Menunggu Kepastian Lahirnya Regulasi Perlindungan Kurir Ekspedisi

Nasional

Belum cukupnya hak upah dan regulasi yang mengatur perlindungan keselamatan dan kesehatan bagi kurir menjadi penyebab meningkatnya korban jiwa akibat risiko kecelakaan kerja. 

Aspirasionline.com – Jumlah kematian pekerja akibat kelelahan dan kecelakaan terus meningkat. Data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan bulan Januari hingga November 2022 menyebutkan terdapat 265.334 kasus kecelakaan kerja di Indonesia.

Angka tersebut naik 13,6 persen dibandingkan tahun 2021, yakni sebanyak 234.270 kasus. Untuk itu, implementasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) harus diprioritaskan, termasuk pada pekerja kurir. 

Dosen Kesehatan Masyarakat Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta (UPNVJ) Afif Amrullah turut merasa sedih saat mendengar banyaknya berita yang beredar mengenai kurir meninggal. 

“Secara pribadi saya merasa sedih, dia (kurir) terpaksa harus melakukan usaha yang susah payah sampai berkorban nyawa,” ujar Afif saat diwawancarai reporter ASPIRASI pada Kamis, (2/3).

Afif mengatakan jam kerja kurir yang terlihat fleksibel malah membuat para pekerja pengantar barang tersebut menggunakan jam kerja yang lebih lama dibandingkan pekerja lainnya. Seharusnya, batasan jam kerja bagi pekerja ialah delapan jam per harinya.

Namun, kurir biasanya melampaui batasan waktu kerja tersebut karena harus memenuhi target. 

“Otomatis kalau kerja lebih lama, terjadilah faktor kelelahan yang bisa memicu kejadian seperti itu (meninggal),” ujarnya.

Mengejar Target Demi Mengais Upah Tanpa Batasan Waktu Kerja

Tidak dapat dipungkiri bahwa seorang kurir harus membanting tulang untuk bekerja sesuai dengan target yang ditentukan perusahaan demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Setidaknya, kurir harus mengirim minimal 50 paket per harinya dengan waktu kerja yang tidak ditentukan oleh pihak ekspedisi. 

“Kalo dari ekspedisi itu ditargetin 50 per hari, untuk jam kerja sendiri kita fleksibel asal per hari target terpenuhi,” ucap Andri, kurir paket dari salah satu ekspedisi kepada ASPIRASI pada Minggu, (14/5).

Selain permasalahan jam kerja yang melewati batas, tidak adanya kepastian pendapatan upah minimum juga memperparah kondisi kerja kurir. Andri mengaku, upah yang ia dapatkan tergantung dari jumlah paket yang berhasil dikirimkan kepada penerima paket.

“Tarif antar paket di ekspedisi saya itu harga per paketnya bisa Rp1.500-anlah, jadi total pendapatan per bulan bisa 4 jutaan, tergantung jumlah paket yang saya antar,” terang Andri. 

Ditambah, upah tersebut belum sepenuhnya pendapatan bersih yang diterima oleh Andri per bulan. Pengeluaran seperti uang makan, uang bensin, dan uang perawatan motor ditanggung oleh masing-masing kurir.

“Cukup nggak cukup ya kita cukup-cukupi, mba. Gaji yang saya dapat itu harus meng-cover semua kebutuhan saya, seperti uang makan dan bensin itu ditanggung sendiri,” lanjutnya.

Meskipun begitu, Andri sendiri lebih menyukai sistem kejar target karena upah yang didapatkan bisa saja lebih banyak jika paket yang diantar lebih banyak daripada biasanya.

“Apesnya ya kalau emang lagi sepi aja. Itu kadang saya per hari pernah nganter paket di bawah target kantor dan upah yang saya dapat ya sedikit, sedangkan makan dan bensin ya habisnya tetap sama,” keluh Andri. 

Menurut Dosen Hukum Ketenagakerjaan UPNVJ Andriyanto Adhi Nugroho waktu kerja yang tidak terbatas dalam upaya kurir mencapai target pengiriman dapat berisiko melanggar Undang-undang (UU) Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 

“Kan di peraturan perundang-undangan itu harus ada waktu kerja, di mana 40 jam per minggu. Nah, lewat dari itu adalah waktu lembur, dan waktu lembur itu adalah hak pekerja yang harus dipenuhi oleh perusahaan,” jelas Andriyanto saat ditemui reporter ASPIRASI pada Kamis, (27/4).

Sayangnya, dengan sistem waktu kerja kurir yang terbilang fleksibel tersebut, maka tidak dikenal dengan istilah waktu lembur. 

Di sisi lain, Afif mengemukakan bahwa terdapat persimpangan antara beban kerja yang ditentukan perusahaan dengan kemampuan dari kurir itu sendiri. 

“Ketika menentukan standar supaya profit tercapai, perusahaan tidak pernah mempertimbangkan beban kerja yang harus dipenuhi pekerja. Sehingga pekerja lebih banyak dirugikan jika dibandingkan dengan pemilik modal,” ujar dosen yang mengajar di mata kuliah Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) itu. 

Ironisnya, beberapa perusahaan ekspedisi mengharuskan kurir untuk melakukan pick up barang dalam jumlah tertentu untuk mendapatkan bonus. 

“Akibatnya, dia mau tidak mau harus memenuhi standar yang telah ditentukan perusahaan, otomatis jadi memaksa,” kata Afif seraya melanjutkan, “Dan ketika kondisi tubuhnya sudah tidak kuat, dia mengalami overload atau kerja berlebih sampai terjadi kasus tersebut.”

Regulasi Perlindungan Risiko Kerja Kurir Masih Minim

Dilansir dari laman Kompas, regulasi yang secara khusus mengatur hak dan keselamatan kerja pada kurir masih diwacanakan oleh Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker). Namun, sampai saat ini belum menemukan titik terang. 

Bahkan jika dilihat dari Undang-undang Keselamatan Kerja Nomor 1 Tahun 1970, regulasi perlindungan kerja kurir pada umumnya di Indonesia saat ini belum cukup memadai.

“Sekarang kan ada pekerja kurir yang COD dari e-commerce, nah harusnya UU tersebut direvisi mengikuti perkembangan zaman terkait dengan kategori kecelakaan kerjanya dan hak-hak apa saja yang diterima pekerja,” ucap Andriyanto. 

Sejalan dengan argumen tersebut, Afif juga merasa perlunya ketegasan dari pihak ekspedisi maupun pemerintah untuk lebih memprioritaskan kesejahteraan para pekerja kurir. “Tentunya yang paling berkompeten disini adalah pemerintah dan pihak legislatif, baik dari pihak pusat atau daerah,” kata Afif.

”Sampai saat ini belum ada ketegasan dari pihak-pihak terkait yang berkepentingan dalam keselamatan kerja kurir,” lanjutnya.

Salah satu upaya perlindungan risiko kerja kurir tersebut adalah memberikan jaminan sosial seperti Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) ketenagakerjaan kepada kurir. 

Namun, sayangnya untuk cek kesehatan fisik kurir meskipun sudah ada tapi tidak dilakukan secara berkala. 

“Untuk perlindungan kerja itu kita dapat BPJS Ketenagakerjaan dan di ekspedisi saya sendiri ada pengecekan kesehatan, tetapi tidak dilakukan secara rutin,” tutur Andri.

 

Foto: www.radardepok.com 

Reporter: Nayla Shabrina, Fitrya Anugrah. | Editor: Miska Ithra.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *