Korban Kasus Kerja Paksa Myanmar Desak Pemerintah Tak Abaikan Sindikat Perdagangan Manusia
Korban beserta keluarganya mendesak pemerintah ambil tindakan nyata dalam pembebasan korban kerja paksa di Myanmar, didampingi YLBHI dan Beranda Migran, para korban dan keluarga korban turut memberikan kesaksian kekejaman jerat kerja paksa.
Aspirasionline.com – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bersama Beranda Migran menggelar konferensi pers mengenai pembebasan korban kerja paksa pada Rabu, (21/8).
Didampingi oleh YLBHI dan Beranda Migran, para pekerja paksa bersama keluarga korban yang hadir dalam konferensi pers menuntut pertanggungjawaban nyata dari pemerintah untuk membebaskan serta memulangkan mereka dari jerat kerja paksa di Myanmar.
Aktivis Beranda Migran, Hanindha Kristy, mengungkapkan bahwa Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) telah mengidentifikasi data terkait jumlah kasus cyber scammer atau perbudakan siber, yaitu sebanyak 3700 kasus. Sayangnya, hal ini tidak menggerakkan Kemenlu untuk melakukan tindakan lebih lanjut.
“Jumlah korban cyber scammer ini, ternyata tidak menggerakkan pemerintah untuk segera melakukan aksi penyelamatan yang efektif kepada korban,” ujar Hanindha di hadapan audiens pada Rabu (21/8).
Lebih lanjut, pasca pandemi COVID-19, angka cyber scammer semakin meningkat, dipicu oleh tekanan ekonomi yang berat. Tak sedikit yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan tidak mendapatkan penghidupan yang layak di Indonesia.
Menurut Hanindha, faktor itulah yang mendorong masyarakat untuk mencari pekerjaan di luar negeri, meskipun berisiko. Hal tersebut merupakan bukti nyata bahwa Indonesia tidak dapat memberikan penghidupan layak kepada masyarakat.
“Kalau misalnya penghidupan yang lebih baik, kesejahteraan terjamin di Indonesia. Saya rasa, itu tidak menjadi suatu alasan kenapa teman-teman pekerja migran atau teman-teman korban ini akhirnya memutuskan untuk mencari pekerjaan ke luar negeri,” tambahnya.
Tuntutan Penanganan Kasus TPPO kepada Pemerintah
Pola migrasi yang berkembang dan melenceng dari jalur migrasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah memberikan celah luas bagi sindikat pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Keberadaan Undang-Undang TPPO dan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran tidak memberikan perlindungan hukum yang memadai bilamana respons pemerintah terhadap korban lebih berfokus pada upaya mengidentifikasi mereka sebagai korban, daripada memprioritaskan penanganan kasus tersebut.
“Negara masih sering kali mengabaikan bahwa warga negara yang terjebak dengan pendidikan cyber ini adalah korban, jadi pemerintah lebih fokus dalam mengidentifikasi korban,” jelas Hanindha
Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Arif Maulana, menyatakan bahwa pemerintah telah gagal dalam memberikan perlindungan terhadap jeratan TPPO. Ia juga mempertanyakan peran serta upaya pemerintah dalam mendorong agar penanganan kasus TPPO menjadi prioritas utama.
Lebih lanjut, Arif mendesak pemerintah untuk menepati upayanya dalam menghapus kerja paksa yang telah diratifikasi dalam konvensi International Labour Organization (ILO).
“Oleh karena itu, kita menuntut keseriusan negara untuk betul-betul segera bertindak. Ini sudah dua tahun, sudah kurang lama apalagi, dan ini berkaitan dengan nyawa warga negara Indonesia dan tanggung jawab negara ini,” tegas Arif.
Kisah Pilu Derita Korban dan Keluarga Korban Jerat Kerja Paksa
Menjelang tiga tahun lamanya, keluarga korban kerja paksa ini mengawal kepulangan sanak saudara. Berbagai upaya telah ditempuh, mulai dari pelaporan yang diajukan ke Pemerintah Daerah hingga permohonan ke Kementerian Luar Negeri. Namun, upaya-upaya ini tak kunjung membuahkan hasil.
Salah seorang korban yang berhasil melarikan diri dari Myanmar, Roni, mengungkapkan penderitaannya selama dipaksa bekerja hingga 20 jam sehari dan menghadapi kekerasan fisik jika tidak memenuhi target pekerjaan.
“Kalau kita tidak mencapai target maka akan dihukum. Saya pernah bekerja 20 jam dan tidak dikasih makan, jika ketahuan mengantuk saat bekerja akan mendapat cambukan atau setruman,” ungkap Roni dalam konferensi pers YLBHI pada Rabu, (21/8).
Tak sampai disitu, Roni juga membeberkan bahwa dirinya sulit mencoba membebaskan diri dari lingkungan kerja paksa tersebut karena perusahaan melakukan penjagaan ketat dengan pihak militer.
“Kenapa saya tidak bisa keluar dengan mudah karena mereka melakukan penjagaan dengan militer yang kemungkinan keselamatannya itu 90 persen mati dan 10 peran hidup,” ujarnya.
Tidak hanya campur tangan aparat membatasi gerak korban kerja paksa di Myanmar, Roni juga mengungkapkan bahwa perusahaan menahan paspor dan perangkat elektroniknya. Dengan segala upaya, Roni berhasil melarikan diri dan diselamatkan oleh Non Government Organization (NGO).
“Di bandara, saya diselamatkan oleh NGO dan begitu lamanya proses saya untuk kembali ke tanah air tercinta ini,” pungkas Roni.
Penderitaan ini dirasakan pula oleh sang istri dari korban kerja paksa, Ami dari Indramayu. Dirinya menjadi pengganti tulang punggung keluarga untuk bagi anak-anaknya. Sementara itu, suaminya terus memohon bantuan keluarga untuk membebaskannya dari kerja paksa.
“Kami bekerja dari pagi hingga malam mencari upah yang layak untuk memenuhi anak-anak kami. Dalam tekanan korban yang menekan kami, yang merengek ingin dipulangkan, membuat kami keluarga korban sangat depresi,” tutur Ami menjelaskan pada Rabu, (21/8).
Menuju penghujung konferensi pers, Ami menyampaikan kekecewaannya bahwa surat terbuka telah dikirimkan kepada Presiden Republik Indonesia pada Hari Anti Penyiksaan Internasional, tepatnya 27 Juni lalu. Namun, hingga kini belum ada tanggapan dan surat tersebut diabaikan.
Foto: ASPIRASI/Ihfadzillah Yahfadzka
Reporter: Ihfadzillah Yahfadzka | Editor: Anggita Dwi