
Kala Kematian Menjadi Komoditas Media
Judul : Media, Kematian, dan Identitas Budaya Minoritas
Penulis : Iwan Awaluddin Yusuf
Halaman : 244 halaman
Penerbit : UII Press
Tahun terbit : 2005
Ketika kematian terlihat tak etis untuk diperbincangkan, necrocultura muncul sebagai fenomena yang membuka ruang diskusi tentang kematian itu sendiri dimasyarakat. Lalu, bagaimana media mengemas kematian itu agar dapat diterima oleh publik?
Iwan Awaluddin Yusuf, seorang penulis yang memiliki istri dan seorang anak, tetapi katanya saat ini keluarga Iwan akan menambah satu personil lagi, yaitu cabang bayi yang ada di perut sang istri. Kabar gembira ini hadir ketika ia dan istrinya sedang menempuh pendidikan S-3 di Australia.
Travelling menjadi salah satu kegiatan yang ia lakukan bersama istrinya. Seorang laki-laki yang sewaktu kecil memiliki hobi memanjat pohon ini lahir pada 6 Maret 1982 di Pati, Jawa Tengah.
Setelah mengikuti kisah hidupnya di media sosial, saya keheranan. Mengapa orang yang suka travelling menulis buku tentang kematian? Mengapa tidak menulis tentang tips-tips jika ingin travelling murah, misalnya.
Tapi setelah membaca buku ini, pertanyaan saya berbeda menjadi: mengapa kematian bisa menjadi tak semenyeramkan itu? Mengapa media juga bisa mengemas itu sedemikian rupa hingga rating acara pun menjadi tujuan utamanya.
Bahkan memicu media lain untuk turut serta menayangkan program-program yang berhubungan dengan kematian. Seperti ‘Uji Nyali‘. Acara yang menampilkan satu orang di tempat gelap dan hanya ditemani oleh lilin. Lucunya, jika tidak ‘kuat’, ia harus melambaikan tangan, seperti orang yang kalah perang.
Jauh sebelum televisi menayangkan berita itu, buku itu menjelaskan bahwa media cetak seperti koran sudah lebih dulu menampilkan hal berbau kematian. Seperti berita dukacita pada bagian khusus iklan dukacita, yang juga dikemas sedemikian rupa. Ternyata saya juga baru tahu bahwa kabar kematian seseorang bisa memiliki nilai komersil.
Kepentingan Dibalik Iklan Dukacita
Ketika kita membaca surat kabar seperti Kompas, Jawa pos, dan Suara Pembaruan ditahun 1950-an, kita sering menemukan iklan dukacita yang sengaja disediakan di beberapa bagian koran.
Biasanya iklan ini identik dengan etnik Tionghoa, dimana repesentasi identitas budaya menjadi penting disini. Pesan-pesan terselubung dalam iklan dukacita banyak terjadi, salah satunya untuk kepentingan ekonomi pihak-pihak yang bersangkutan dengan mendiang.
Jika kalian membaca surat dukacita, biasanya di sana tercantum nama toko-toko yang ia miliki atau relasi bisnis mereka sendiri. Disinilah adanya pesan tersembunyi di dalamnya, dan uniknya lagi terkadang latar belakang pekerjaan ini menjadi ajang adu gengsi diantara mereka yang membuat iklan duka cita.
Di sisi lain, media juga bisa meraup untung lumayan besar melalui iklan dukacita ini sehingga jarangnya media menampilkan lebih banyak berita dalam surat kabarnya.
Di sini berarti pihak surat kabar memanfaatkan necrocultura untuk mengakomodasi iklan tersebut sebagai sumber pendapatan. Necrocultura adalah budaya kematian. Kondisi ini muncul ketika kematian bukan menjadi hal yang dianggap menyeramkan dan dijauhi.
Kematian yang Tidak Lagi Menyeramkan
Saat ini media membuat hal-hal yang berbau dengan kematian tidak lagi menyeramkan. Kematian justru dikemas dengan berbagai settingan dan justru banyak menarik minat masyarakat dan menaikkan rating acara tersebut.
Seperti acara-acara ‘Uji Nyali‘ yang sering kita perhatikan di televisi atau bahkan saat ini kita sebagai makhluk yang sudah bergantung pada gawai, dan mungkin beberapa dari kita pernah menyaksikan saluran YouTube milik Risa Saraswati. Dalam saluran YouTube-nya itu, ia bersama saudaranya, biasanya mencari tempat yang memang sudah lama tidak dihuni orang.
Di sana kemudian mereka melakukan mediasi terhadap makhluk-makhluk halus. Mereka coba biarkan makhluk tak kasat mata itu masuk ke dalam tubuhnya, namun mereka masih dalam kendali sadarnya.
Lalu mereka gambarkan bagaimana rupa sosoknya itu, hingga kisah hidupnya. Dari sini kita bisa melihat bahwa kematian bisa disajikan dengan cara-cara yang membuat kita tidak merasa seseram itu dengan apa yang disebut kematian.
Necrocultura merupakan sebuah budaya yang manganggap kematian tidak lagi menyeramkan. Salah satunya yang dibahas oleh buku ini, yaitu sebuah iklan dukacita.
Mungkin budaya ini ingin lebih menunjukkan bahwa kematian bukan lagi hal yang tabu untuk diperbincangkan di muka umum. Namun, jika dilihat dari sisi sosial rasanya jika kematian ditampilkan dalam sebuah iklan, seperti tak etis untuk disajikan.
Media memiliki cara mendapatkan penghasilannya masing-masing, salah satunya dengan menyediakan ruang untuk iklan dukacita itu.
Tapi jangan sampai iklan dukacita menghilangkan salah satu rubrik yg ada pada media tersebut, yang seharusnya lebih wajar untuk diterima masyarakat untuk menambah informasi yang lebih berguna untuk masyarakat itu sendiri.
Bila dilihat secara keseluruhan, buku ini cukup baik dalam memperkenalkan kepada kita tentang budaya necrocultura, yang mana sebenarnya istilah ini lebih dikenal di Eropa. Sehingga dapat membuka ruang diskusi tentang kematian yang belum populer di Indonesia.
Penulis: Fadhila Wijaya. |Editor: Firda Cynthia.