Pengaruh Meme sebagai Ekspresi dan Kritik Politik

Forum Akademika

Meme bukan hanya sekadar hiburan, tetapi juga menjadi media untuk mengekspresikan opini politik dan menyindir isu terkini. Namun, penggunaan meme juga menimbulkan tantangan, dan perlu kesadaran etika di dalamnya.

Aspirasionline.com –  Dalam era informasi digital yang terus berkembang, media sosial telah menjadi panggung untuk bentuk kritik yang masif, salah satunya meme. Meme sendiri memiliki pengertian yang berbeda-beda. Namun, penggunaan kata meme dalam digital dapat diartikan sebagai gambar atau video visual hiburan pada media sosial yang tersebar cepat di internet.

Meme pertama kali diperkenalkan oleh (Dawkins, 2006) dalam bukunya yang menyebutkan bahwa meme merupakan bentuk gagasan, perilaku, dan gaya yang sifatnya menyebar dari satu orang ke yang lainnya. 

Di Indonesia, meme tidak hanya menjadi fenomena digital hiburan semata. Meme telah menjadi sarana kritis yang mampu mengekspresikan opini politik dan menginterpretasikan sindiran terhadap pemerintah menyangkut isu yang sedang berlangsung.

Perubahan bentuk ekspresi masyarakat yang sebelumnya melalui media cetak, kini silih berganti dengan adanya era media sosial. 

Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta (UPNVJ), Windhiadi Yoga menilai bahwa masyarakat Indonesia lebih menyukai konten visual meme sebagai bentuk ekspresi yang ringkas dibandingkan informasi berita yang utuh.

“Jadi, kalau masyarakat kita itu jauh lebih cepat mengerti kalau misalnya informasi yang disajikan itu adalah lewat bahasa visual. Nah, meme ini kan kemudian menjadi sarana yang sangat efektif mengingat banyak dari masyarakat kita itu memang masih belum melek literasi,” ujar Windhiadi kepada ASPIRASI melalui Zoom Meeting, Rabu, (12/7).

Awalnya untuk Hiburan, Kini Meme Laku Keras di Pasar Politik

Penggunaan humor dan satir dalam komentar serta kritik politik bukanlah hal baru dalam kehidupan politik. Humor satir telah banyak terlihat sebelumnya dalam bentuk visual lain. Humor politik pun perlahan mulai menemukan bentuk barunya.

Saat ini, meme banyak digunakan baik oleh masyarakat maupun aktor politik sekalipun. Selaras dengan Windhiadi yang menyatakan banyak oknum yang tidak bertanggung jawab menggunakan meme sebagai bentuk ekspresi mereka.

“Kelebihan meme itu adalah dia bisa menjangkau semua orang, berbagai level usia dan berbagai level pendidikan. Yang ga bisa baca sekalipun pasti dia akan ngerti,” sebut dosen yang juga mengajar Semiotika Komunikasi tersebut.

Salah satu dampak utamanya adalah pengaruhnya terhadap opini publik. Penelitian menunjukkan bahwa meme dapat mengubah persepsi masyarakat terhadap isu-isu politik tertentu dan memicu reaksi emosional. 

Meme dengan sentuhan humor seringkali lebih menarik perhatian dan lebih mudah diingat oleh masyarakat, sehingga pesan politik yang disampaikan dalam meme menjadi lebih melekat dalam ingatan.

Menurut Rosa Redia Pusanti, Universitas Sebelas Maret Surakarta, dalam jurnalnya berjudul “Representasi Kritik Dalam Meme Politik”, penggunaan meme sebagai humor politik dalam wacana politik tampak memvalidasi teori konvergensi budaya serta konsep determinasi teknologi.

Ia menyebut, wacana informal dari dunia maya berubah menjadi wacana yang berpotensi politis, baik dipandang sebagai modal politik bagi para aktor politik, maupun sebagai media kritik bagi khalayak terutama di kalangan muda pengguna internet.

Sosial media sebagai suatu ruang ekspresi baru memberikan pengaruh yang sangat cepat dan dinamis salah satunya sebagai media kritik. Independensi media konvensional diyakini mengalami penurunan akibat status kepemilikan media. Sikap skeptis khalayak kepada media konvensional yang diyakini ditunggangi kepentingan elit politik tertentu membuat budaya kritik khalayak bermigrasi ke media sosial. Gerakan kritik sosial politik di media sosial semakin kuat dan lantang, bahkan dalam format-format baru yang mengandung humor satir, seperti meme.

Menanggapi hal ini, Windhiadi beranggapan jika ada tahapan-tahapan yang perlu dilalui ketika seseorang ingin melakukan kritik politik melalui meme. Tahapan tersebut diawali dengan menyadari substansi kritik yang disampaikan, baru lah meme dibentuk sebagai pendamping atau pendukung dari kritik politik yang coba disampaikan tersebut.

“Orang disadarkan dulu dengan konteks. Orang disadarkan dulu dengan substansi dari kritik. Baru kemudian hal-hal pendamping seperti meme tadi itu silahkan dikeluarkan. Jangan memenya dulu keluar, substansial belakangan. Nah, itu yang bahaya,” ujar Windhiadi.

Perubahan Era Digital Justru Membentuk Pedang Bermata Dua 

Masifnya media sosial saat ini, telah mengubah banyak perubahan salah satunya gaya kritik masyarakat. Windhiadi menyebut masyarakat kita belum siap menghadapi perubahan ini.

“Masuknya teknologi informasi ke dalam masyarakat kita yang kemudian berkembang dengan sangat cepat, sayangnya tidak dibarengi dengan adanya melek literasi,” lanjutnya.

Kemudian daripada itu, Windhiadi menilai penggunaan meme politik di Indonesia dapat menimbulkan adanya mal informasi yang sengaja disebarkan oleh oknum. Mal Informasi menggunakan fakta dan merangkai fakta, tetapi fakta itu digunakan untuk framing kepada informasi tertentu. 

“Jadi memang banyak oknum-oknum yang memanfaatkan meme ini untuk menjadi penyesatan informasi, ini kan permasalahannya daripada teks ya, karena gambar itu memiliki penafsiran satu juta makna,” ucap Windhiadi menjelaskan.

Dalam penelitian yang dipublikasikan di “Jurnal Kajian Politik” Universitas Indonesia, meme memiliki dampak yang signifikan terhadap pembentukan opini publik. Meskipun demikian, penelitian ini juga menekankan bahwa meme cenderung memperkuat polarisasi opini. 

Keterbatasan ruang untuk menyampaikan pesan dalam bentuk visual seringkali mengabaikan kompleksitas isu politik yang sebenarnya. Selain itu, meme yang bermuatan kontroversial atau menyinggung dapat memicu konflik dan mengaburkan substansi dari pesan yang ingin disampaikan.

Di sisi lain, menurut “Jurnal Media dan Komunikasi Politik” yang diterbitkan oleh Universitas Padjadjaran, penggunaan meme sebagai bentuk kritik politik juga memerlukan kesadaran etika. Meme yang mengandung pemalsuan informasi atau disinformasi dapat merusak diskusi publik dan merugikan proses demokrasi. Oleh karena itu, kesadaran akan tanggung jawab moral dan politik dalam membuat dan membagikan meme adalah aspek yang tidak boleh diabaikan.

Makanya meme ini jauh lebih berbahaya karena deviasi penafsiran itu bisa 180 derajat. Kalau pun ingin memasukkan meme sebagai unsur dari kritik politik, dia hanya sebagai pendamping saja. Tetap yang dikedepankan kepada masyarakat kalau kita ingin melakukan sosialisasi kritik politik, yaitu adalah melalui substansi dan kontekstual,” tutup Windhiadi mengakhiri sesi wawancara hari itu.

 

Foto: Diambil dari berbagai sumber.

Reporter: Maulana Ridhwan. | Editor: Nabila Adi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *