Jokowi Minta Dikritik, Manuver Politik Berwajah Ganda

Nasional

Pernyataan Jokowi yang meminta masyarakat untuk aktif mengkritik pemerintah, menimbulkan  kesan kontradiktif. Hal itu disebabkan, maraknya penggunaan UU ITE untuk membungkam kritik masyarakat

Aspirasionline.com – Senin, (8/2) lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pidatonya di Gedung Ombudsman RI meminta masyarakat untuk lebih aktif dalam memberikan masukan dan kritik pada pemerintah. Hal ini ditujukan untuk mewujudkan pelayanan publik yang lebih baik.

“Masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik masukan ataupun potensi maladministrasi dan para penyelenggara pelayanan publik juga harus terus meningkatkan upaya-upaya perbaikan,” tutur Jokowi.

Lantas, pidato tersebut menimbulkan pro kontra di masyarakat.  Wakil Ketua Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Era Purnamasari menilai, pernyataan orang nomor satu di Indonesia tersebut, bagai retorika politik semata.

“Sudah banyak orang mengkritik sejak awal, tapi kritik itu tidak pernah didengar,“ ucap Era saat diwawancarai ASPIRASI pada Kamis, (18/2).

Menurut Era, yang terjadi justru kriminalisasi terhadap orang yang mengkritik. Hal itu menandakan, apa yang dilakukan Jokowi hanya retorika politik semata.

Menurut Era, apa yang disampaikan oleh Jokowi perihal ia yang ingin dikritik, belum bisa menjadi indikator positif bagi kebebasan berpendapat di Indonesia. Pun Era menilai, pernyataan-pernyataan lisan Jokowi justru membuat publik bertanya-tanya mengenai dasar hukumnya.

Senada dengan apa yang disampaikan Era, Staff Divisi Hukum Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), Jordjie Muhammad mengatakan, bahwa pernyataan presiden Jokowi sangat kontra dengan fakta yang ada.

“Pernyataan kontroversial tersebut sangat kontradiktif dengan fakta yang terjadi selama ini,” ungkap Jordjie pada ASPIRASI, Jumat, (26/2).

Menurutnya, hal itu disebabkan karena pihak yang mengkritik pemerintah, selalu dibayang-bayangi dengan jerat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Apalagi, dengan dilakukannya penangkapan dan penahanan oleh institusi Polri.

Wacana Revisi UU ITE Kian Pesat Bergulir

Wacana revisi UU ITE menurut Era, dilatarbelakangi adanya pasal-pasal karet yang setiap saat bisa menjerat setiap orang. Seperti tindak pidana penyebaran berita hoax, pencemaran nama baik, hingga penghinaan presiden.

Era juga menuturkan, bahwa UU ITE ini hanya menjadi salah satu dari sekian banyak pasal yang digunakan untuk membungkam kritik. “Jadi, kalaupun itu diubah, tetap tidak menyelesaikan masalah secara tuntas atau sampe ke akar-akarnya,” ungkap Era.

Sementara menurut Jordjie, UU ITE pasal 27 ayat 3 kerap kali digunakan oleh pemerintah dalam membungkam kebebasan berekspresi dan berpendapat di ruang online. Meskipun, dalam penjelasannya telah dirujuk ke Pasal 310 dan Pasal 311, tetapi dalam praktiknya seringkali unsur “penghinaan” masih terabaikan.

Jordjie menambahkan, jika presiden menginginkan kritik dari masyarakat terkait kinerja buruk pemerintah maupun parlemen. Ataupun potensi maladministrasi lainnya, patut dipastikan pula dengan pemberian ruang aman dan jaminan perlindungan hukum dari pemidanaan. Selain itu, wacana revisi UU ITE harus benar direalisasikan secara konkret.

Tak hanya itu, Era menilai, bahwa Presiden Jokowi memainkan politik bermuka dua yang multitafsir. Hal ini memiliki arti, disatu sisi ia mau mencitrakan bahwa ia sebagai politisi yang baikbaik. Namun, di sisi lain ia menggunakan cara-cara yang represif.

“Salah satunya misalnya pernyataan-pernyataan dia di dalam berbagai situasi investasi, siapa yang menolak investasi digebuk. Itukan pernyataan yang sangat represif,” ujar Era.

Setiap pejabat publik sudah seharusnya siap untuk dikritik. Guna menjadi solusi dari berbagai polemik yang ditimbulkan dari adanya pasal-pasal multitafsir yang rawan untuk dilaporkan kepada pihak kepolisian. Ekspresi orang ketika berkritik pun, beragam. Bagi Era, cara penyampaian kritik tersebut, persoalan yang relatif.

“Jadi negara atau aktor pejabat publik harus siap dikritik. Kritik itu gadibatasi, tidak boleh ada pembatasan dalam mengkritik,” jelas Era.

Foto: Google.

Reporter: Ryan Mg. |  Editor: Dilla Andieni.

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *