Menyoal Keputusan Pembelajaran Tatap Muka di Tengah Pandemi

Nasional

Penerapan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) diberlakukan lantaran banyak kendala yang timbul. Meski demikian, keputusan tersebut dinilai belum tepat lantaran kasus Covid-19 terus bertambah.

Aspirasionline.com- Kamis (20/11) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim menyampaikan bahwa sekolah diperbolehkan untuk melaksanakan pembelajaran tatap muka apabila telah memenuhi persyaratan tertentu. Nadiem menegaskan, bahwa pembelajaran tatap muka diperbolehkan, tetapi tidak diwajibkan.

Setidaknya, ada tiga pihak yang akan menentukan boleh atau tidaknya sekolah melakukan pembelajaran tatap muka, yaitu Pemerintah Daerah, Kantor Wilayah Kementerian Agama, Kepala Sekolah, dan Perwakilan orang tua melalui Komite Sekolah.

“Jadi kalau tiga pihak ini tidak mengizinkan sekolah itu buka, sekolah tidak akan diperkenankan untuk dibuka,” jelas Nadiem pada konferensi pers.

Meskipun sekolah telah diizinkan untuk mengadakan pembelajaran tatap muka, orang tua masih diberi hak untuk memutuskan bahwa anaknya dapat datang ke sekolah atau tidak. Muhammad Heikal selaku Staff Kemendikbud mengatakan fenomena PJJ yang terjadi di masyarakat memiliki dampak negatif yang kian timbul. Dampak tersebut muncul lantaran pelaksanaan PJJ yang sudah berlangsung selama Sembilan bulan.

“Misalnya ancaman putus sekolah, kendala tumbuh kembang anak serta tekanan psikososial dan kekerasan dalam rumah tangga,” kata Heikal kepada ASPIRASI pada Senin, (30/11).

Heikal menjelaskan, terdapat faktor-faktor yang perlu dijadikan pertimbangan pemda dalam pemberian izin PTM, seperti tingkat risiko penyebaran Covid-19 di wilayahnya, kesiapan fasilitas pelayanan kesehatan dan satuan pendidikan dalam melaksanakan pembelajaran tatap muka sesuai dengan daftar periksa. Selain itu, pemda harus menjamin akses terhadap sumber belajar atau kemudahan belajar dari rumah serta soal mobilitas peserta didik dan satuan pendidikan.

Lebih lanjut Heikal menjelaskan bagi sekolah yang ingin menjalani PTM ini perlu memenuhi protokol yang ketat. Selain itu juga perlu adanya penerapan sistem pembelajaran bergiliran rombongan belajar yang ditentukan oleh masing-masing satuan pendidikan.

Dinilai Belum Tepat

Keputusan tersebut mengundang berbagai reaksi dari banyak pihak. Rencana kembalinya sekolah tatap muka dinilai masih prematur karna Indonesia dianggap belum siap untuk menggelar proses pembelajaran langsung, mengingat kasus Covid-19 yang belum stabil.

Dilansir dari CNN Indonesia, Sabtu (21/11), Ahli epidemiologi Griffith University Australia, Dicky Budiman mengatakan bahwa sebaiknya pemerintah memaksimalkan pengendalian kasus terlebih dahulu kurang lebih selama tiga bulan. Hasilnya kemudian dapat digunakan untuk membuat keputusan soal kebijakan pembukaan sekolah tatap muka.

“Jelas kalau melihat situasi saat ini belum. Kalau Januari (dibuka, red) terlalu pendek,” ujarnya.

Dicky menyebutkan tiga kriteria yang harus dipenuhi sebelum membuka kembali sekolah tatap muka. Pertama, penurunan kasus harian dalam dua pekan berturut-turut. Kedua, tren penurunan kasus yang dibarengi dengan angka positivity rate di bawah 5 persen. Ketiga, tingkat kematian akibat Covid-19 harus menyentuh satu digit setiap hari. Menurut ia, pemerintah baru bisa mempertimbangkan sekolah tatap muka jika ketiga syarat tersebut sudah sepenuhnya terpenuhi.

Sementara itu, Epidemiolog dari Universitas Indonesia, Pandu Riono menyampaikan bahwa pada dasarnya semua kegiatan masyarakat akan meningkatkan kasus. Menurutnya, klaster adalah orang yang tertular pada kegiatan yang sama, yang ditularkan terkait dengan kegiatan itu. Jadi apabila tidak ada hal seperti itu maka tidak ada klaster.

“Istilahnya sendiri bisa menjadi kenaikan kasus, bisa mengelompok, bisa tidak mengelompok,” kata Pandu.

Belum Semua Instansi Pendidikan Menerapkan PTM

Wakil Dekan Bidang Akademik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Parahyangan (UNPAR), Kristian Pakpahan mengatakan belum ada himbauan dari Kemendikbud terkait PTM dalam ranah pergruan tinggi. Hingga tulisan ini dibuat, himbauan PTM baru menyasar tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga SMA.

“Mendikbud hanya menyatakan bahwa untuk perguruan tinggi, akan diatur oleh keputusan dan peraturan pada level Dirjen (Direktorat Jenderal, red),” kata Kristian.

Kristian menjelaskan bahwa meskipun belum ada keputusan resmi yang dikeluarkan pimpinan universitas terkait PTM, FISIP UNPAR sudah ada pembicaraan untuk menerapkan PTM. Akan tetapi dikhususkan pada mata kuliah yang membutuhkan ketersediaan alat dan bahan seperti laboratorium dan studio gambar.

“Jika pemerintah dan pemda mensyaratkan dilibatkannya pihak eksternal dalam meminta persetujuan pembelajaran tatap muka, tentu UNPAR akan mengikuti keputusan tersebut,” jelas Kristian.

Dwi, salah seorang guru dari SDN Pejaten Timur 11 Pagi, Jakarta Selatan, menuturkan bahwa sekolah mendukung penuh apapun kebijakan terkait PTM. Hanya saja, mereka masih ragu dan khawatir akan kondisi murid apabila nantinya disatukan dalam ruangan yang sama dalam masa pandemi ini.

“Kami berencana untuk hanya mengizinkan pembelajaran tatap muka bagi siswa kelas 4 sampai 6. Bagi siswa kelas 1 hingga 3 masih akan terus menjalankan PJJ jarak jauh hingga waktu yang belum ditentukan,” kata Dwi kepada ASPIRASI pada, Sabtu (28/11).

Ia juga menambahkan, setiap kelas nantinya hanya akan diisi setengah dari jumlah murid yang ada dan dibarengi dengan sistem shift. Sebab, murid sekolah dasar masih berada di usia aktif serta kebanyakan belum mengenal bahaya. Sekolah khawatir apabila ada di antara mereka yang belum memahami dan tidak bisa mempraktekkan protokol kesehatan.

“Mekanismenya, dari 30 siswa hanya akan diperbolehkan 15 orang. Jadi minggu ini absen 1 sampai 15, minggu selanjutnya 16 sampai 30,” tutupnya.

Annisa, Mahasiswa Universitas Singaperbangsa Karawang, menyatakan bahwa dia merasa pesimis apabila PTM dilakukan dalam waktu dekat ini. Terlebih lagi Annisa berasal dari Jakarta. Ia khawatir apabila suatu saat tanpa sadar terpapar Covid-19 dan membawa serta menularkan virus tersebut di kota tempatnya berkuliah.

“Siap tidak siap, kalau memang diwajibkan (untuk berkuliah tatap muka, red), apa boleh buat,” ujarnya saat ditanyai mengenai kesiapannya dalam menghadapi PTM, Minggu (29/11) lalu.

Sedangkan, Raisha, pelajar kelas 11 di SMAN 104 Jakarta merasa bahwa dibukanya pembelajaran tatap muka dapat kembali membuka kesempatan untuk kegiatan belajar mengajar yang lebih baik. Sebab menurutnya selama ini pembelajaran daring sangat tidak efisien dibanding pembelajaran luring.

“Sebenarnya, saya masih takut tertular Covid-19. Tapi hal tersebut akan disiasatinya dengan terus menjaga imun tubuh serta mengikuti protokol kesehatan yang ada,” kata Raisha.

Reporter: Talitha Mg, Mumtaz Mg | Editor: Rafi Shiddique.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *