Pusat Pergerakan

Opini

Pada abad ke-14 di sebuah nusa bernama Jawadwipa, hiduplah seorang Raja nan lihai berdiplomasi dengan gelar Rajasanagara atau akrab disebut Hayam Wuruk. Kelihaiannya tiada arti tanpa kegagahan sang Mahapatih: Gajah Mada.

Sang Raja sangat jitu bernegosiasi di kalangan elite negeri sementara sang Mahapatih selalu turun ke tataran akar rumput rakyat Nusantara. Nusantara, barisan pulau dengan negerinya masing-masing yang merangkum ribuan suku, budaya, dan bahasa.

Semuanya adil dan makmur dengan ketenangan serta kedamaian yang dibumikan oleh sepasang tokoh tersebut. Hayam Wuruk dan Gajah Mada, keduanya solid dan saling melengkapi terlepas dari dialektika masing-masing ideologi dan jurus yang diandalkan.

Majapahit, itulah Kerajaan yang menjadi simbol pergerakan mereka dalam mempersatukan Nusantara. Pada masanya, Majapahit adalah tujuan setiap pasang mata untuk memandang. Istana Trowulan adalah tujuan setiap pasang kaki untuk mengabdi.

Bagaimanapun, nama Hayam Wuruk dan Gajah Mada tidak boleh lebih besar daripada nama Majapahit itu sendiri. Manusia adalah homo symbolicum, simbol adalah definitif dari keseluruhan aspek.

Hari ini, Jakarta Selatan adalah pusat dari tiap mata menatap. Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta (UPNVJ) adalah satu-satunya universitas negeri di Kota Administratif tersebut. Semestinya, UPNVJ dapat menjadi simbol pergerakan pemersatu yang baik untuk kemajuan Indonesia. Namun, apabila simbol tersebut bobrok, maka goblok seluruhnya.

/ii/

Gajah Mada tidak pernah sadar bahwa Hayam Wuruk—yang selama ini dipercayainya dan mempercayainya—nyatanya bukanlah Hayam Wuruk sejati yang merupakan Rajasanagara. Hayam Wuruk. Sang pemimpin UPN “Veteran” Jakarta adalah Hayam Wuruk yang menyerahkan lehernya ke Pasukan Marinir Angkatan Laut. Seharusnya, Majapahit dan pulau Jawa yang bertahun-tahun berada dibawah kekuasaan Sriwijaya dapat merdeka, persis UPN yang sebelumnya di bawah rezim militer. Faktanya, Hayam Wuruk yang ini justru kembali menyerahkan kemerdekaan itu ke tangan pasukan Sriwijaya.

Atas dasar desakan serta bisikan durjana seorang perempuan yang haus akan kuasa, Hayam Wuruk gemulai pun menyetujui dan justru turut andil besar dalam penyelenggaraan Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru. Kembali lagi, Majapahit yang damai sipilnya terjajah oleh Armada Sriwijaya yang mengandalkan marinirnya.

Kembali lagi, hingga detik ini Sang Pujangga—penulis naskah ini—harus menahan sesak di dadanya karena begitu murah harga Hayam Wuruk UPNVJ yang telah menginjak-injak agenda besar Reformasi—yaitu DEMILITERISASI!

Gajah Mada UPNVJ—yang mana hitam besar orangnya dan lebih suka bergaul dengan grass root pun tak dapat berkata-kata. Ia sangat kecewa ketika melihat sahabat sekaligus partnernya yang sama-sama dari Fakultas Hukum—semudah itu meng-iya-kan kehausan nafsu akan kekuasaan—seorang perempuan yang disinyalir terindikasi ‘pengikut golongan OK OCE’.

Pemuda adalah lukisan idealisme yang sesungguhnya, kita tidak bisa berharap banyak kepada generasi kolot di atas sana. Semestinya kita bisa menempatkan diri sendiri dan angkatan seusia untuk terus melestarikan budaya ‘ideal’.

Ya, politisi kampus hari ini lebih suka meminta pertolongan tinimbang memberikan pertolongan. Mereka lebih suka berdagang elektabilitas tinimbang membeli bahan pokok untuk dibagi-bagikan ke gembel atau membangun jalanan yang rusak.

Pujangga sebagai ‘kaum Tjipian’ tentu sangat berharap hukum progresif dapat menjadi jawaban dari macetnya Reformasi di Nusantara, atau minimal di Neo Majapahit—UPNVJ.

/iii/

“Hukum itu harus berhati nurani”, demikian pendapat B. Arief Sidharta, Guru Besar Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. Nurani, secara etimologi berasal dari kata ‘nur’ dan ‘aini’ yang artinya cahaya mata.

Apakah regulasi yang memaksa mahasiswa-mahasiswi baru berkumpul di kandang macan dilandaskan pada cahaya mata tersebut? Tentu, jawabannya tidak. Agenda Reformasi adalah demiliterisasi secara total. Sudah cukup Penguasa Cendana memainkan peranan militer selama 32 tahun dengan meletakkan teori ‘Religion of Java’ karya Clifford Geertz sebagai pondasinya.

Sang Penguasa memisahkan golongan priyai, santri, dan abangan dalam tiga paket pilihan politik yang berbeda. Racun ini nyatanya masuk ke UPNVJ dan menciptakan suasana yang keruh—di mana para aktivis UPNVJ masih saling bertentangan pendapat—dan militerisasi kembali masuk melalui pintu PKKMB.

Pesan dari Pujangga untuk Hayam Wuruk UPNVJ beserta dayang-dayang dan kacungnya, memang nikmat bermain dengan orang yang punya uang dan senjata. Namun ingatlah, Allah Mahamengetahui. Pada surah Al-Balad, kita sebagai manusia telah diserukan untuk membebaskan budak daripada perbudakan. Surah inilah yang menjadi landasan Kyai Haji Abdurrahman Wahid menyebut Muhammad sebagai Marxis pertama di muka bumi.

Nasionalis Islam Marxis, tak perlu ada koma atau pembatas. Ketiganya harus jalan beriringan melawan musuh-musuh rakyat yang sama tiganya namun sangat berbeda tujuannya. Imperialisme, Feodalisme, dan Kapitalisme Birokrat.

Kaum Santri yang agamis, kaum Abangan yang pekerja, dan kaum priyai yang intelek—harus dapat saling bergandengan tangan untuk melawan tiga musuh rakyat. Sesungguhnya tiga kaum yang berbeda ini adalah saudara yang berbeda-beda—yang diciptakan Tuhan untuk saling mengenal dan melakukan kebajikan, begitu amanat Al-Hujarat ayat 13. Melawan Tirani adalah perbuatan bajik yang musti didorong tekad bijak dalam perumusannya.

Dalam mengakhiri naskah ngalor-ngidul ini, Pujangga teringat aksioma kuno leluhur Pujangga sendiri yang juga Pujangga. Sekarang zamannya zaman gila; kalau tidak gila tidak kebagian, seuntung-untungnya orang gila; masih beruntung orang yang ingat, sadar, dan waspada.

Semoga masih banyak mahasiswa-mahasiswi UPNVJ yang ingat akan geografis dan sosiologis UPNVJ sebagai satu-satunya kampus berlabel negeri di Jakarta Selatan yang istimewa. Semoga masih banyak mahasiswa-mahasiwi UPNVJ yang sadar akan keistimewaan pemuda sebagai lukisan idealisme. Semoga masih banyak mahasiswa-mahasiswi UPNVJ yang waspada akan bahaya tiga musuh rakyat, termasuk militerisasi! Aamiin.

Benahi atau sudahi? Salam pergerakan!

Hubbul wathon minal Iman.

Penulis: R. Fefatahillah Haryono, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), semester 3*.

*Tulisan opini ini merupakan tanggungjawab penulis dan di luar tanggungjawab redaksi aspirasionline.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *