Buku “1984” Karya George Orwell: Distopia Totaliter dan Kemustahilan Revolusi
Judul : 1984
Penulis : George Orwell
Tahun terbit : 1949
Genre : Fiksi Sejarah, Fiksi Politik, Fiksi Sains, Distopia, Thriller.
Kehidupan di masa itu terasa fana. Semua segi kehidupan dipenuhi dengan dusta bagi kemaslahatan pemerintahnya. Pemerintahan otoriter yang dikuasai Big Brother akan semakin kuat dan tak terkalahkan dan Winston terus berandai-andai apakah dia bisa menggulingkan pemerintahan Big Brother.
Aspirasionline.com — Selain Buku Animal Farm (1945), hidangan lain yang patut dicicipi pembaca, yakni buku bertajuk 1984 (1949). Sebuah novel hasil buah pikiran seorang Socio-Demokratik George Orwell akan kebenciannya terhadap pemerintah yang totaliter dan pengalamannya menjadi penyiar radio.
Dalam buku ini, Orwell menggambarkan seorang karakter Winston Smith, pria paruh baya yang bekerja di Kementerian Kebenaran, memiliki mandat untuk menyortir berita yang layak disebarkan pada publik.
Perlu diketahui, arus informasi dalam dunia 1984 sangat terbatas, hanya satu sumber informasi pemberitaan yang dikonsumsi publik, tidak lain hanya dari pemerintah.
Tidak seperti khalayak umum, alih-alih mengikuti agenda pemerintah, Winston justru merasa ada yang salah dengan sistem negaranya, terlalu banyak kebohongan yang ditujukan di wajah publik.
Dalam perjalanannya, Winston bertemu dengan Julia, perempuan yang idenya sejalan dengannya. Merasa sepemikiran, mereka memutuskan untuk mewujudkan visi, menggulingkan Big Brother, si Penguasa Besar.
Dunia Distopia Absolut
Buku 1984 merepresentasikan contoh sempurna dari cerita distopia, menampilkan dunia yang kelam dan penuh keputusasaan. Sebaliknya, jika dibandingkan dengan cerita distopia lain seperti seri The Maze Runner (2009), James Dashner justru menyajikan narasi distopia yang lebih bernuansa optimisme.
Di akhir cerita, Thomas dan komplotannya berhasil melawan sekaligus bermigrasi ke tempat yang aman. Hal ini serupa dengan Dashner dalam seri The Hunger Games (2008), yang mana Suzanne Collins juga menyediakan protagonisnya, Katniss yang pada akhirnya hidup damai, menikah dan memiliki anak.
Di sisi lain, Orwell konsisten menanamkan teror pada pembaca hingga akhir ceritanya. Dalam buku 1984, Orwell membagi kisah dalam tiga babak. Babak pertama memperlihatkan bagaimana dunia di sini bekerja. Pembaca diajak membayangkan negara tempat Winston tinggal sebagai tempat yang suram dan kosong. Bukan hanya situasi dalam negeri yang kelam, tetapi juga keadaan politik internasionalnya.
Lanjutnya pada babak kedua, pembaca mulai disuntik dengan perasaan yang optimis, yakin bahwa Winston sudah menemui titik terang harapan akan visinya. Namun, di babak akhir Orwell menjatuhkan semua harapan itu. Pada babak ketiga semua harapan Winston pupus. Di sini Winston ditangkap, dikhianati, disiksa, dan dirampas segala hak kebebasannya.
Revolusi Hanya Sekedar Angan-Angan di Bawah Kekuasaan Totalitarian
Berbicara perihal politik, tentu kaitannya sungguh erat dengan yang namanya “kekuasaan”. Semua hal yang perlu dikuasai itulah politik. Termasuk di dalamnya menguasai informasi, perang modern bukan lagi perang adu peluru atau bilah belati, tetapi perang informasi.
Rakyat dalam dunia 1984 hanya memperoleh informasi dari yang diterbitkan kementerian saja. Hal ini menjadi angin segar bagi Penguasa Besar untuk melancarkan agendanya setiap saat, karena memang warganya akan mentaati propaganda yang diberikan, termasuk salah satu di dalamnya pengalihan isu nasional.
Serupa yang tengah terjadi di negara Konoha. Di bulan kedelapan, beberapa hari lepas perayaan kemerdekaan, dewan parlemen menggelar rapat dadakan yang berusaha menganulir putusan Mahkamah Konstitusi. Disaat yang sama perhatian publik justru teralihkan dengan kabar perselingkuhan selebritas.
Tak berhenti disana, dalam buku “1984”, Winston hidup dalam pengawasan ketat, setiap detiknya diawasi penuh oleh Penguasa Besar termasuk setiap kata yang terucap, setiap langkah yang dipijak, juga setiap gerak dan gerik mimik wajahnya.
Dalam buku tersebut, Pemerintahan Totaliter adalah sistem pengaturan negara yang absolut dikendalikan oleh pihak elit secara penuh, lebih mutlak daripada Otoritarian, sistem yang mengebiri demokrasi.
Buku-buku ditebang pilih dengan seksama, siapa harus membenci siapa diatur sedemikian rupa, bahasa nasional diubah dan menghapus kultur rezim yang lama. Tidak ada cinta yang layak kecuali cinta pada partai, tidak ada anak yang sah kecuali untuk anggota partai kemudian kelak.
Meskipun di Konoha tidak sampai segitunya, namun lambat laun demokrasi yang diperjuangkan semenjak reformasi mulai terkikis oleh kepentingan elit penguasa besar. Langkah-langkah yang terlihat seperti mengubah aturan konstitusi sedemikian rupa agar anak Kepala Desa bisa berkuasa dengan instan, reshuffle kabinet dengan memangkas yang tidak sejalan dengan koalisi, hingga perilaku represif pada warga sipil yang bersuara.
Setidaknya dua dasawarsa belakangan sebelum buku 1984 terbit, Orwell menemukan keresahannya pada gaya kediktatoran Joseph Stalin, yang cenderung merampas hak-hak kebebasan individu.
Dengan melihat kondisi kepemimpinan totaliter yang mengatur jasmani-rohani warganya dari ubun-ubun sampai kuku kelingking kaki, nampak kecil kemungkinan apabila segelintir pihak optimis bisa mengubah rezim, setidaknya itulah yang Orwell hendak sampaikan di lembaran terakhir buku 1984.
Reporter: Teuku Farrel | Editor: Nayla Shabrina