Niat Kritik Kenaikan UKT, Mahasiswa UNRI Jadi Korban Kriminalisasi Rektor
Kriminalisasi mahasiswa dan cederanya kebebasan berpendapat hadir di Universitas Riau (UNRI) akibat tuntutan merevisi besaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan Iuran Pengembangan Institusi (IPI).
Aspirasionline.com – Dunia pendidikan tinggi kembali diwarnai kriminalisasi terhadap mahasiswa. Tempat yang seharusnya membuka ruang dialog atas segala bentuk kritik, justru menjadi pelaku utama pembatasan berekspresi.
Khariq Anhar, salah satu mahasiswa Universitas Riau yang menjadi korban dari kriminalisasi di tempat dirinya menimba ilmu akibat mengkritik kebijakan kampus di muka umum.
Bermula dari surat Penetapan IPI dan usulan tarif UKT yang diajukan pihak rektorat kepada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), dan nyatanya tidak melalui sosialisasi terlebih dahulu, sehingga pada akhirnya menimbulkan keresahan dari mahasiswa yang merasa keberatan.
“Tanggal 28 Februari rektor mengajukan kenaikan UKT ke Kemendikbudristek. Kami berpikir bahwa akan ada kenaikan UKT yang gila-gilaan,” ujar Khariq saat diwawancarai ASPIRASI pada Sabtu, (11/5).
Usul keberatan itu banyak disuarakan oleh mahasiswa melalui Aliansi Mahasiswa Penggugat (AMP) dengan cara membuka ruang dialog bagi mahasiswa dan pihak rektorat untuk menemukan titik dari permasalah tersebut. Namun, inisiatif dari para mahasiswa tidak dihiraukan oleh pihak rektorat.
Duduk Perkara Rektor Polisikan Mahasiswa
Sebagai bentuk desakan, Khariq bersama AMP membuat konten berupa video berdurasi 35 detik yang diunggah pada akun Instagram @aliansimahasiswapenggugat.
Sebagai pengisi suara dalam video tersebut, Khariq menyinggung besaran biaya UKT beberapa Program Studi (Prodi) yang dianggap tidak manusiawi. Pada akhir video pun Khariq menyebut nama rektor UNRI sebagai broker pendidikan dan menampilkan foto sang rektor.
“(Tanggal) 4 Maret itu kami buat video propaganda karena rektor tidak datang dan kemudian video itu viral,” jelasnya lebih lanjut.
Rektor UNRI, Sri Indarti, yang merasa dirugikan atas pernyataan dalam video tersebut akhirnya melaporkan Khariq ke pihak berwajib atas pasal pencemaran nama baik dan tuduhan melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Namun, Khariq mengaku baru mengetahui laporan tersebut sebulan setelahnya. “Rupa-rupanya dilaporkan oleh rektor pada tanggal 16 Maret. Namun, kami sama sekali tidak tahu bahwa sudah dilaporkan polisi hingga tanggal 23 April 2024,” ungkapnya.
Beberapa hari setelah laporan masuk ke pihak kepolisian, Khariq sempat dimintai konfirmasi oleh dosen mengenai pengguna dibalik akun AMP, yang usut punya usut ditanyakan atas permintaan rektor.
Setelah resmi mendapat surat panggilan dari Ditreskrimsus Polda Riau, pada tanggal 25 Maret, Khariq menyanggupi panggilan klarifikasi tersebut tanpa didampingi siapapun. Selain itu, menurut pengakuan Khariq, upaya mediasi yang seharusnya melibatkan dirinya sebagai terlapor justru diputuskan sepihak oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) tanpa mempertimbangkan kehadirannya.
“Kontribusi dari kelembagaan mahasiswa enggak ada dalam kasus saya, saya akui mereka apatis banget dalam hal ini,” kata Khariq.
Kemudian di tanggal 29 Maret, Khariq kembali memenuhi panggilan pihak kepolisian, yang awalnya hanya untuk mengulang pertanyaan dan merevisi panggilan klarifikasi yang pertama. Namun kenyataannya, Khariq justru mendapatkan pertanyaan yang menyudutkan perihal pengakuan bersalah.
“Berkali-kali diminta untuk mengakui, sampai 5 jam waktu itu. Kami merasa tidak bersalah dengan menyebut rektor sebagai broker karena kebijakan yang beliau ambil itu berakibat kepada kami nanti di angkatan 2024,” terang Khariq.
Setelah adanya kesepakatan dan berlangsungnya mediasi terakhir, dilansir dari Detiknews, Khariq pun telah meminta maaf dan Sri Indarti telah membuat surat pencabutan laporan pengaduan yang ditujukan kepada Direktur Reskrimsus Polda Riau pada Senin, (13/5).
Imbas PTN-BH Berujung Kriminalisasi Pendidikan
Akar permasalahan utama yang memicu kasus kriminalisasi pendidikan yang terjadi di UNRI ialah kenaikan UKT dan IPI.
Kenaikan UKT di kampus yang terletak di Kota Pekanbaru ini terbilang cukup drastis. Bahkan setelah mendapat desakan dari mahasiswa, sampai saat ini belum ada perubahan terkait penetapan tersebut.
“Namun sayangnya sampai hari ini UKT tetap lanjut dengan nominal yang kalau periode kami di 2024 ke bawah itu sampai UKT level 6, besok itu sampai level 12. Dikali 2 saja kalau kemarin itu Rp 7 juta, besok sampai Rp 14 juta rata-ratanya. Namun ada yang Rp 16 juta sampai Rp 38 juta di prodi-prodi tertentu,” ungkap Khariq.
Sejalan dengan hal tersebut, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji mengkritik adanya kenaikan UKT berkaitan dengan skema Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH) yang menghilangkan tanggung jawab pemerintah terhadap kampus.
Menurutnya, jika pemerintah memiliki political will untuk meningkatkan akses di perguruan tinggi, maka besaran UKT harus tetap ditanggung pemerintah.
“Kampus-kampus negeri menjadi PTN-BH kemudian membebankan pembiayaan UKT yang mahal kepada mahasiswa, artinya negara tidak mau bertanggungjawab atau lepas tanggung jawab,” ujar Ubaid kepada ASPIRASI pada Minggu, (12/5).
Ubaid menambahkan, mestinya hal ini dapat dijadikan momentum bagi kampus untuk mendengarkan suara mahasiswa dengan membuka pintu dialog, bukan malah melakukan persekusi atau kriminalisasi.
“Mahasiswa itu punya hak untuk bersuara, kenapa kemudian ketika mahasiswa itu bersuara malah dikriminalisasi oleh rektor,” cetusnya.
Bahkan, kata Ubaid, tuntutan pencemaran nama baik yang dijatuhkan terhadap Khariq itu tidak berdasar tanpa fakta dan data lantaran bukan tindakan yang termasuk dalam kategori penghinaan atau merendahkan.
“Apa yang disampaikan oleh mahasiswa itu kan dia punya faktanya, dia punya datanya, dia (Khariq) sebagai korban, jadi tidak memenuhi unsur pencemaran nama baik,” tutur Ubaid.
Oleh karena itu, Ubaid menilai bahwa tindakan rektor UNRI bersifat represif dan melanggar kebebasan berpendapat. Hal ini tentunya dapat merusak citra dan dapat dikatakan sebagai bentuk kemunduran demokrasi bagi sistem perguruan tinggi.
Kedepannya, menurut Ubaid, kasus yang terjadi di UNRI harus menjadi catatan bagi Kemendikbudristek dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap perguruan tinggi di Indonesia.
“Jangan menambah daftar kebodohan kampus yang justru paradoks dengan prinsip kampus yang mestinya mencerdaskan kehidupan bangsa. Sangat memalukan,” pungkas Ubaid.
Ilustrasi: ASPIRASI/Anastasya
Reporter: Rara Siti | Editor: Nayla Shabrina