Di Balik Layar Kerja-Kerja Jurnalistik

Resensi

Judul Buku: Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan
Pengarang: Rusdi Mathari
Penerbit: MOJOK
Tebal: xiv + 257 halaman
Tahun Terbit: 2018

Jurnalisme terlihat seperti menuju krisis eksistensinya. Sebab, sudah bukan rahasia lagi jika sebagian besar wartawan tak tahu (atau memang tak mau tahu? Atau pura-pura tak tahu?) ‘aturan main’ jurnalistik.

Aspirasionline.com — Mungkin sudah bukan barang baru lagi jika kita melihat banyak media yang gemar membuat pentas dramanya sendiri. Kemudian wartawan dengan tak malu-malu menjadi aktor yang bermain peran di panggung pertunjukkan. Tak hanya berbakat membuat drama, media juga dapat mengatur apa yang perlu dan yang tidak perlu dijadikan perhatian bagi ‘penonton’-nya.

Melihat ini, Rusdi Mathari merasa ada yang tak beres dan perlu mengkritisinya. Kritik dan ulasannya yang merespon berbagai konteks seputar jurnalistik itu kerap ia kemas dalam artikel. Kemudikan ia bagikan di media sosial dan blog pribadi miliknya.

Dari sekian artikel Cak Rusdi, tim penerbit buku Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan ini memfilternya sesuai dengan tema kritik dan ulasan media. Alhasil, tim penerbit bersepakat mendokumentasikan 38 artikelnya dalam buku setebal 257 halaman ini.

Cak Rusdi, demikian ia akrab disapa, mendedah borok kerja jurnalistik dan apa-apa yang merendahkan jurnalisme. Jurnalisme terlihat seperti menuju krisis eksistensinya. Sebab, sudah bukan rahasia lagi jika sebagian besar wartawan tak tahu (atau memang tak mau tahu? Atau pura-pura tak tahu?) kode etik jurnalistik.

Cak Rusdi bahkan tak segan menyebut wartawan mirip seperti pembunuh bayaran: menjadi corong kepentingan tertentu dengan upah tertentu. Miris.

Wartawan Sebagai Profesi Paling Tak Bisa Dipercaya

Profesi wartawan yang sejatinya mengandalkan kepercayaan publik, justru menikam profesinya sendiri dengan menjauhkan kepercayaan itu dari mereka.

Cak Rusdi dalam artikelnya yang berjudul Pizza membahas betapa profesi wartawan menjadi profesi yang tak dipercayai publik. Merujuk dari beberapa hasil survey internasional, bahkan profesi wartawan mendapat predikat tiga besar profesi paling tak bisa dipercaya, didampingi oleh profesi bankir dan politisi.

Masih dalam artikel yang sama, ia mempermasalahkan ketika berita investigasi yang dilakukan Tempo dan BBC Indonesia yang membongkar Pizza Hut dan Marugame Udon menggunakan bahan kadaluwarsa itu, justru dimentahkan oleh publik, bahkan oleh banyak media.

Publik terlanjur yakin bahwa dibalik setiap berita, mesti selalu berdiri kepentingan dan motif tertentu. Dan respon ini menjadi bukti gambaran ketidakpercayaan publik terhadap objektivitas dan netralitas pemberitaan media.

Pun, Cak Rusdi tak naif. Sebab memang kenyataannya bahwa anggapan itu tak bisa sepenuhnya disalahkan.

Ini lah yang dipermasalahkan Cak Rusdi: Apakah hasil investigasi majalah Tempo dan BBC soal temuan bahan-bahan kadaluwarsa yang masih digunakan oleh Pizza Hut dan Marugame Udon memang betul punya motif tertentu?

Dosa-Dosa Media dan Wartawan

Sebagai jurnalis yang telah malang-melintang selama 25 tahun dan singgah di meja kerja beberapa media, ia mengetahui seluk-beluk yang ada dalam profesinya itu.

Cak Rusdi mencoba untuk ‘menelanjangi’ dosa-dosa media dengan analisisnya yang kokoh, salah satunya ia tulis dalam artikel Mencari Bushro Lewat Wicaksono. Ia mengurai fakta bahwa media telah menjadikan kualitas isi pemberitaan sebagai prioritas nomor sekian. Prioritas utamanya adalah, menjadi yang paling cepat memberitakan.

Cak Rusdi juga menemukan hal lain yang lebih nyeleneh lagi. Ternyata, demi mendaku sebagai media yang paling tanggap dan cepat, sebagian dari pengelola situs berita ditengarai bisa mengotak-atik waktu tayangnya. Bukan main.

Membahas dosa media dan wartawan yang telah lari dari kaidah dan esensi jurnalistik tentu kompleks. Dalam buku ini, Cak Rusdi menyingkap dosa-dosa itu dalam berbagai aneka rupa seperti, media yang mengajarkan para wartawannya untuk mengemis ke sumber berita dan menulis apa saja, termasuk jika berita itu bohong; menggeser waktu penayangan berita; hanya mengandalkan satu sumber yang punya keberpihakan yang sama; wartawan yang terlanjur termakan kredibilitas narasumber dan kemudian asal telan informasi yang diberikan; kongkalingkong dengan narsum; alih-alih liputan ke lapangan dan justru menggunakan hasil liputan dari rekan wartawan lain; dan yang lebih memalukan lagi adalah sumber berita yang fiktif.

Beberapa artikel yang ada di buku ini juga mengisahkan apa yang pernah Cak Rusdi alami sendiri. Menguak hal-hal yang haram dalam jurnalistik bukan berarti ia adalah wartawan yang suci alias tak pernah melakukan kesalahan itu.

Cak Rusdi bercerita tentang kesalahannya saat ia masih menjadi reporter majalah Trust. Ia melakukan liputan investigasi tentang pesangon karyawan BPPN sebesar Rp10 triliun dan ia telah kecolongan.

Ia terlanjur menanggalkan kepercayaannya pada narasumber yang dianggap punya kredibilitas tanpa melakukan verifikasi. Untung saja Trust tak disomasi oleh BPPN yang nama baiknya tercemar.

Namun tetap saja, baginya laporan itu sangat memalukan. Dari kesalahan-kesalahan seperti itu lah Cak Rusdi semakin piawai melihat perkara secara komprehensif. Ia menguraikan ini dalam artikel Sumber Berita.

Pembahasan Cak Rusdi ini menjadi global karena tak hanya mengupas perkara jurnalistik yang terjadi di Indonesia, namun juga internasional. Ia membahasnya dalam salah satu artikelnya yang berjudul Wartawan dan Kebohongan.

Ketika seorang reporter The Washington Post berhasil memenangkan Pulitzer 1981 atas artikel Dunia Jimmy, namun ternyata tulisannya hanya lah sebuah kisah fiktif belaka. Kemudian Cak Rusdi menjadikan kisah aib tersebut sebagai titik berangkat penjelasannya mengenai kejahatan yang sering terjadi di dunia jurnalistik.

Cak Rusdi memang punya gaya sendiri dalam tulisan-tulisannya. Seringkali ia melemparkan pertanyaan-pertanyaan yang bukan untuk ia jawab, namun untuk mengajak pembaca ikut mencari jawabannya. Dan ketika ia mengkritisi suatu perkara, ia juga menjejerkan fakta-fakta dari berbagai perspektif. Lantas, landasan argumen miliknya menjadi semakin solid.

Buku ini bukanlah buku materi yang membahas kerja wartawan secara teoritis. Cak Rusdi justru langsung mengaitkannya dengan kejadian-kejadian konkrit yang kemudian disarikan dalam penjelasan yang tetap bersandar pada keilmuan. Sehingga, dapat membuat pemahaman pembaca lebih dalam, tak sekedar terpaku pada teori tanpa bisa membayangkan praktiknya.

Saya rasa buku ini cocok dibaca bagi yang ingin memandang jurnalistik tak sekadar tentang wartawan dan berita. Melalui tulisan-tulisannya, Cak Rusdi mengantar pembaca yang sebelumnya hanya duduk di bangku penonton pementasan drama media, berjalan masuk ke belakang layar. Lalu, ia mengajaknya berkenalan dengan para aktor. Bahkan dengan sutradara yang ‘memonopoli’ jalan cerita.

Meski begitu, tentu saja tak cukup jika menjadikan buku ini sebagai andalan tunggal untuk bisa menguasai belakang layar jurnalistik. Kita, pastinya, hanya bisa betul-betul memahami jika kita yang merasakan menjadi jurnalis itu sendiri.[]

Penulis: Firda Cynthia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *