Permainan Roleplay: Menghapus Jarak Antara Peran dan Realita

Forum Akademika

Saat bermain roleplay, anak cenderung memiliki kepuasan tersendiri ketika bisa memerankan karakter tertentu yang mereka impikan. Namun, hal tersebut nyatanya akan membentuk kepribadian buruk, yakni kebohongan kompulsif.

Aspirasionline.com – Roleplay merupakan permainan peran yang dilakukan secara virtual dengan cara menirukan idola, mulai dari sikap, cara bicara, hingga kegiatan sehari-hari.

Menurut Agustina, Psikolog dan Dosen Universitas Tarumanegara, seseorang yang melakukan roleplay memiliki kepuasan tersendiri dalam memerankan karakter yang mereka inginkan.

“Misalnya mereka ingin menjadi idol K-pop ataupun artis, nah itu bisa mereka wujudkan di dalam permainan roleplay ini,” jelasnya kepada ASPIRASI, Senin (3/7).

Kegiatan roleplay kerap dilakukan oleh remaja tanggung yang berada di fase kelabilan identitas karena sedang mencari jati diri. Oleh karena itu, hadirnya roleplay seperti mampu mewadahi mereka dalam mencapai keinginan untuk menjadi siapakah diri mereka. 

Dari sini pula, bisa timbul kebingungan identitas yang dapat memicu ke arah kebohongan kompulsif. Kebohongan kompulsif sendiri merupakan kebohongan yang terus melebar dengan tujuan memuaskan diri sendiri tanpa adanya imbalan apapun.

Agustina menjelaskan, kebohongan kompulsif yang bisa terbentuk saat anak terbiasa berbohong dengan membuat alur kehidupannya sendiri.

“Istilahnya fantasi itu diwujudkan di dalam permainan ini,” katanya.

Ia melanjutkan, meski pemain roleplay tidak diberi imbalan apa-apa saat bermain peran, tetapi mereka akan mendapatkan kepuasan yang diperoleh dari memerankan karakter atau kehidupan yang berbanding terbalik dengan kehidupan nyata mereka.

“Mereka tidak perlu imbalan, tetapi mereka memiliki kepuasan tersendiri ketika bisa memainkan game itu dengan karakter tertentu yang mereka impikan atau harapkan yang sulit diwujudkan di dunia nyata mereka,” imbuhnya.

Pentingnya Peran Kognitif Anak dalam Bermain Roleplay

Permainan roleplay memiliki beragam dampak bagi penggunanya baik secara positif maupun secara negatif. Secara positif, Agustina mengatakan permainan roleplay ini bisa menghibur anak-anak dengan memunculkan karakter yang sesuai dengan keinginan mereka.

Kendati demikian, dampak negatif dari roleplay pun tidak dapat dihindari apabila permainan ini dilakukan secara berlebihan, terutama oleh anak-anak di bawah umur yang baru berkecimpung di media sosial.

Agustina lantas mengelaborasi jika anak-anak belum memiliki kemampuan kognitif yang mumpuni untuk bisa membedakan karakter yang sedang mereka perankan dengan karakter yang konkret di dunia nyata. Belum lagi, rasa penasaran yang timbul pada diri anak ketika bermain dapat memancing anak untuk terus bermain hingga berujung pada efek kecanduan.

“Ini juga yang akhirnya membuat mereka yang memainkan game ini akhirnya seperti kecanduan gitu, loh. Kayaknya sulit untuk meninggalkan game-nya, akhirnya pekerjaannya, mungkin aktivitasnya, kewajiban sehari-harinya jadi terbengkalai,” tutur Agustina.

Efek kecanduan ini yang nantinya akan membuat anak terlalu fokus pada dunia media sosialnya dan justru mengabaikan lingkungan sekitar serta kehidupan bersosialisasinya di dunia nyata.

Selain itu, roleplay sendiri memiliki peran tersendiri dalam membangun kecerdikan anak untuk berbohong. Kemampuan untuk memerankan karakter orang lain di dunia roleplay ini membuat anak yang masih di bawah umur dapat memerankan karakter dengan usia dewasa dan menciptakan kehidupan di luar batas umurnya, seperti kehidupan pernikahan.

Belum lagi, dalam bermedia sosial sendiri, biasanya akan ada batasan umur tertentu pada setiap aplikasi di mana anak-anak yang diketahui berada di bawah batas umur itu tidak bisa membuat akun sosial media. Demi mendukung kesenangan mereka, anak-anak akan berbohong perihal usia mereka agar dapat membuat akun sosial media.

“Contohnya seperti Instagram, TikTok, bahkan e-mail itu kan sebetulnya ada level usia terendah, ‘kan, minimal usia 12 tahun baru bisa bikin akun. Tapi ‘kan semua itu bisa, apa ya, istilahnya dibohongi,” ungkap wanita itu.

Bukan hanya kedua hal itu, Agustina pun turut khawatir pada kemampuan anak untuk bisa membedakan antara dunia bermedia sosialnya dengan realita. Apabila anak terlalu mendalami karakter yang ia perankan dalam dunia roleplay, hal ini pastinya akan berdampak pada kehidupan nyatanya. Contohnya, ketika anak mulai mengabaikan tugasnya dan justru berlakon seperti karakter yang ia perankan hingga melupakan realita yang anak pijak.

“Kalau case-nya seperti ini, ada kemungkinan ini sudah terjadi distorsi kognitif. Namanya jadi ada kesalahan di dalam berpikir. Dia sulit membedakan mana dunia maya dan juga dunia nyatanya,” tegas Agustina.

Butuh Andil Orang Tua

Untuk mengatasi masalah ini, orang tua sangat berperan penting dalam mengawasi dan mendampingi pergaulan anak, terutama di media sosial. Dalam melakukan pengawasan, orang tua disarankan untuk menjadi sosok pendamping dan berperan sebagai teman.

“Kita bisa memberikan masukan dan pandangan tapi dengan level seusia anak. Karena kalau kita dengan level orang tua ya tentu akhirnya seperti kita menggurui gitu. Sedangkan pada mereka yang remaja, yang dibutuhkan adalah teman yang biasanya opini teman lebih didengar,” terang Agustina.

Dalam rangka menjaga keseimbangan dan pengalaman positif dalam permainan roleplay, penting bagi orang tua untuk memberikan pengawasan yang memadai dan membantu anak memahami perbedaan antara dunia nyata dan dunia maya. 

Dengan pendekatan yang tepat, permainan roleplay dapat menjadi wadah yang membantu anak berkembang dengan baik.

“Berbahaya atau tidak, kembali lagi ke penjelasan pertama saya bahwa hal ini ada positif negatifnya. Kita lihat dari sisi positif, ya artinya bisa membantu perkembangan,” lugas Agustina.

 

Ilustrasi: ASPIRASI/Alfin Zai.

Reporter: Alfin Zai. | Editor: Fitrya Anugrah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *