Menilik “Little Women” dalam Bingkai Perempuan dan Semangat Feminisme

Resensi

Judul : Little Women

Sutradara : Greta Gerwig

Studio : Columbia Pictures, Regency Enterprises, Pascal Pictures

Tahun : 2019

Durasi : 2 jam 15 menit

Genre : Melodrama, Coming of Age

Film ini bercerita mengenai perjuangan Jo March dalam ambisinya untuk menjadi penulis hebat. Sayangnya, ada batasan dan ekspektasi masyarakat pada perempuan yang menghambat mimpi liarnya.

Aspirasionline.com — Little Women adalah sebuah film yang disutradarai oleh sutradara sekaligus aktris, Greta Gerwig. Berlatar cerita di abad ke-19 yaitu selama masa perang saudara Amerika, Little Women menjadi sebuah film adaptasi dari novel dengan judul yang sama karya Louisa May Alcott.

Film ini mengisahkan kehidupan empat saudara dengan ambisi dan tantangannya sebagai perempuan akibat tuntutan dan stereotipe gender pada perempuan masa itu dengan fokus pada  pengembangan karakter tokoh utama, yaitu Jo March yang diperankan oleh Saoirse Ronan.

Berambisi menjadi penulis hebat, Jo March digambarkan memiliki ambisi dan tekad yang kuat sejak muda. Ia mulai menulis dengan tekun tanpa kenal waktu untuk mengabadikan namanya dalam sebuah karya buku novel.

Perjalanan Jo dalam menggapai mimpi dan cinta juga diwarnai dengan persoalan lain yang dihadapi oleh saudari-saudarinya yang juga memiliki mimpinya masing-masing. Sebagai anak kedua dari pasangan Mr. March dan Marmee March, ia memiliki kakak bernama Meg serta dua adik perempuan yaitu Beth dan si bungsu Amy.

Memahami Jo March, Feminisme, dan Ekspektasi Masyarakat 

Karakter Jo dan penggambaran karakter perempuan lainnya dalam film ini sangat kuat akan pesan perjuangan perempuan yang dikemas secara inspiratif. Jo dan semangat penuh ambisinya berani untuk melawan ekspektasi masyarakat yang mencoba membatasi mimpinya.

Jo melawan stereotipe gender dalam profesi di bidang kepenulisan serta stereotipe perempuan di tengah ekspektasi masyarakat saat itu yang membatasi perempuan untuk terlibat dalam pekerjaan di luar ranah domestik. 

Penggambaran Jo yang mulanya meragukan kemampuan dan tulisannya dapat dilihat sebagai refleksi bagaimana masyarakat melihat ketidakmampuan perempuan dalam bidang menulis. Di mana dalam film tersebut, Jo juga meragukan kemampuannya sendiri karena pengaruh pandangan umum terhadap perempuan yang dianggap tidak dapat melakukannya sebaik laki-laki.

Hal ini juga dirasakan oleh adik bungsunya, Amy March dalam meragukan bakat dan kemampuan melukisnya. Dalam salah satu adegan dengan dialog bersama Laurie, Amy juga menyampaikan bagaimana ia merasa ragu terhadap kemampuannya dan menilai bakatnya tidak akan pernah sebanding dengan laki-laki

Jo March dan mimpinya menjadi penulis adalah cerminan semangat perempuan untuk meraih mimpinya sebagai penulis sekalipun saat itu profesi ini didominasi dan dikuasai oleh laki-laki. 

Meski sempat meragukan kemampuannya dan kritik orang lain terhadap tulisannya, Jo tidak berhenti untuk menulis dan mengirimkan tulisannya hingga pada akhirnya tulisan-tulisannya terbit.

Bahkan, salah satu adegan di akhir film memperlihatkan Jo yang sedang memandang proses pencetakan buku dari tulisan yang dibuatnya dengan ekspresi terharu dan bangga.

Persoalan lain yang menggambarkan tantangan yang dihadapi oleh Jo ataupun saudari-saudarinya sebagai perempuan berkaitan dengan pembatasan peran gender yang mengharuskan perempuan untuk bersikap dan menjadi lebih feminim.

Terlihat dari bagaimana perempuan di film tersebut diharapkan untuk bersikap lemah lembut dan berpenampilan feminim dengan gaun dan rambut panjang.

Penggambaran beban ganda terhadap perempuan juga terlihat dari karakter Marmee yang harus merawat dan mendidik keempat putrinya dengan mengerjakan segala tugas dan pekerjaan domestik sendirian sembari mengabdi kepada negaranya melalui kegiatan amal dan aktivisme yang diikutinya.

Ditambah lagi, tercipta pandangan terkait pernikahan sebagai hal yang penting dan utama bagi perempuan karena dilihat sebagai strategi ekonomi untuk keamanan finansial. Seperti halnya tuntutan yang dibebankan pada Amy untuk menikahi laki-laki kaya raya dibandingkan memilih cinta.

Namun, Jo juga menggambarkan bagaimana ia menyukai kebebasan dan pernikahan bukanlah sebuah tujuan utama seorang perempuan. Jo menunjukan perempuan juga memiliki otonomi atas dirinya dalam menentukan pilihan hidupnya.

Mengutip dari dialog yang terjadi antara Jo dengan Marmee, ibunya. Jo menyampaikan kegelisahannya sebagai perempuan atas ekspektasi dan tuntutan masyarakat.

“Aku hanya merasa seperti,” Jo menghela napas kemudian melanjutkan, “Wanita, mereka memiliki pikiran dan mereka memiliki jiwa serta hati. Dan mereka memiliki ambisi dan bakat serta kecantikan,”  lanjut Jo sembari menatap ibunya.

“Dan aku sangat muak dengan orang-orang yang mengatakan bahwa cinta adalah satu-satunya yang pantas bagi seorang wanita,” tegasnya dengan raut marah.

Little Women dan Tantangan Nyata Perempuan Masa Kini

Meskipun memiliki latar waktu pada abad ke-19, persoalan yang dihadapkan oleh tokoh-tokoh perempuan khususnya Jo March dalam film ini masih relevan bagi perempuan hingga saat ini.

Penggambaran terkait ekspektasi dan tuntutan masyarakat terhadap perempuan masih menjadi persoalan dalam masyarakat modern. Beban gender yang diemban perempuan masih menjadi isu yang belum selesai.

Penelitian yang dilakukan Khoirul Huda dan Linda Ayu Renggani pada 2021 dalam jurnal “Perempuan Kapuk dalam Ekspektasi Budaya Patriarki (Sebuah Analisis Beban Gender)” menyebutkan dalam menjalankan interaksi sosial, dominasi patriarki yang memberikan dampak atas pembatasan melalui aturan dalam ruang yang tidak bebas.

Nilai, norma, maupun adat sosial yang ada di tengah masyarakat sejak dahulu mampu melestarikan budaya patriarki tetap eksis hingga kini. Di Indonesia sendiri, hal tersebut dapat dilihat dari tingginya angka pernikahan anak.

Budaya seksisme yang kental di Indonesia menjadi pemicu timbulnya stigma dan tekanan masyarakat terhadap perempuan untuk menikah sesegera mungkin dalam usaha menghindari perzinaan ataupun dianggap “tidak laku” yang serupa dengan label seperti “perawan tua”.

Data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan United Nations International Children’s Emergency Fund (UNICEF) pada tahun 2018 menemukan setidaknya terdapat sekitar 1.220.900 perempuan yang menginjak usia 20 hingga 24 tahun yang menikah saat umur 18 tahun kebawah.

Ironi ini sesuai dengan penggambaran persoalan yang muncul di film Little Women, di mana tuntutan masyarakat terhadap perempuan untuk menikah sangat tinggi. Selain dilihat sebagai sebuah “takdir”, pernikahan bagi perempuan juga digambarkan sebagai strategi ekonomi juga masih menjadi persoalan hingga saat ini.

Tekanan masyarakat dan faktor budaya yang menuntut perempuan untuk mencurahkan seluruh waktunya melakukan pekerjaan domestik sebagai ibu rumah tangga menjadi pemicu perempuan kerap kali tidak memiliki kemandirian dan kestabilan ekonomi.

Karakter Amy yang menjelaskan bahwa perempuan tidak memiliki uang, bahkan setelah menikah, hingga tuntutan menikahi laki-laki kaya untuk menghidupi keluarganya banyak menjadi dilema dan jalan yang dipilih oleh perempuan.

Namun, ditengah kemajuan zaman sekalipun, kecenderungan perempuan untuk bekerja di ranah publik memiliki tantangannya sendiri.

Seperti Jo March yang dihadapkan oleh berbagai hambatan untuk menjadi penulis, tantangan perempuan untuk bekerja khususnya di ranah media masih seringkali terjadi. Terdapat hubungan terkait bagaimana konstruksi gender mempengaruhi perempuan untuk berkarir.

Dalam penelitian berjudul “Pemaknaan Gender Perempuan Pekerja Media di Jawa Barat”, tantangan perempuan dalam bekerja di media adalah terkait beban ganda atas pelimpahan tanggung jawab kepada perempuan dalam ranah kerja domestik setelah menikah.

Hasil riset yang dilakukan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI), pada penelitian berjudul “Pemaknaan Gender Perempuan Pekerja Media di Jawa Barat” yang dilakukan oleh Maimon Herawati pada tahun 2016, menemukan bahwa 85% perempuan Indonesia yang bekerja di media berusia dibawah 35 tahun karena kecenderungan perempuan untuk berhenti bekerja setelah menikah.

Hal ini cukup memperdalam pemaknaan karakter Jo March yang melihat pernikahan sebagai suatu hal yang dihindari, bahkan ia menyampaikan keraguannya untuk menikah karena menyukai kebebasan yang dimilikinya.

Penelitian melalui jurnal sebelumnya juga menyebutkan tantangan lainnya yang harus dihadapi oleh perempuan terkhusus pekerja media karena media adalah dunia yang dikuasai oleh laki-laki adalah tekanan di ruang kerja.

Perempuan yang bekerja di ranah publik akan selalu tarik menarik tanggung jawab dengan beban kerja domestik.

Akhir kata, seperti keraguan yang diutarakan Jo March, “Pada beberapa kesempatan, wanita, seperti mimpi, berjalan berlawanan”.

 

Foto : journal.sociolla.com

Reporter : Natasya Oktavia. | Editor : Nayla Shabrina.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *