Vaksin Nusantara dan Berbagai Polemik di Dalamnya
Pengabaian izin dan prosedur ilmiah pada Vaksin Nusantara menimbulkan berbagai polemik yang terjadi. Tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap vaksin.
Aspirasionline.com – Vaksin Nusantara merupakan vaksin Covid-19 yang diinisasi oleh mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, kembali menuai polemik. Para Epidemiolog telah menyampaikan banyak kritik kepada para penguji Vaksin Nusantara yang dianggap telah mengabaikan izin Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Sementara di tengah polemik tersebut, beberapa politikus, misalnya Aburizal Bakrie, sudah mendapatkan suntikan vaksin yang diinisiasi oleh Terawan ini. Padahal, vaksin yang disebut sangat personal dan berbasis dendritik ini bahkan tidak lulus uji klinis fase I.
Kepala Bidang Advokasi dan Pengacara Pubik Lembaga Bantua Hukum (LBH) Jakarta, Nelson Nikodemus Simamore ikut buka suara terkait hal tersebut. Menurutnya, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dapat dikatakan tidak taat hukum.
Sebab, telah mengabaikan tiga tahapan uji klinis dan menarik Vaksin Nusantara menjadi riset milik Kemenkes. Sehingga tidak lagi menjadi tanggung jawab dan kewenangan BPOM.
“Nah ini yang dinamakan aparat negara yang sewenang-wenang. Karena membuat aturan sendiri dan seharusnya tahu aturan yang berlaku, namun tetap diselewengkan aturan tersebut karena memiliki kewenangan. Hal ini yang terjadi di kasus Vaksin Nusantara,” ujar Nelson saat dihubungi ASPIRASI pada Sabtu, (24/4) lalu.
Epidemiolog lulusan Griffith University Brisbane Australia, Dicky Budiman, juga menyatakan, bahwa pada riset produk kesehatan apapun termasuk vaksin, tidak bisa mengabaikan regulasi apalagi mengabaikan suatu izin.
“Penelitian harus mengukuti prosedur ilmiah ataupun etika, hal ini berlaku secara universal. Maka, jika pada penelitian tidak mematuhi hal tersebut, dapat dikatakan penelitian tersebut merupakan suatu riset yang buruk,” ujar Dicky saat dihubungi ASPIRASI, Jumat (23/4).
Selain mengabaikan izin, menurut Dicky, Vaksin Nusantara juga janggal. Lantaran hasil uji prakliniknya terkesan ditutup-tutupi oleh tim peneliti Vaksin Nusantara. Padahal menurutnya, uji praklinik ini sangat penting sebagai dasar untuk lanjut ke uji fase I.
“Bukan permasalahan pengujiannya yang dilakukan di luar negeri atau tidak, ini harus diletakkan pada konteks ilmiah. Ini yang menjadi masalah, dalam dunia ilmiah, konteks jurnal itu perlu disampaikan. Jangan menghindar apalagi mencari dukungan dari sisi politik,” ucap Dicky.
Kejadian Tidak Diinginkan dari Vaksin Nusantara
Mengenai Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) yang ada pada Vaksin Nusantara, menurut Dicky tingkat wajar tidaknya KTD harus dilihat dari beberapa kategori efek samping terlebih dahulu. Menurut laki-laki itu, munculnya efek samping saat riset suatu vaksin merupakan hal yang wajar ditemukan.
Wajar tidaknya suatu efek samping dapat ditandai dengan adanya kemunculan gejala yang fatal atau berat, sampai adanya kematian. Selain efek samping, peneliti juga harus melihat imunogenisitas atau seberapa banyaknya potensi kekebalan yang dihasilkan dari vaksin tersebut.
“Adanya KTD itu harus dilihat dari kategori ringan, sedang, atau beratnya (efek samping, red). Harus melihat imunogenisitas-nya. Dua hal itu harus dilihat, tidak bisa berdiri sendiri. Jika aman tapi tidak ada proteksinya juga buat apa?” tambahnya.
Sementara Nelson mengungkapkan, bahwa dari segi hukum KTD yang ditimbulkan dari Vaksin Nusantara, nantinya akan menjadi tanggung jawab dari Kemenkes, dan semua pihak yang mengembangkan vaksin, termasuk juga para peneliti. “BPOM bisa lepas dari tanggung jawab hukum,” terangnya.
Laki-laki itu menambahkan, apabila pengujian vaksin yang diedarkan tetap mengabaikan prosedur ilmiah dan menimbulkan efek samping yang fatal, maka dikenakan sanksi pidana. Menurut Nelson, hal itu dapat dituntut secara pidana melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular.
Pengaruh Publik Figur Dalam Proses Vaksinasi
Berbagai permasalahan yang timbul terkait Vaksin Nusantara, yang dibarengi dengan pemberitaan terkait ketidakjelasan aman tidaknya vaksin buatan dalam negeri ini, membuat masyarakat kembali skeptis. Pemerintah pun kembali menggunakan taktik, dengan melakukan pendekatan menggunakan publik figur untuk menaikkan rasa kepercayaan masyarakat terhadap suntik vaksin. Seperti yang terjadi pada vaksin Sinovac lalu.
Dicky menuturkan, bahwa riset telah membuktikan hanya dua tokoh yang dapat mempengaruhi kepercayaan masyarakat. Yaitu presiden dan kepala daerah atau bupati dan walikota. Namun, menurut Dicky, jika ingin kembali menggunakan publik figur, maka haruslah tokoh yang kredibel di bidang kesehatan dan spesifik bisa mewakili konteks pandemi.
“Jika pemerintah menggunakan artis, itu tidak akan merubah sama sekali pandangan masyarakat terkait vaksin, hanya akan membuat masyarakat menonton saja,” ungkap Dicky.
Senada dengan Dicky, Nelson juga mengungkapkan tidak adanya pengaruh kesediaan masyarakat untuk divaksin dengan adanya para publik figur seperti artis yang dilobi pemerintah untuk melakukan vaksin.
“Tidak ada pengaruhnya, apabila pemerintah melobi para artis untuk dijadikan contoh atau teladan melakukan vaksin terhadap kesediaan masyarakat untuk melakukan vaksin juga,” tutup Nelson.
Foto: Google.
Reporter: Rahmi Mg. | Editor: Shafa Azzahra.