Kampanye 16 HAKTP: Pentingnya Perlindungan Hak dan Partisipasi Ekonomi Perempuan

Nasional

Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan merupakan kampanye internasional untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia.

Aspirasionline.com – Dalam rangka memperingati serangkaian kegiatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP), Oxfam Indonesia menyelenggarakan media gathering pada Kamis, (01/12). Diskusi ini dihadiri oleh beberapa pembicara, yaitu Head of Program Management Oxfam Indonesia Siti Khoirun Ni’mah, Direktur Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil Mikro (ASPPUK) Emmy Astuti, dan Staf Knowledge Management Kalyanamitra Ika Agustina.

Berlokasi di Cikini, Jakarta Pusat, diskusi ini bertujuan untuk menyuarakan urgensi akan kesadaran dan pemahaman dari bahaya kekerasan berbasis gender dan menciptakan ruang aman bagi perempuan dan kelompok minoritas, terutama dalam isu kekerasan ekonomi berbasis gender. 

Diskusi bertajuk “Jurnalisme, Kekerasan Berbasis Gender, dan Ekonomi” ini juga menekankan upaya dan tanggung jawab negara membuat kebijakan untuk melindungi warga negara agar bisa menuntaskan kekerasan berbasis gender.

Berdasarkan catatan kasus kekerasan seksual yang dikeluarkan oleh Komisi Nasional (Komnas) Perempuan di tahun 2021 dan 2020, saat pandemi tipe kekerasan yang paling banyak adalah kekerasan seksual di ranah personal, artinya kekerasan banyak terjadi pada anggota keluarga sendiri.

Partisipasi Perempuan dalam Perekonomian Masih Rendah

Dalam tagar yang digaungkan, yaitu #StopKekerasanEkonomi, Emmy menyoroti tingkat partisipasi ekonomi untuk perempuan masih rendah. Melihat data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tingkat partisipasi laki-laki berada di 83,6% sedangkan perempuan berada di 54,2%. Hal ini disebabkan akses perempuan untuk bisa berpartisipasi dalam pekerjaan maupun bidang kegiatan ekonomi lainnya masih terbatas.

Berbagai kesenjangan di dunia pekerjaan menjadi pemicu mengapa perempuan masih menjadi kaum minoritas. Emmy menyoroti bahwa koalisi dan advokasi di dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) seharusnya bisa menjadi kesempatan untuk terbukanya lapangan kerja yang seluas-luasnya untuk perempuan. 

Namun, hal tersebut tidak luput disertai dengan kebijakan yang bisa melindungi dan menjamin hak-hak para pekerja. Tidak hanya dilindungi dari kekerasan dan pelecehan, tetapi perempuan juga perlu dilindungi dimensi lainnya yang masih kurang tersorot oleh para pemangku kebijakan.

“Dari Konvensi International Labour Organisation (ILO) Nomor 190 dalam rangka penghapusan kekerasan dan pelecehan berbasis gender oleh Indonesia sudah diratifikasi, namun belum disahkan,” terang Emmy pada Kamis, (01/12). 

Menurutnya, setiap perusahaan harus mempunyai dan mewajibkan kebijakan tersebut untuk diterapkan guna melindungi para pekerjanya. Emmy juga menuturkan sebuah fakta yang mengatakan bahwa dari delapan puluh Chief Executive Officer (CEO) di Indonesia, hanya ada tujuh CEO perempuan. Hal itu menjadi bukti bahwa perempuan masih menjadi kaum minoritas dalam partisipasinya di dunia perekonomian. 

Ika Agustina, salah satu narasumber pada pagi hari itu menyebutkan bahwa partisipasi dari kehadiran perempuan di ruang publik dengan jumlah yang banyak, masih dibatasi. “Mungkin aksesnya sudah dibuka, tapi apakah kapasitasnya juga dipertimbangkan?” tanya Ika dalam diskusi itu pada Kamis, (01/12). 

Partisipasi yang dilihat tidak hanya dalam bentuk fisik, melainkan pemikiran dan juga ide-ide cemerlang yang disematkan. Ika lantas memberi contoh saat para perempuan di dusun membantu sebuah acara. 

“Masih kurang diakui (pemikirannya, red.) meski sudah diajak rapat oleh Kades di dusun, tetapi cuma jadi seksi konsumsi. Mereka kurang diajak diskusi,” jelasnya di hadapan para audiens. 

Gender Mempengaruhi Ketimpangan Upah Kerja

Memasuki sesi tanya jawab, salah satu audiens perempuan yang bekerja sebagai jurnalis melontarkan pertanyaan terkait perbedaan upah kerja yang didapatkan oleh perempuan dan laki-laki. Permasalahan upah kerja perempuan yang lebih sedikit dibandingkan laki-laki serta  bagaimana perekrut mengatakan perempuan hanya akan merepotkan dengan urusan anak dan menstruasi, menjadi masalah nyata yang sering ditemui di dunia kerja. 

Siti Khoirun Ni’mah selaku Head of Program Management Oxfam di Indonesia menjelaskan bahwa pajak turunan dari Undang-Undang (UU) Perkawinan menyebutkan semua perempuan lajang akan dianggap tidak punya tanggungan. 

Akan tetapi, hal ini mengakibatkan adanya bias gender terutama di dalam hal upah kerja. Berdalih adanya komponen tunjangan keluarga, maka upah laki-laki selalu lebih tinggi dari perempuan, apalagi peran laki-laki sebagai kepala keluarga.

“Kalau ga punya tanggungan berarti tidak ada pengurangan pembayaran pajak. Dan untuk laki-laki karena dianggap kepala keluarga, dilihat punya anak berapa, jadi gaji yang diterima lebih besar,” ungkap Ni’mah pada Kamis, (01/12).

Ni’mah pun melanjutkan, permasalahan tentang UU perpajakan di Indonesia seharusnya bercontoh dari negara lain, seperti Afrika Selatan yang pajaknya dihitung per individu. Dalam kata lain, tidak ada perbedaan antara laki-laki maupun perempuan. 

Sebelum mengakhiri, Ni’mah menjelaskan Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) naik dari sepuluh persen menjadi sebelas persen. Seharusnya masyarakat menyuarakan adanya afirmatif untuk perempuan atau kebutuhan ibu rumah tangga, seperti susu, sembako, dan lainnya. 

“Seharusnya ini (kebutuhan ibu rumah tangga, red.) dikecualikan dari naiknya pajak karena perempuan sudah menerima gaji sedikit dan bayar pajak pun banyak,” tutup Ni’mah.

Foto: Alya Putri.

Reporter: Tiara Ramadanti, Alya Putri. | Editor: Miska Ithra.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *