Berkaca pada Amerika Serikat dan Orde Baru
Amerika Serikat dan Orde Baru menjadi contoh untuk penerapan Kredit Pendidikan. Sejauh mana keberhasilan penerapannya?
Aspirasionline.com — Presiden Jokowi mengeluarkan ide dalam rapat terbatas yang membahas “Peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia” di Kantor Presiden, Kamis (15/3). Dalam rapat tersebut, presiden ketujuh Republik Indonesia ini melontarkan ide yang disebut “kredit pendidikan”.
Melalui kredit pendidikan, Jokowi berharap semua masyarakat bisa mengakses pendidikan tinggi. Rencana ini hadir untuk memberikan bantuan finansial (pinjaman, red) kepada generasi muda yang ingin menempuh pendidikan tinggi, tetapi terhalang dalam pembiayaan.
Presiden Jokowi menjadikan Amerika Serikat sebagai contoh dari penerapan kredit pendidikan ini. Bagaimanakah penerapannya di sana?
Secara umum, kredit pendidikan (student loans) di Amerika Serikat bisa dikategorikan dalam dua jenis. Seperti dilansir dari Federal Student Aid, dua jenis kredit pendidikan di Amerika Serikat ialah Federal Loans dan Private Loans.
Federal Loans adalah pinjaman yang diberikan pemerintah agar mahasiswa dapat menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Sedangkan Private Loans adalah pinjaman untuk mahasiswa yang tidak disediakan pemerintah, melainkan oleh bank, lembaga pinjaman, dan perguruan tinggi.
Pada pelaksanaanya, Federal Loans dibagi menjadi dua kategori pinjaman, yaitu Federal Student Loans, dan Federal Parent Loans. Pada kategori Federal Student Loans, pinjaman dibayar oleh mahasiswa yang bersangkutan setelah lulus atau meninggalkan perguruan tinggi (drop out, dan tidak melanjutkan studi, red). Sedangkan, untuk kategori Federal Parent Loans, kewajiban membayar pinjaman dilakukan oleh orang tua mahasiswa dengan jangka waktu pembayaran sampai mahasiwa lulus atau jangka waktu tertentu sesuai dengan perjanjian.
Implementasi Student Loans
Sejatinya, student loans Amerika Serikat berbentuk pinjaman yang membuat mahasiswa bisa menikmati pendidikan tinggi dengan hampir gratis. Sebelum aktif berkuliah, mahasiswa yang bersangkutan akan menandatangani kontrak dengan bank, menyatakan bersedia untuk melunasi pinjaman usai lulus.
Jadi, kuliah para mahasiswa tidak benar-benar gratis, tetapi segala biayanya harus dibayar –bisa langsung lunas atau menyicil– setelah ia menamatkan pendidikan dan bekerja. Dengan demikian, student loans berbeda dengan beasiswa atau hibah yang tidak mewajibkan pelajar atau mahasiswa yang bersangkutan untuk mengganti biaya pendidikan.
Di Negeri Paman Sam, meningkatnya jumlah student loans setiap tahunnya sudah menjadi masalah klasik yang selalu dialami. Meningkatnya jumlah pinjaman ternyata juga dibarengi dengan meningkatnya jumlah peminjam student loans yang gagal melunasi utangnya itu.
Data dari U.S. Departement of Education, per 2017 menyebutkan, sekitar 11,5% peminjam dinyatakan gagal untuk membayar utangnya dalam kredit pendidikan. Angka tersebut meningkat sebesar 0,2% dari tahun sebelumnya yang tingkat gagal bayar mencapai 11.3% dari total peminjam kredit pendidikan.
Kekhawatiran mengenai gagal bayar yang menjadi ancaman sistem kredit pendidikan juga diungkapkan oleh Pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Semarang (UNNESS), Edi Subkhan. Ia menerangkan bahwa 70% mahasiswa di Amerika Serikat merupakan pengguna student loans. Meskipun para mahasiswa tersebut telah menyelesaikan masa studinya, akan tetapi student loans masih menjadi masalah finansial mereka sendiri.
Tak jauh berbeda dengan yang diungkapkan oleh Edi, data yang diterbitkan oleh Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed), menyatakan bahwa 70% sarjana lulus dengan membawa utang student loans. Mengacu hasil riset yang dirilis Brookings pada Januari 2018, Judith Scott-Dlayton seorang akademisi dari Columbia University memprediksi bahwa persentase gagal bayar akan naik menjadi 40 persen pada tahun 2023. Dengan hitungan rata-rata tingkat gagal bayar dalam 3-5 tahun usai lulus kuliah sendiri mencapai 11,5%.
Persoalan ini pun menjadi sorotan Bank Sentral Amerika Serikat. Gubernur The Fed Jerome Hayden Powell mengungkapkan kepada CNBC bahwa student loans di Amerika Serikat dapat berdampak kepada pertumbuhan ekonomi yang lambat. Hal ini bahkan menjadi pembahasan utama Kongres Amerika Serikat yang masih mencoba menemukan penyelesaiannya. Powell menyoroti kenyataan masih adanya orang-orang yang belum melunasi tagihan mereka sehingga mempengaruhi stabilitas ekonomi orang bersangkutan.
Kredit Pendidikan ala Orde Baru
Indonesia tidak bisa dikatakan awam dalam pelaksanaan sistem kredit pendidikan. Sebelumnya, pada Orde Baru (Orba), hadir kredit pendidikan yang dinamakan Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI). KMI hadir untuk membantu para mahasiswa program sarjana yang kesulitan dalam hal pendanaan, dengan cara memberikan pinjaman yang disalurkan Bank Negara Indonesia (BNI).
Edi mengatakan bahwa KMI ini diberikan kepada mahasiswa dengan jaminan ijazah yang nantinya akan didapatkan setelah menyelasaikan masa studi. Akan tetapi, program tersebut dinilai tidak berhasil lantaran cukup banyak kasus penerima fasilitas KMI yang tidak melunasi pinjamannya. Akhirnya, program KMI ini dihentikan sekitar tahun 1981-1982.
Ia menerangkan KMI yang dihentikan penyalurannya pada 1981-1982 pada dasarnya adalah pemberian pinjaman lunak kepada mahasiswa program strata satu untuk membiayai kuliah sampai pembuatan skripsi. Nantinya setelah mahasiswa lulus, ijazah dijadikan agunan bank dan dikembalikan setelah pinjaman lunas.
“Pada kenyataannya, banyak penerima KMI yang kemudian tidak mengembalikan pinjaman kredit dikarenakan kontrol bagi para pengguna kredit saat itu hanya berupa ijazah asli, sementara para mahasiswa dapat mendapatkan pekerjaan dengan ijazah salinan,” ujar pria kelahiran Grobogan tersebut.
Edi juga khawatir mengenai pelaksanaan kembali kredit pendidikan di Indonesia. Ia ragu mengenai rencana penerapan kembali sistem kredit pendidikan di Indonesia berdasarkan kejadian yang dialami pada masa Orde Baru tersebut.
Reporter : Taufiq Hidayatullah