Memahami Pilihan Hidup Dengan Musik Jazz Bersama Joe Gardner

CategoriesResensi

Judul                   : Soul

Sutradara           : Pete Docter

Studio                 : Pixar, Disney

Tahun                 : 2020

Durasi                 : 1 Jam 40 Menit

Genre                  : Animasi, Drama, Komedi

Film ini bercerita tentang Joe Gardner yang ingin menjadi musisi jazz terkenal. Yang malangnya justru tertimpa musibah saat ingin tampil.

Soul sebuah karya teranyar Pete Docter setelah merilis karya sebelumnya, Inside Out. Menceritakan tentang seorang Joe Gardner yang memiliki impian sebagai musisi jazz terkenal namun hanya berakhir sebagai seorang guru musik di sekolah menengah. Disaat Joe menjalani harinya sebagai seorang guru, dia mendapati tawaran untuk tampil bersama salah satu grup jazz Dorothea Williams, dimana Joe kebagian bermain piano.

Namun karena dilanda rasa senang yang berlebihan, Joe tertimpa kecelakaan yang membuat jiwanya meninggalkan tubuhnya, ya bisa dibilang mati. Singkat cerita Joe bertemu “22” salah satu dari jiwa yang belum terlahir di “alam sebelum” atau The Great Before. Mereka memiliki konflik masing-masing yang sama-sama berhubungan dengan minat atau tujuan. Berbeda dengan Joe yang ambisius mengejar minatnya, 22 justru bingung akan tujuan atau minat apapun. Mulai dari sini lah petualangan mereka dimulai.

Jazz dan Kehidupan Masyarakat Kulit Hitam

Hal yang paling terlibat dalam film ini salah satunya adalah peran musik yang mengiringi perjalanan Joe dan 22. Mulai dari penataan musik yang membuat penonton seakan-akan berpindah alam sampai suasana pertunjukan musik jazz yang benar-benar natural dan hidup.

Musik dalam film Soul sendiri digarap oleh beberapa musisi yang berbeda aliran, seperti Jon Bastite yang fokus membuat musik jazz orisinal dalam film ini. Hingga Trent Reznor dan Atticus Ross yang memang berfokus dalam scoring—efek suara atau musik pendamping dalam adegan film yang membuat suasana semakin hidup—dalam film ini.

Musik jazz dalam film Soul cukup memiliki peran yang bisa dominan, seperti minat dari protagonisnya sendiri hingga terciptanya istilah “Jazzing”. Berbincang soal jazz, salah satu unsur atau ciri yang menjadi nyawa dalam musik jazz adalah unsur improvisasi.

Chris McGregor, seorang pianis jazz dari Afrika Selatan pernah mengungkapkan bahwa unsur swing dan improvisasi adalah elemen yang penting dalam musik jazz. “Musik jazz ialah sebuah seni yang dibuat melalui cara yang spontan,” tulisnya dalam artikel yang berjudul The Classic tahun 1964.

Istilah “Jazzing” yang dikatakan oleh 22 dalam film ini, adalah ungkapan yang ditujukan pada Joe bagaimana dia menjalani hidup. Dimana dalam menjalani hidup itu seperti bermain musik jazz yang menekankan spontanitas dan improvisasi, tidak melulu soal tujuan ataupun hasil akhir dari impian yang kita ingin raih, selama itu kita bisa menjalaninya dengan senang selayaknya bermain musik jazz yang dengan bebas menekan not atau nada apapun.

Berbicara tentang jazz, dalam Soul sendiri sempat menyinggung bahwa musik jazz adalah salah satu kontribusi orang afro-amerika terhadap budaya amerika. Mengingat musik jazz sendiri terlahir dari komunitas orang afro-amerika pada akhir abad 19 menuju awal abad 20.

Maka tidak mengherankan bila tokoh utama dalam film ini adalah orang kulit hitam. Sebagai informasi tambahan, film Soul merupakan film Pixar pertama dengan karakter utama seorang kulit hitam.

Remaja Dan Tujuan Hidup

Meskipun studio Pixar cenderung lebih dikenal dengan produk-produk filmnya yang dominan penontonnya anak-anak, film Soul justru lebih terasa atau relate dengan para remaja atau dewasa muda yang masih bingung tentang tujuan hidup ataupun minat.

Dalam Soul kita juga dikenalkan dengan istilah “Spark” atau percikan api yang menjadi unsur penting jiwa-jiwa yang belum terlahir agar bisa melanjutkan fase kehidupan di bumi. 22, seorang jiwa yang belum terlahir sudah lama tidak menemukan Spark dalam dirinya yang membuat dia tidak bisa melanjutkan hidup dibumi.

22 selalu beranggapan bahwa Spark merupakan tujuan hidup, justru membuat dia tidak mendapatkan Spark itu sendiri. Hingga akhirnya dia menyadari bahwa Spark bukanlah tujuan hidup melainkan kesiapan untuk menjalani kehidupan.

Hubungan antara Spark dalam film ini cukup lekat dengan filosofi Determinisme, mengingat Pete Docter sendiri merupakan lulusan jurusan filsafat semasa kuliah. Determinisme sendiri dapat dipahami bahwa suatu fenomena yang terjadi pasti disebabkan oleh sesuatu yang pasti dan menjadi sebuah keharusan.

Film Soul menantang kita berpikir kembali tentang apa tujuan kita hidup, di satu sisi kita melihat Joe Gardner yang selalu berkeyakinan bahwa dia terlahir untuk bermain music. Dan dia yakin sekali bahwa piano adalah Spark-nya.

Disisi lain kita pun juga melihat 22 yang memiliki keraguan dan kerap berpikir jika kita dilahirkan atas suatu tujuan, bagaimana cara mencaritahu tujuan tersebut. Dan apakah kita harus menjalaninya sesuai dengan keharusan yang sudah ditetapkan. Atau bagaimana jika kita salah memilih jalan atau malah mengambil jalan milik orang lain.

Hal ini yang mungkin sering terjadi bagi orang sedang mengalami fase seperempat abad atau yang biasa disebut Quarter Life Crisis (QLC). QLC memang sedang ramainya dibicarakan oleh Gen-Z ataupun Milenial akhir-akhir ini. QLC sendiri adalah fase yang umumnya dialami oleh orang berusia 18 hingga 30 tahun yang cemas, khawatir ataupun bingung tentang kehidupan kedepan.

Seiring berjalannya durasi, para penonton mendapat pandangan baru mengenai tujuan hidup dengan melihat Dez—salah satu karakternya—yang mengalami konflik pribadi antara memilih menjadi dokter hewan atau pemangkas rambut. Atau juga pilihan ibunda dari protagonis kita yang mengharapkan Joe Gardner menjadi guru musik tetap agar mendapat tunjangan, asuransi dan uang pensiun dibandingkan hanya menjadi musisi dengan penghasilan tak tentu.

Akhir kata saya mengutip salah satu cerita ikan yang dikatakan Dorothea Williams pada Joe Gardner.

Aku dengar cerita tentang ikan. Dia berenang ke ikan yang lebih tua dan mengatakan,

“Aku sedang mencari yang orang sebut lautan.”

“Lautan?” Kata ikan yang lebih tua. “Kau berada di dalamnya.”

“Ini?” kata ikan muda. “Ini air. Aku ingin lautan.”

Penulis: Teuku Farrel. | Editor: Vedro Imanuel.

About the author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *