Pendisilinan Kepala ala Orde Baru

Resensi Sastra

Aspirasionline.com –

Judul : Dilarang Gondrong, Praktik Kekuasaan Orde Baru Terhadap Anak Muda awal Tahun 1970-an
Penulis : Aria Wiratma Yudhistira
Penerbit : Marjin Kiri
Tahun : April, 2010
Tebal : xxi + 161 Halaman

Ingatkah kalian ketika rezim Orde Baru masih berkuasa? Suatu masa pemerintahan yang berkuasa selama 32 tahun, terlama dalam sejarah Indonesia. Suatu rezim dimana mantan presiden kita Soeharto yang selalu menjadi ikon. Ternyata pada masa itu permasalahan model rambut gondrong menjadi suatu hal yang tak dapat dianggap sepele. Ketika Orde Baru berkuasa, rambut gondrong telah menjadi sebuah stigma dalam masyarakat sebagai sesuatu yang cenderung membawa ke arah kriminalitas. Memang hal tersebut dapat membuat sebagian orang tertawa ketika dibahas, padahal kala itu menjadi ajang perdebatan panjang. Oleh karena itu penulis mulai tertarik untuk mencari apa yang sebenarnya terjadi kala itu dengan rambut gondrong.

Dalam buku ini, Aria Wiratma Yudhistira bercerita tentang bagaimana iya berpendapat dan menjelaskan bahwa era Orde Baru menjadi ajang yang ditakutkan bagi para pemilik rambut panjang pada saat itu. Melalui penelitian sedikit demi sedikit, iya dapat mengungkapkan bahwa rambut gondrong ternyata menjadi hal yang diperdebatkan mencapai tahunan lamanya. Seakan ingin menyampaikan kepada pembaca bahwa kekuasaan dapat melakukan berbagai upaya untuk mencapai suatu tujuan tertentu bagi pemerintahaan saat itu.

Satu hal yang menarik, ketika Orde Baru berkuasa ternyata dapat membuat sebuah gunting menjadi alat yang digunakan untuk menertibkan masyarakat. Jikalau senjata AK-47 dan M-16 menjadi sesuatu yang menakutkan, gunting juga menjadi hal yang sangat dihindari saat itu. Pelarangan rambut gondrong pun bukan sesuatu yang dapat diacuhkan, bayangkan seorang jendral juga ikut serta dalam upaya pemberantasan rambut gondrong. Jendral Soemitro pada acara tv nasilonal Republik Indonesia mengungkapkan bahwa rambut gondrong cenderung membuat pemuda menjadi onverschillig atau acuh tak acuh.

Perlakuan diskriminasi pun muncul akibat wacana dilarang gondrong ini, terbukti sebuah televisi nasional Indonesia melarang artis berambut gondrong tampil dilayar kaca. Bahkan beberapa toko pun tidak melayani orang yang berambut panjang. Rambut gondorng dianalogikan laiknya penyakit berbahaya. Di suatu daerah di wilayah Sumatera Utara, justru gubernurnya saat itu pernah membentuk Badan Koordinasi Pemberantasan Rambut Gondorong (Bakorperagon) yang bertugas untuk memberantas orang-orang berambut gondrong. Gerakan anti-gondrong tersebut berupa razia di jalan-jalan raya, pelarangan di lingkungan sekolah, maupun kampus yang dapat mengeluarkan ancaman tidak dapat mengikuti ujian bagi yang melanggar.

Ketika Budaya Hippies Masuk Indonesia

Era 1960-an di Amerika Utara dan Eropa Barat, berkembang suatu gerakan budaya dari generasi muda, yang dikenal dengan nama Youth Counter-Culture. Kanneth Westhues mendefiniskan counter-culture sebagai suatu kepercayaan dan dinilai secara radikal menolak kebudayaan di dalam masyarakat, juga sebagai perlawanan yang berlangsungan. Hingga akhirnya memilih aliran (sekte) alternatif di luar nilai yang telah berlaku. Contoh kelompok yang melakukan counter-culture adalah hippies. Hippies merupakan gerakan tanpa bentuk yang para penganutnya tidak memiliki kartu keanggotaan, dan tidak dibatasi oleh umur, maupun batas negara (Westhues, 1972: 74). Penampilan hippies ini sangat eksentrik, seperti rambut panjang, jenggot yang dibiarkan tidak dicukur, memakai pakaian longgar aneka warna (psikadelik), sandal, mengenakan manik-manik, serta kaum perempuannya tidak memakai bra. Sebetulnya, hippies ini merupakan suatu gagasan yang menawarkan kebebasan dalam hidup, penampilan hippies menyimbolkan kedekatannya dengan alam.

Ketika hippies masuk ke Indonesia, pemerintah Orde Baru jelas menolak. Hippies dianggap mengganggu ketentraman umum oleh Pemerintah. Hippies dinilai sebagai gelandangan dan menyebarkan narkotika di Indonesia. Hippies juga dipercaya telah menyebarkan pengaruh buruk kepada generasi muda.

Padahal anak muda kala itu dibentuk ideologisnya oleh Orde Baru sebagai generasi penurus bangsa. Generasi yang diharapkan dapat melanjutkan nilai-nilai perjuangan yang melandasi Orde Baru. Oleh sebabnya generasi muda dibina dan diselamatkan, agar sejalan dengan gagasan serta ideologi orangtua. Agar dapat berperan sebagaimana mestinya. Namun, gaya hidup remaja yang merebak di masa Orde Baru membuat kekhawatiran dikalangan orangtua. Generasi muda pada saat itu dianggap telah terpengaruh oleh budaya barat yang materialistis, dan perilaku-perilaku yang bertentangan dengan kepribadian nasional.

Citra buruk Gondrong Era Orde Baru

Aria menunjukan bahwa pada saat itu pencitraan rambut gondrong dikalangan anak muda ternyata amat buruk di mata masyarakat, seperti judul pada berita suatu media massa kala itu seperti, “7 Pemuda Gondrong Merampok Biskota”, “6 Pemuda Gondrong Perkosa 2 Wanita”, dan lain sebagainya. Ia menunjukan bahwa citra berambut gondrong adalah sebagai tindakan kriminal pada saat itu. Jarang ia temukan selama penelitianya pada saat menulis buku ini menemukan orang yang berambut cepak, plontos, gundul menjadi suatu pemberitaan yang murujuk ke dalam hal kriminalitas.
Itulah mengapa terdapat larang di berbagai sudut negeri ini mengenai rambut gondrong. Salah satu razia terbesar yang tercatat adalah pada tanggal 9-10 januari 1968. Dikatakan salah satu yang besar dan menghebohkan kala itu karena razia tersebut merupakan perintah langsung gubernur Jakarta saat itu, Ali Sadikin. Ia mengatakan bahwa masalah rambut gondrong harus sudah terselesaikan pada tanggal 31 januari 1968. Dengan kata lain bahwa tidak ada lagi orang yang berambut gondrong di Jakarta setelah tanggal itu. Pernyataan ini ternyata membuat banyak protes dari kalangan pemuda.

Dialektika Rambut Gondrong

Meredakan ketegangan antara pemerintah dengan kalangan generasi muda, Jenderal Soemitro menjelaskan kembali tentang rambut yang menjadi polemik, sebab terkait dengan ideologi orang tua yang ingin diterapkan kepada anak-anaknya. Reaksi anak muda kala itu dianggap sebagai ketidakpatuhan terhadap orangtua. Hingga akhirnya diadakan pertemuan dengan mahasiswa di berbagai universitas di Pulau Jawa. Dalam kesempatan itu, Soemitro mengaku bahwa dirinya tidak melarang rambut gondrong, tetapi menganjurkan anak muda agar lebih baik tidak gondrong agar terlihat rapi. Ia menyatakan bahwa rambut gondrong kurang sedap dipandang. Polemik rambut gondrong secara berangsur-angsung menurun, namun masih ada rasa ketidakpuasan mahasiswa terhadap pemerintah, hingga mencapai titik puncak pada peristiwa 15 Januari 1974 atau yang dikenal dengan Malapetaka 15 Januari (Malari).

Buku yang sangat menarik bagi para pemerhati sejarah Indonesia karena penulis mengangkat masalah yang tidak lazim untuk dibaca. Aria secara berani mengungkap polemik rambut gondrong di era Orde Baru. Dengan gaya bahasa yang mudah dipahami dan tidak berbelit. Setiap detail peristiwa yang dijelaskan oleh Aria dapat membius pembaca serta seolah berada pada masa itu.

Penulis: Danang Kurniawan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *