Waspada Politik Uang di Pilpres

Nasional

Aspirasionline.com – Saat ini kita memasuki detik akhir menjelang hari pemungutan suara pemilu presiden 9 Juli. Banyak pihak mengingatkan agar masyarakat mewaspadai praktik politik uang, serangan fajar, atau bujuk rayu dengan tujuan mempengaruhi pilihan warga. Ada dua kubu pasangan calon presiden mengklaim bakal dicurangi, termasuk lewat politik uang. Tapi money politics atau vote buying kemudian kerap muncul dalam berbagai bentuk yang seringkali sulit diproses hukum.

Menurut aktivis LSM anti korupsi ICW, Donal Fariz politik uang selalu terjadi di setiap even politik mulai dari pemilihan kepala daerah hingga pemilu presiden. Menurut dia, seakan sudah menjadi kultur kalau suara masyarakat pemilih bisa dibeli dengan iming-iming uang. “Politik uang itu menyasar masyarakat berpendidikan dan ekonomi rendah. Mereka kelompok rentan karena hanya berfikir kesempatan mendapatkan tambahan ekonomi dengan menjual suaranya,” jelas Donal di Gedung KBR, Senin (7/7).

Tak hanya itu, menurut Donal, politik uang juga menyasar perempuan. Mengapa? Karena posisi strategis perempuan untuk mempengaruhi. Misalnya seorang ibu mempengaruhi anaknya untuk memilih salah satu kandidat. Selain itu, perempuan juga mudah terbujuk rayu dengan uang dan pemberian,” Politik uang sudah mendegradasi demokrasi. Politik uang juga menyasar kelompok perempuan. Perilaku ini menyebabkan proses demokrasi dibajak kelompok dengan kekuatan uang. Bahkan,tingkat kemiskinan mempengaruhi celah politik uang,” jelas Donal.

Pada pemilu 2014 ini, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan PPATK menemukan indikasi banyaknya kasus politik uang. Termasuk pada pemilu legislatif lalu. PPATK bahkan menemukan indikasi ada caleg yang mengeluarkan biaya hingga Rp 11 miliar untuk membeli kursi.

Sementara itu, anggota Bawaslu DKI Jakarta Muhammad Jupri menjelaskan, politik uang tidak hanya menyasar daerah-daerah kecil yang minim pengawasan. Di Ibukota Jakarta, politik uang juga gencar terjadi. Dari ceritanya, Bawaslu Jakarta memenjakaran satu orang terkait dengan politik uang yang terjadi dalam pemilu legislatif 9 April lalu.Namun ia tidak menampik, dalam pemilu presiden juga gencar terjadi, “Politik uang di pilpres sedang kami telusuri. Agak berbeda dengan pemilu presiden. Bahkan, di pemilu legislatif kami mengajukan satu kasus pidana pemilu dan sudah divonis penjara terkait politik uang pemilu legislatif,” jelas Muhammad Jupri dalam perbincangan dengan mimik wajah serius.

Jufri menjelaskan, banyak kendala dalam menindak pelaku politik uang ke ranah pidana pemilu. Menurut dia, aturan soal waktu pengaduan yang sempit menyebabkan banyak pengaduan kandas dan tidak bisa ditindaklanjuti, “Di forum penegak hukum terpadu, kita harus bisa membuktikan sumber uang dari mana. Di pemilu legislatif lalu kita menerima 195 aduan, ada 94 kasus mengandung potensi pidana pemilu namun hanya satu yang divonis hukuman penjara,” jelas M.Jupri.

Ada perbedaan penanganan dan waktu pengaduan antara pemilu presiden dan pemilu legilatif. Jika di pemilu legislatif ada kesempatan tujuh hari kerja untuk mengadukan dan memproses dengan Gakumdu, maka di pemilu presiden, kesempatan menindaklanjuti kasus waktunya semakin pendek yaitu tiga hari.

Masalah penegakan hukum yang lemah juga diakui oleh LSM pemantau korupsi ICW. Menurut aktivis ICW, Donal Fariz, penegakan hukum yang melibatkan Bawaslu dan aparat hukum lemah,” Kita juga kesulitan melaporkan politik uang ada banyak kendala teknis pelaporan yang membuat orang takut lapor. Bahkan, ada pelapor yang mendapatkan ancaman. Hal itu menyebabkan proses hukum terhambat,” jelas Donal.

Menutup perbincangan, Anggota Bawaslu Jakarta dan ICW meminta agar masyarakat berani melaporkan politik uang terjadi di pilpres. Apalagi, di kala Ramadhan, banyak terjadi “sedekah politik” . Jangan sampai pemilu yang dianggap cermin demokrasi bangsa tercabik-cabik oleh sekelompok orang haus kekuasaan yang hanya bermodalkan kekuatan kapital.

Sumber : KBR68H

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *