dilayangkan dalam dialog bersama Mendiktisaintek dan Wamendiktisaintek untuk mengecam militerisasi kampus hingga komersialisasi yang berpengaruh pada kualitas pendidikan.
Aspirasionline.com – Ratusan mahasiswa menggelar aksi dan memadati Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek), Jakarta Pusat, dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional pada Jumat, (2/5).
Menurut pantauan reporter ASPIRASI, aksi diawali oleh kedatangan mobil komando rombongan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) pada 15.30 Waktu Indonesia Barat (WIB) di depan Gedung Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen). Selang 30 menit kemudian disusul rombongan mahasiswa lainnya di Gedung Kemendikti.
Fadli Yudhistira, selaku Jenderal Lapangan mengungkapkan aksi yang dikawal sekitar 500-600 massa menggelar aksi damai untuk menyuarakan berbagai tuntutan terkait kondisi pendidikan di Indonesia.
“Terkait massa aksi, kurang (lebih) 500-600 massa,” kata Fadli saat diwawancarai oleh ASPIRASI pada Jumat, (2/5)
Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi menyuarakan tuntutan kepada pemerintah, termasuk mendesak Presiden turun tangan dalam meningkatkan kesejahteraan guru dan menjamin pendidikan layak hingga ke daerah terpelosok. Mereka juga meminta agar anggaran pendidikan 20% dari Anggaran Pendapatan Belanja dan Negara (APBN) dikelola secara efektif.
Selain itu, mahasiswa menolak praktik militerisme di kampus dan menuntut pendidikan yang gratis, ilmiah, dan demokratis. Adapun mendesak pembentukan satuan tugas penanganan kekerasan di perguruan tinggi serta menolak kapitalisasi pendidikan, seperti program student loan yang dinilai membebani mahasiswa.
Fadli menegaskan bahwa tuntutan tersebut disusun melalui kajian yang matang dan intelektual, bukan dengan cara anarkis, sehingga diharapkan tuntutan tersebut diterima.
“Harapannya, setiap tuntutan yang kami buat bisa dibaca dengan saksama, dipublikasikan hasilnya, dan direspons dengan baik,” ujar Fadli.
Jerat Militerisasi dalam Lingkungan Pendidikan
Hadirnya unsur-unsur militerisme ke ranah akademik yang disoroti dalam aksi ini dikhawatirkan akan memutus pikiran kritis civitas akademika dan menjadi upaya pembungkaman terhadap perjuangan.
Menurut Fadli, segala bentuk praktik militeristik di ruang-ruang kampus dinilai mengancam kebebasan akademik dan demokrasi di lingkungan pendidikan tinggi.
“Bahayanya adalah itu (militerisme) jadi satu bentuk pemberangusan demokrasi. Padahal sejak era reformasi, kita sudah memberikan kebebasan sipil seluas-luasnya,” ujar Fadli.
Di depan gedung Kemendikti, Brian Yuliarto selaku Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiksaintek) bersama wakilnya (Wamendiktisaintek), Fauzan, menemui massa aksi dan berdialog terhadap tuntutan-tuntutan yang dibawa terkait militerisme di kampus.
Kaleb Otniel Aritonang selaku Ketua BEM Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta (UPNVJ) yang dalam kesempatan langsung bertanya kepada Mendiktisaintek.
Dalam dialognya, Kaleb menyatakan bahwa UPNVJ sebagai kampus yang pernah dinaungi oleh Kementerian Pertahanan (Kemenhan) masih kental akan praktik-praktik berbau militeristik.
“Kampus-kampus daerah itu marak militerisme. Aparat-aparat negara masuk ke kampus, Pak. Kita melihat bahwa (militerisme) pembungkaman gerakan mahasiswa untuk mengkritik. Itu melanggar amanat reformasi, Pak, termasuk kampus,” ujar Kaleb kepada Brian Yuliarto.
Lebih lanjut, Kaleb turut mendesak Kemendiktisaintek agar secara tegas menyatakan penolakan terhadap praktik militerisme di ranah pendidikan.
“Kami mendorong Kementerian Pendidikan Tinggi untuk bisa bersikap dan bersuara, Pak, terhadap penolakan militerisme di lingkungan pendidikan, termasuk kampus,” tambah Kaleb.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Brian menegaskan bahwa kampus seharusnya menjadi lembaga yang berdiri secara independen, tanpa campur tangan dari pihak mana pun.
“Ya, saya selalu menekankan: kampus independen, bebas dari intervensi siapa pun dari mana pun. Tidak ada intervensi. Marwah kampus harus kita jaga. Itu komitmen kita bersama,” tegas Brian di depan massa aksi.
Permasalahan Pendidikan dalam Bayang-Bayang Komersialisasi
Dialog yang berlangsung menjadi ruang bagi mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi untuk mengutarakan berbagai bentuk kegelisahan mereka terkait kondisi dunia pendidikan saat ini.
Di hadapan Menteri, mereka menyuarakan keresahan atas berbagai persoalan yang dirasa mengancam independensi kampus, kebebasan akademik, hingga ruang aman bagi sivitas akademika.
Salah satu mahasiswa perwakilan Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Andhika Natawijaya, mengkritik mahalnya pendidikan tinggi di Indonesia yang terbukti dengan semakin tingginya Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan Iuran Pengembangan Institusi (IPI) yang sering kali memberatkan mahasiswa.
Menurut Andhika, tingginya UKT dan IPI yang diatur dalam Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (BOPT) menunjukkan bahwa akses pendidikan di Indonesia belum merata.
“Tapi di sini ada kontradiktif di Permendikbud (Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan) Nomor 2 Tahun 2024, yang itu berisi tentang BOPT. BOPT ini seperti akhirnya menghilangkan akses pendidikan karena arena di sini semakin menaikkan UKT dan IPI yang akhirnya akan menutup akses dari pendidikan itu sendiri,” ungkap Andhika.
Isu lain disampaikan oleh Phalosa Lasyeina Yoshiveda, Ketua BEM Universitas YARSI, yang menyoroti minimnya anggaran riset bagi mahasiswa. Ia menegaskan bahwa biaya penelitian mahasiswa di Indonesia saat ini masih tergolong tinggi.
“Saat saya ingin membuat skripsi, saat saya ingin menulis karya ilmiah bersama teman-teman saya, tetap ada dana, tetap ada nominal mahal yang harus dikeluarkan. Minimal, kalau misalkan penelitian kita eksperimental, itu Rp15-20 juta, Pak,” tegas Phalosa.
Phalosa juga menyorot bahwa biaya yang dikeluarkan untuk menimba ilmu di perguruan tinggi tidak sepadan dengan apa yang didapat.
“Pak, apa yang kami bayarkan tidak sepadan dengan apa yang kami dapatkan di perguruan tinggi swasta. Itu belum lagi dengan kasus-kasus korupsi dari para rektorat, daripada petinggi-petinggi atau pejabat di kampus, Pak,” tambah Phalosa lantang di tengah massa aksi.
Menanggapi berbagai kritik tersebut, Brian menyatakan bahwa dengan adanya surat edaran Permendikbud Nomor 2 Tahun 2024 yang menyatakan kenaikan UKT ada untuk membatasi Bantuan Operasional Perguruan Tinggi (BPOPTN) dan menegaskan bahwa tidak ada kenaikan UKT.
“Dan kita yakinkan bahwa tidak ada kenaikan UKT. Meskipun begitu, kita terus mendorong beasiswa-beasiswa. Jangan sampai, saya selalu tekankan ke teman-teman rektor, jangan sampai ada mahasiswa yang putus hanya karena masalah ekonomi,’’ tegas Brian.
Sementara itu, untuk permasalahan riset, Brian mengklaim bahwa saat ini pemerintah tengah bekerja sama untuk membuat langganan jurnal secara bersama-sama, sehingga nanti kebutuhan jurnal bisa diakses oleh seluruh mahasiswa, seluruh dosen, tanpa memandang asal kampus.
“Jadi, jangan khawatir, dan terima kasih atas masukannya. Semangat untuk menghasilkan karya-karya. Tidak terhalangi, tidak terbatasi oleh hal-hal yang kurang, keterbatasan-keterbatasan yang ada,’’ pungkas Brian.
Foto: ASPIRASI/Zhufar
Reporter: Sammanda, Mg. & Laila, Mg. | Editor: Fabiana