Tak Berpihaknya Konstruksi Sosial Kepada Penyintas Kekerasan Seksual Disabilitas

Resensi

Judul buku : Silenced/ Dogani
Sutradara: Hwang Dong-hyuk
Produksi: Samgeori Pictures
Durasi: 125 Menit

Disabilitas menjadi pihak yang rentan mendapatkan keadilan hukum terkait kasus kekerasan seksual. Terlebih untuk perempuan dan anak. Kuatnya kekuasaan yang patriarki dan stigma disabilitas tidak cakap hukum mendukung adanya tembok besar yang menghalangi keadilan.

Penyandang disabilitas secara sosial seringkali mendapatkan stigma negatif seperti adanya kontruksi sosial dalam masyarakat yang menganggap bahwa penyandang disabilitas tidak hanya memiliki kelemahan secara fisik, tetapi juga mental sehingga memiliki perbedaan bila dibandingkan dengan orang-orang non disabilitas lainnya. Hal ini yang coba dibantah melalui sebuah film besutan negara gingseng, berjudul Silenced.

Film ini menggambarkan kisah siswi perempuan bernama Yeon-Doo di Sekolah Luar Biasa (SLB) berasrama bernama Jae Ae School di daerah Mujin yang sangat jauh dari kota. Walaupun ia memiliki keterbatasan pendengaran, tetapi ia harus bersaksi sebagai korban pelecehan seksual. Ia memperlihatkan kehebatan rasa yang dimilikinya dan dapat membaca orang melalui raut wajah yang ekspresif.

Film yang diangkat dari kisah nyata novel berjudul The Crucible karya Gong Ji-young ini mengisahkan tiga anak penyandang tuli yang mengalami pelecehan seksual dan kekerasan di dalam sekolah Gwangju Inhwa Korea Selatan tahun 2005. Kekerasan kepada mereka dilakukan oleh pihak sekolah selama bertahun-tahun. Upaya untuk mendapatkan keadilan hukum, memperlihatkan bagaimana konstruksi sosial sulit berpihak kepada mereka.

Hukum yang Mendiskriminasi Hingga Budaya Patriarki

Sebuah jurnal dari Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram menuliskan bahwa penyandang disabilitas dianggap tidak cakap hukum. Kesaksian mereka seringkali diragukan oleh aparat. Keterangan-keterangan yang mereka kemukakan seringkali mudah dipatahkan. Hal ini diperparah dengan ketiadaan fasilitas penerjemah dalam proses pengadilan pada kasus yang melibatkan penyandang tuli, menjadi contoh bahwa dari awal korban tidak berada dalam posisi yang seimbang apalagi diuntungkan.

Kondisi seperti ini juga coba ditampilkan melalui film Silenced. Bagaimana ketiga anak korban kekerasan seksual dan fisik yakni Kim-Hyun Soo, Jeon Min-Soo, dan Yoo-Ri pada setiap kesaksiannya di muka persidangan dianggap oleh aparat hukum sebagai kesaksian buta, terlebih pelakunya adalah orang yang memiliki kekuasaan sehingga timbul relasi kuasa yang intens dalam kasus tersebut.

Relasi kuasa yang timpang membuat kasus seperti pelecehan seksual dan kekerasan fisik yang dialami penyandang disabilitas kerap kali terbentur dalam mendapatkan keadilan hukum. Bahkan hukuman yang diberikan oleh tersangka tidak sebanding dari apa yang sudah dilakukannya. Dalam film ini tergambar adanya peluang bagi seorang penguasa yang dihormati serta dianggap mulia oleh gereja setempat. Melakukan penyuapan dan tindakan berdamai menjadi hal yang lumrah oleh masyarakat setempat.

Berdasarkan data Catatan Tahunan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan dan Anak Tahun 2019 Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan, tercatat 89 kasus dari 14 Provinsi yang melaporkan kekerasan seksual pada perempuan dengan disabilitas. Bentuk kekerasan yang mendominasi perempuan disabilitas adalah kekerasan seksual sebanyak 64% melalui 57 kasus dan banyak terjadi pada jenis disabilitas grahita dan intelektual sebanyak 53 orang.

Faktor utama terjadinya pelecehan seksual berdasarkan jurnal PSGA UIN Mataram karena kuatnya budaya patriari dalam masyarakat. Budaya tersebut rentan terjadi kekerasan pada perempuan dan anak, karena patriarki menempatkan laki-laki sebagai pihak yang kuat dan superior secara gender dibandingkan perempuan. Hal ini sebagai rape culture penggambaran suatu masyarakat ataupun lingkungan merasa bahwa perkosaan dan melakukan victim blaming (menyalahkan korban) adalah suatu hal yang biasa.

Melalui Film Silenced mengungkapkan secara gamblang bagaimana kuatnya budaya patriarki. Ketiga pelaku semuanya laki-laki. Bahkan dalam salah satu adegan digambarkan pengacara terdakwa saat sidang mengatakan, “Tindakan seksual pada anak tentunya dapat terjadi atas persetujuan si anak.”

Respons yang diberikan publik untuk film ini terbilang luar biasa. Film ini berhasil meningkatkan kesadaran masyarakat akan kasus kekerasan seksual. Masyarakat akhirnya berbondong-bondong berdemo meminta kasus ini kembali dibuka. Usaha mereka nampaknya tak sia-sia, karena pada akhirnya pengadilan setuju untuk membuka kembali kasus ini. Hasilnya, dua bulan setelah film ini dirilis, pemerintah kota Gwangju memutuskan untuk menutup Gwangju Inhwa School.

Dalam ranah politik, film ini juga berhasil mendorong pemerintah Korea Selatan untuk merevisi Rancangan Undang-Undang tentang Pelecehan Seksual, sehingga di tahun yang sama dikeluarkanlah Dogani Law. Dogani Law sendiri secara spesifik menambahkan tuntutan perihal hukuman yang lebih berat bagi pelaku kejahatan seks terhadap anak-anak dibawah 13 tahun dan perempuan penyandang disabilitas.

Penulis: Biancha Mg. | Editor: Syena Meuthia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *