Elemen Gerakan Rakyat Turun Aksi Memperingati Hari Perempuan Internasional
Hari Perempuan Internasional yang diperingati setiap tanggal 8 Maret ini, membuat berbagai gerakan rakyat turut memenuhi kawasan patung kuda. Demi menyuarakan aksi, bahwa rakyat berhak memperoleh hak kontistusional sebagaimana mestinya.
Aspirasionline,com − Senin, (8/3), beberapa elemen gerakan rakyat, seperti Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK), Perempuan Mahardhika, Komite Revolusi Pendidikan Indonesia (KRPI), dan beberapa elemen gerakan rakyat lain, turut menyuarakan aksi untuk memperingati hari Perempuan Internasional. Aksi dimulai dengan berkumpul di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), dan dilanjutkan dengan long march ke arah patung kuda.
Ketua Konferensi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Nining Elitos mengatakan, Aksi hari ini adalah aksi pertama dari GEBRAK, setelah aksi terakhir omnibus law pada Desember 2020 lalu.
“Buruh, petani, pemuda, mahasiswa, dan sektor masyarakat yang lain turun aksi. Artinya GEBRAK tidak hanya bicara persoalan nasib buruh di pabrik,” tegas Nining.
Menurut Nining, saat ini terdapat regulasi bernama omnibus law UU Cipta Kerja yang merusak nasib pelajar dan mahasiswa yang menjadi generasi penerus bangsa. Lanjutnya, Nining beranggapan bahwa adanya Undang-Undang tersebut pun, menjadi ancaman di masa krisis ekonomi dan kesehatan seperti saat ini.
Perempuan itu menambahkan, dampak kebijakan yang dikeluarkan negara tak jarang pula menyebabkan buruh kehilangan pekerjaan. Selain itu, banyak buruh yang diperlakukan semena-mena
“Apakah ada pengawasan dan penegakan hukum dari negara?” tanya Nining.
“Tidak!!,” kompak peserta aksi menjawab.
Pun Nining menuturkan, banyak buruh yang terusir dari kontrakan, hingga tercabut aliran listriknya karena penurunan pendapatan. “Banyak yang tidak bisa membeli kuota karena kehilangan pekerjaan dan penurunan pendapatan,” seru Nining.
Ia menambahkan, bahwa buruh akan terus berjuang sampai kesejahteraan datang kepada rakyat, bukan kepada kelompok tertentu. Lebih lanjut, Nining pun mengatakan, jika pemerintah tidak mau rakyat turun ke jalan, tidak mau protes, maka beri rakyat kesejahteraan. Beri rakyat penegakan hukum kepada rakyat kecil.
“Kita ingatkan kepada kekuasaan yang ugal-ugalan, yang serampangan membuat kebijakan rakyat. Jangan membuat kebijakan yang serakah terhadap kepentingan kapital,” tegas Nining.
Perempuan Masih Rentan Diskriminasi
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika mengungkapkan, bahwa di tengah pandemi, perempuan petani rentan mengalami penggusuran. Dewi menilai, hal tersebut merupakan sesuatu yang tidak diketahui oleh pemerintah pusat. Atau memang para penguasa tersebut, sengaja menutup telinga dan mata dari nasib para perempuan petani saat ini.
“Bahwa negara ini masih melanggar hak-hak konstitusional,”ujar Dewi.
Dewi mengatakan, agenda reforma agraria pun belum sepenuhnya dijalankan untuk rakyat. Oleh karena itu, petani turut memperingati hari Perempuan Internasional untuk memastikan bahwa rakyat memperoleh hak kontistusional sebagaimana mestinya.
Ketua Departemen Buruh Perempuan Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Dian Septi mengatakan, bahwa perempuan seringkali disingkarkan. Sedangkan kapitalisme hidup dari kerja kaum perempuan.
“Kita tidak pernah diakui, kita diupah sangat rendah, bahkan tidak dibayar,” ujar Dian.
Menurutnya, negara tak pernah melihat dalam perspektif perempuan. Mirisnya, pemodal pun, sama demikian. Mereka menganggap perempuan sebagai tenaga kerja yang tidak produktif, karena mempunyai hak-hak kesehatan reproduksi.
“Ketika bekerja, kita dilarang menikah, cuti haid. Sampai, kita harus menunjukan surat dokter bahwa kita haid, atau bahkan menunjukan pembalut,” ungkap Dian.
Bagi perempuan itu, hal tersebut menunjukkan adanya bentuk pelecehan seksual di tempat kerja. Pun hal tersebut, merupakan bentuk kekerasan yang nyata di keseharian kita. Dian menambahkan, Kapitalisme berwatak patriarki lah yang menjadi akar dalam kekerasan tersebut.
Lebih lanjut, menurut Dian ketika kita mengatakan melawan kekerasan seksual pada perempuan, berarti itu sama dengan melakukan pembebasan manusia. Dian pun menganggap, kebebasan manusia tidak boleh melecehkan sedikitpun seseorang, hanya karena jenis kelamin, warna kulitnya, ataupun karena orientasi seksualnya.
“Melawan kekerasan seksual tidak sama dengan melawan laki-laki. Karena yang kita lawan adalah patriarki dan kapitalisme,” tegas Dian.
Foto: Shafa Azzahra.
Reporter: M. Faisal Reza. | Editor: Azzahra Dhea.