
Anggaran Program Makan Gratis Dipangkas, Kualitas Gizi Anak Jadi Taruhan
Pemangkasan anggaran MBG dari Rp15.000 per anak, menjadi Rp10.000 per anak memunculkan kekhawatiran masyarakat terkait kualitas dan kebutuhan gizi yang dapat terpenuhi dari tiap porsinya.
Aspirasionline.com – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi program unggulan presiden dan wakil presiden terpilih Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka semasa kampanye mengalami pemangkasan anggaran dalam realisasinya.
Program MBG yang semula dianggarkan bernilai Rp15.000 direduksi menjadi Rp10.000 per porsi. Perubahan ini sesuai diumumkan oleh Presiden Prabowo pada rapat koordinasi terbatas di Istana Kepresidenan pada Jumat, (29/11/2024).
Mempertimbangkan kebutuhan gizi yang diperlukan, Rina Andayani, yang merupakan Ibu Rumah Tangga (IRT) dengan 2 anak, menyoroti pengaruh penurunan anggaran MBG dengan kemungkinan gizi dan mutu yang bisa didapatkan per porsinya.
“Kalau kita melihat 4 sehat 5 sempurna sih kurang ya. Karena dana Rp10.000 itu mungkin cukupnya untuk karbo atau protein saja atau mungkin sayuran. Kurang sih, kurang lengkap,” keluhnya kepada ASPIRASI pada Jumat, (20/12/2024).
Menyadari ketatnya anggaran yang disediakan per porsi, Ida Dahlia, yang juga merupakan seorang IRT sekaligus karyawati, turut mempertimbangkan dengan cermat pilihan menu MBG yang masih berada dalam kisaran harga Rp10.000.
“Mungkin yang tadinya ada semacam ayam bisa diganti dengan telur. Terus buah misalnya, ganti dengan yang lebih murah lagi harganya. Supaya tetap dengan nilai Rp10.000 itu kita bisa mencukupi nutrisi anak-anak,” jelas Ida kepada ASPIRASI pada Sabtu, (21/12/2024).
Harapannya program MBG tidak hanya bersifat sementara, tetapi bisa terus berlanjut dan menjangkau anak-anak di seluruh Indonesia. Ida juga menyoroti pentingnya ketepatan sasaran dalam pelaksanaan program ini untuk lebih memprioritaskan masyarakat yang benar-benar membutuhkan agar manfaat program ini dirasakan secara optimal.
“Cuman ya harus tepat sasaran, kepada siapa bantuan tersebut disalurkan. Jangan sampai tidak tepat sasaran,” pungkasnya.
Mengomentari kekhawatiran tersebut, Dosen Program Studi (prodi) Gizi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta (UPNVJ), Yessi Crosita Octari menyebut untuk melihat cukup atau tidaknya anggaran MBG saat ini, perlu melihat kembali dasar perhitungan beban biaya yang dilakukan.
Terlebih, Yessi turut menyampaikan bahwa masih ada faktor geografis yang dapat mempengaruhi anggaran senilai Rp10.000 tersebut. Seperti adanya proses pendistribusian yang sulit di beberapa daerah yang sulit dijangkau.
“Kalau kita bilang Rp10.000 itu untuk beli bahan pangannya saja dan kita bilang itu di wilayah Jawa, ya itu masuk akal. Tapi kalau kita bilang itu termasuk semua komponen dan itu ada di Papua misalnya, ada biaya kemahalan, jadi ngga masuk akal,” komentar Yessi kepada ASPIRASI pada Kamis, (9/1).
Yessi menyebut, perdebatan anggaran MBG ini sukar untuk dilihat mencukupi atau tidaknya karena belum terdapat data yang menjabarkan harga pokok penjualan atau unit cost yang dikenakan dalam penyediaannya. Ia berkomentar, informasi ini perlu untuk dilihat lebih lanjut.
“Kita mau biayai apa dengan harga segitu? Itu dulu yang penting. Apakah itu unit cost totalnya atau memang cost untuk hal-hal tertentu saja, gitu. Nah itu yang harus dilihat lebih lanjut lagi,” ungkapnya menambahkan.
Perubahan Anggaran Melahirkan Tantangan, Pemerintah Perlu Pastikan Pemenuhan Standar Gizi
Bagi Yessi, perubahan anggaran MBG dirasa akan menimbulkan berbagai tantangan yang kemungkinan akan bersinggungan dengan program ini di masa mendatang.
“Mulai dari belanja barangnya, merancang menunya, kemudian melaksanakan dapurnya, distribusinya. Kemudian, di sisi lain juga harus ada need assessment terhadap penerima manfaatnya, penerima manfaatnya harus tepat sasaran,” jelas Yessi.
Yessi juga turut berkomentar bahwa anggaran menu yang akan diberikan dalam program MBG harus mampu memenuhi standar gizi yang diperlukan, bukan sebaliknya.
“Jadi bukan kebutuhan gizi anak-anak yang mengikuti anggaran, tapi anggaran yang harus mengikuti kebutuhan gizi anak-anak, karena tujuannya apa? Kan memenuhi kebutuhan gizi anak sekolah, kalau kebutuhan gizinya tidak terpenuhi buat apa bikin program. Kan tujuan jadi gak tercapai,” tambahnya.
Lebih lanjut, Yessi turut menjelaskan rekomendasi rancangan menu dari budget Rp10.000 yang diperkirakan masih dapat memenuhi 30–35 persen Angka Kecukupan Gizi (AKG) untuk kalori dengan kombinasi protein hewani, protein nabati, dan sayur.
“Kalau kita hitung itu bahan pangan untuk membuat makanan di rumah yang berisi protein hewani, protein nabati, sayur kemudian daging, kalau kita belanjanya di pasar, itu jadi kok. Jadi ayam, tahu, tempe, sayur, nasi, buahnya gak usah yang mahal-mahal, misalnya pepaya atau apa, itu bisa saja jadi begitu,” lanjut Yessi.
Meski begitu, Yessi kembali mempertanyakan fokus dan tujuan dari diadakannya program ini. Ia menilai tingkat efektivitas program ini dapat diukur dengan menekankan fokus utama yang ingin dicapai. Jika tujuannya adalah penurunan stunting, maka program ini masih terlalu jauh dalam berkontribusi menurunkan kasus stunting di Indonesia.
“Stunting itu kan kita ngomong yang paling efektif itu intervensi di 1.000 hari pertama kehidupan. Kalau dia sudah SD, SMP, ya sudah lewat kalau untuk intervensi stunting,” tegasnya.
Akan tetapi, Yessi menjelaskan jika tujuannya meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), maka memberlakukan program MBG ini dapat menjadi cara jitu. Terdapat sejumlah indikator yang dapat dilihat, salah satunya adalah perubahan status gizi.
Yessi menggarisbawahi bahwa perubahan tersebut dapat terjadi setelah pemberian makanan bergizi dapat dipenuhi selama tiga bulan berturut-turut, “Perubahan status gizi itu dilihat dari mana? Tinggi badan, berat badan, kadar hemoglobin,” jelasnya.
Dilansir dari Kompas, janji kampanye program MBG akhirnya terealisasikan selang waktu 78 hari usai Prabowo–Gibran resmi dilantik, tepatnya pada Senin, 6 Januari 2024.
Pemerintah mulai memberikan MBG bagi anak sekolah, anak di bawah lima tahun (balita), ibu hamil, dan ibu menyusui yang berada di 190 titik pada 26 provinsi di Indonesia. Dapur-dapur tersebut tersebar di 26 provinsi, yakni Aceh, Bali, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Riau, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Lalu, Gorontalo, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Kalimantan Selatan, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur, hingga Papua Barat dan Papua Selatan.
Menurut pantauan di lokasi, seperti dikutip dari Liputan 6, makanan mulai dibagikan pada pukul 08.30 WIB ke setiap kelas. Terlihat menu MBG dimuat dalam tempat makan berbahan stainless steel.
Adapun menu yang disajikan diantaranya nasi, sepotong ayam bumbu kecap, dan satu porsi sayur tumis buncis. Tak lupa, menu makanan itu dilengkapi dengan satu buah pisang.
Ilustrasi: Nabila Putri Sammanda Mg.
Reporter: Ghasya Aurelia Mg., Nabila Putri Sammanda Mg. | Editor: Fabiana.