Seksisme dan Maskulinitas yang Mengakar dalam Industri Game

Opini

Dewasa ini, industri game masih dipenuhi oleh nilai-nilai maskulinitas dan seksis. Karakter perempuan di banyak game juga sering kali diseksualisasi dan diperlakukan sebagai objek untuk guyonan, hungga menunjukkan adanya ketidaksetaraan yang jelas.

Aspirasionline.com — Di tengah pesatnya perkembangan industri game, industri ini seakan tidak dapat lepas dari nilai-nilai maskulinitas yang sarat akan seksisme. Terang saja, nilai-nilai maskulinitas ini dapat ditemui di berbagai lini industri game, mulai dari game developer, streamer atau content creator, hingga pemain-pemainnya.

Nilai-nilai maskulinitas dan seksis ini dapat dengan mudah ditemui melalui konten-konten game di beberapa platform media sosial saat ini. Para content creator kerap kali menyebarkan atau menunjukkan perilaku toxic masculinity dan berbau seksisme, baik itu disengaja ataupun tidak.

Salah satunya, yaitu guyonan seksis dalam Youtube live streaming Brando Franco Windah atau lebih dikenal sebagai Windah Basudara yang sempat ramai beberapa waktu lalu. 

Di samping tayangan dan tingkah gimiknya yang menghibur, tak jarang Windah melontarkan guyonan seksis yang menyangkut tubuh perempuan. Hal ini juga kerap kali diwajarkan oleh para penontonnya yang didominasi laki-laki.

Walaupun tujuan Windah menggunakan candaan seksisnya adalah untuk menghibur penonton, dalam komunitas aplikasi X (sebelumnya Twitter) Fans Windah Basudara, dapat ditemukan ungkapan sebagian penonton dan anggota komunitas yang merasa risih saat Windah mulai melontarkan candaan seksis dan sikap yang seolah melecehkan karakter perempuan dalam game.

Salah satu pengguna X @halonirmala dalam komunitas Fans Windah Basudara. Menurutnya, Windah tetap menghibur tanpa harus nge-zoom bagian dada dan mengintip dari bawah karakter perempuan sehingga membuat para penonton terpancing untuk memberi komentar jorok.

Walaupun bukan satu-satunya yang melakukan candaan seksis,  apa  yang dilontarkan Windah dan pembelaan dari pengikutnya cukup membuktikan bahwa industri game masih lekat dengan maskulinitas yang sarat akan seksisme. 

Maskulinitas dan Ketidaksetaraan Gender dalam Game serta dampaknya terhadap perempuan 

Mengutip dari artikel jurnal berjudul “The Male Domain: Exclusion of Women in Video Games”, pada  tahun 1980-an sampai 1990-an industri game merupakan bidang yang didominasi oleh pria, sehingga ketika semakin populer pada tahun 2000-an, game-game yang ada masih cenderung sulit diakses oleh perempuan. 

Selain itu, game-game yang ada juga belum dapat menyeimbangkan representasi gender di masyarakat dan masih didominasi oleh laki-laki. 

Terlebih, pada masa itu, perempuan lebih sering memainkan game, seperti Solitare dan Bejeweled dibanding game populer arus utama yang dianggap maskulin.  

Ketidaksetaraan gender ini juga dijelaskan melalui analisis dari Geena Davis Institute dengan judul “The Double-Edged Sword of Online Gaming: An Analysis of Masculinity in Video Games and the Gaming Community” yang mengungkapkan bahwa jumlah karakter laki-laki dalam video game lebih banyak daripada karakter perempuan. 

Ketidaksetaraan gender tidak hanya mengenai jumlah representasi karakter perempuan dalam game, melainkan juga bagaimana karakter perempuan ditampilkan. Ditunjukan oleh banyaknya game dengan karakter utama laki-laki yang dibuat memiliki sifat tegas, mendominasi, dan tangguh.

Berbanding terbalik dengan karakter perempuan dalam video game, walaupun sekarang sudah semakin umum. Namun, seringkali karakter perempuan masih didesain dan digambarkan sebagai objek dengan pakaian terbuka bahkan hingga setengah telanjang. 

Hal ini semakin menunjukkan adanya ketidaksetaraan gender dalam game, dan semakin menguatkan terbentuknya sikap-sikap seksis, seperti candaan seksis, objektifikasi perempuan, bahkan hingga kekerasan seksual karena penyajian dan perlakuan terhadap karakter perempuan yang terlalu diobjektifikasi. 

Industri game yang sering kali menciptakan karakter perempuan dengan proporsi tubuh tidak masuk akal ditambah dengan standar kecantikan yang seringkali tidak realistis mencekik potensi perempuan. Seakan-akan karakter perempuan dibuat hanya untuk menarik perhatian dan meningkatkan engagement rate dari para gamer

Desain karakter dengan standar yang tidak masuk akal ini pada akhirnya hanya menjadi pemicu peningkatan insekuritas dan persepsi diri yang salah pada perempuan.

Padahal, permainan online dengan rating tinggi seharusnya tidak ditentukan oleh seberapa ideal bentuk karakternya, tetapi dari kedalaman cerita dan playability game itu sendiri. Sehingga membuat pemain dapat bertahan dan setia mendukung game tersebut. 

Sebagai contoh, Aloy, karakter utama perempuan dari game Horizon Zero Dawn yang digambarkan sebagai sosok tangguh dan keren dengan desain dan penampilan karakter sesuai tema dan konsepnya tanpa harus diseksualisasi.   

Aloy menunjukkan karakter perempuan cukup diberikan porsi yang pas dalam pembentukannya, baik itu dari segi peran, cerita, hingga desain karakternya yang tidak berlebihan.

Pada akhirnya, semua ini bergantung pada pengembang atau developer game dan masyarakat itu sendiri yang sadar dan mau menerima perubahan untuk menciptakan industri game yang terbebas dari seksisme dan toxic masculinity.

Diharapkan kedepannya industri game tidak hanya berkembang dalam nilai cerita dan desain karakternya saja, tetapi juga lebih memperhatikan unsur realistis dalam desain karakternya dengan menampilkan karakter yang tidak diseksualisasi secara berlebihan.

 

Foto: Najmi Mg. 

Penulis: Najmi Mg.  | Editor: Calvin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *