Politik Otokrasi Kala Demokrasi Jadi Anarki
Ketika demokrasi kembali alami kemunduran, perlu diketahui apakah demokrasi tersebut kualitatif atau cuantitatif.
Aspirasionline.com – Bedah buku Hitam 2045 bertajuk “Bisakah Demokrasi Mundur Lagi Menjadi Otokrasi?” berlangsung di Amphiteater Creative Hall Mbloc Space, Jakarta. Acara tersebut dilangsungkan pada Minggu, 28 Agustus sekitar pukul 13.00 WIB. Dalam acara bedah buku ini, Budiman Sudjatmiko menjadi narasumber yang membedah buku.
Buku ini sendiri bercerita tentang bagaimana sejarah di masa depan bukan hanya pengulangan sejarah di masa lalu. Hitam 2045 merupakan karya Henry, seorang penulis non-fiksi yang baru kali ini menulis buku fiksi dengan genre distopia.
“Novelnya tentang masa depan. Tapi konon sejarah katanya berulang. Gimana caranya sejarah di masa depan tidak sekedar perulangan,” ujar Henry Manampiring atau biasa disapa Henry.
Pengulangan Sejarah
Budiman Sudjatmiko, politisi yang akrab dipanggil Budiman mengatakan, kini Indonesia tengah mengalami situasi yang sama seperti di masa lalu, hanya saja dengan kemajuan teknologi dan objek-objek yang berbeda.
“Hari ini kita mengalami situasi yang sama, bentuk teknologinya saja yang berbeda, jenis virusnya saja yang berbeda, pelaku perannya kurang lebih sama,” tuturnya.
Menurutnya, pola pikir manusia terbagi menjadi dua belas kuadran. Selama pola pikir manusia hanya melompat dari kuadran ke kuadran maka sejarah akan berulang. “Selama manusia pola pikirnya hanya berputar di situ, maka sebenarnya ya sejarah akan berulang,” jelas Budiman.
Namun, Budiman juga menjelaskan, jika sebuah bangsa melompat secara radikal dari kuadran ke kuadran lainnya, maka akan memicu peristiwa besar atau peristiwa berdarah yang dapat membawa rasa sakit seperti trauma.
Untuk itu diperlukan cara-cara atau alternatif lainnya agar sejarah tidak kembali terulang misalnya dengan tidak mencegah persoalan lama dengan cara lama.
“Mencegah soal lama tidak boleh dikasih obat lama.”
Kemunduran Demokrasi
Inspirasi dari buku Hitam 2045 ini didapatkan Henry dari salah satu buku filsafat karya Plato berjudul Republic yang ia baca saat masa pandemi. “Jadi waktu pandemi itu saya baca buku karya Plato, ditulis tahun 375 sebelum masehi. Judulnya Republic,” ungkap Henry.
Dalam penjelasannya, Plato diperkenalkan Henry sebagai seorang filsuf yang tidak menyukai demokrasi. Menurut Plato, demokrasi akan mengalami kemunduran karena akan sangat berbahaya apabila kepemimpinan didasari oleh popularitas dan bukan karena kompetensi yang dimiliki.
“Plato itu filsuf yang tidak menyukai demokrasi. Menurut dia Demokrasi akan mengalami kemunduran karena dia tidak percaya bahwa rakyat jelata harus diberi hak untuk menentukan arah negara karena tidak kompeten,” jelas Henry.
Sebagai pelengkap, Henry mengajak Romo Setyo yang merupakan ahli sekaligus guru filsafatnya untuk memberikan tambahan. Pada kesempatan tersebut, Romo Setyo menyebutkan sebuah tesis dari Plato yang berbunyi ‘Demokrasi akan menjadi anarki’.
Sehubung dengan tesis tersebut, menurut Romo Setyo kini Indonesia berada di situasi anarki dimana hal tersebut dapat dilihat dari keadaan bermedia sosial. Penyebab keanarkian itu tidak lain ialah uang.
“Sekarang ini kalau kalian rasakan kira-kira kita dalam anarki atau tidak? Anarki. Kalian liat di medsos. Ketika demokrasi itu meraja menjadi anarki itu karena uang,” ungkap Romo Setyo.
Walau begitu, menurut Romo sistem demokrasi di Indonesia masih dapat dikendalikan lantaran pilar keempat demokrasi di Indonesia yaitu sosial media, tidak seperti demokrasi yang sebagaimana digambarkan oleh Plato, liar dan anarkis.
“Demokrasi masih bisa dikontrol di sistem kita sekarang ini berbeda dari platon yang liar anarkis. Di Indonesia, berkat pilar keempat demokrasi bernama sosmed,” ucapnya.
Antara Kualitatif dan Cuantitatif
Tak melulu soal kuantitas, dalam kegiatan kali itu Budiman mengingatkan bahwa dalam hidup kita pun memerlukan kualitas. Namun, kualitatif tanpa diimbangi kuantitatif saja juga tidak baik karena akan menghasilkan pemimpin yang otoriter.
Ada pun bahaya yang ada dalam demokrasi ialah saat kondisinya lebih rendah dari kuantitatif. “Tapi yang bahaya kalau kita lebih rendah dari kuantitatif, yaitu cuantitatif,” ujar Budiman.
Untuk itu, Budiman menjelaskan cara agar kita dapat mengetahui apakah suatu demokrasi merupakan kuantitatif atau cuantitatif yaitu dengan melihat kedekatan dan dinamikanya dengan kualitasnya. Apabila seorang pemimpin tiba-tiba populer tidak diimbangi dengan kualitasnya maka demokrasi tersebut sudah sarat oleh cuantitatif.
“Kalau kuantitatifnya, kenaikannya, masih bisa dilogikakan, karena ada unsur kualitatif yang mengiringinya, ini kuantitatifnya masih waras. Bermain diantara dua itu adalah seninya demokrasi,” pungkas Budiman.
Foto: Verena Nisa.
Reporter: Verena Nisa. | Editor: Adhiva Windra.