Mitos itu Bernama Mahasiswa

Opini

Selamat datang para mahasiswa baru di kampus—yang katanya—Bela Negara. Selamat datang di kampus yang mengusung budaya “PIKIR” dalam jargon sehari-hari, tapi enggan memikirkan pendapat mahasiswa tentang biaya kuliah yang mencekik.

Aku dengar biaya kuliah yang harus kalian bayar tahun ini naik lagi, ya. Maaf kami belum bisa mengupayakan uang kuliah di kampus agar lebih terjangkau untuk kalian. Hingga akhirnya ada yang terpaksa mengurungkan niat agar dapat “membela negara” dengan kuliah di kampus ini.
Selamat berdialektika di kampus Uang Pangkal Naik Veteran Jakarta, kawan.

***

Penerapan Uang Pangkal di UPN Veteran Jakarta (UPNVJ) bukan hal baru. Sejak berstatus Perguruan Tinggi Negeri pada 2015 silam, UPNVJ telah menerapkannya uang pungutan tersebut. Tapi apa mau dikata, terhitung empat tahun hingga hari ini kampus masih saja melakukan kebijakan yang memberatkan mahasiswa.

Pada tahun pertama, besaran yang ditetapkan adalah 25 juta rupiah untuk seluruh fakultas non-kedokteran dan 250 juta rupiah untuk Ilmu Kedokteran. Besaran yang sama diberlakukan juga setahun setelahnya. Dua tahun berlangsung, kampus mengeluarkan biaya uang pangkal yang berbeda untuk tiga program studi yang baru—S-1 Ekonomi Pembangunan, S-1 Ekonomi Syariah, dan S-1 Ilmu Politik—sebesar 10 juta rupiah, sementara untuk program studi yang lainnya masih sama.

Namun ada yang menarik. Uang pangkal resmi berganti nama menjadi Sumbangan Pengembagan Institusi (SPI) sejak tahun lalu. Ini menarik sekaligus ironis: perubahan nama tersebut hanya upaya eufemisme bahasa yang dilakukan oleh rektorat untuk mereduksi makna dari uang pangkal.

Padahal, SPI hadir sebagai model pelaksanaan tak ubahnya uang pangkal gaya baru. Perubahaan yang terasa ditahun lalu adalah besaran yang dibebankan kepada mahasiswa baru jalur mandiri. Sistem SPI menerapkan penggunanaan golongan layaknya UKT.
SPI dibagi menjadi empat golongan dan diklasifikasi berdasarkan Fakultas Kedokteran ataupun non-kedokteran. Golongan SPI terendah untuk Fakultas Kedokteran mulai dari 0 rupiah hingga 50 juta rupiah, dengan interval selanjutnya 100 juta per golongan. Sedangkan untuk fakultas non-kedokteran mulai dari 0 rupiah hingga 10 juta rupiah, dengan interval 10 juta pergolongan.

Perubahan model ini mengakibatkan perubahan besaran uang pangkal yang cukup signifikan, yaitu mahasiswa dapat menyesuaikan kondisi ekonominya untuk membayarkan uang pangkal—hingga mahasiswa yang kesulitan ekonomi dapat memilih untuk tidak memberikan uang pangkal.

Kendati demikian, lahirnya SPI juga turut menaikkan besaran uang pangkal yang diterima UPNVJ. Jika pada tiga tahun sebelumnya uang pangkal untuk Fakultas Kedokteran sebesar 250 juta, maka pada SPI angka tertinggi mencapai 350 juta. Hal ini juga berlaku untuk fakultas non-kedokteran yang mana sebelumnya hanya sebesar 25 juta, sekarang mencapai 40 juta.

Hingga pada akhirnya tahun ini UPNVJ mengubah kembali besaran biaya SPI per golongan dengan mengadakan besaran minimal yang harus dibayar oleh mahasiswa baru jalur mandiri sebesar 10 juta untuk non-kedokteran dan 50 juta untuk kedokteran.

Lahirnya bentuk uang pangkal gaya baru di UPNVJ merupakan sebagai konsekuensi atas berubahnya status penegerian. Undang-Undang Pendidikan Tinggi (UU PT) Nomor 12 Tahun 2012 selalu menjadi “dalil” bagi PTN agar dapat menerapkan otonomi kampusnya sendiri. UU tersebut bertujuan untuk mengurangi subsidi pemerintah dalam memberikan Biaya Operasional PTN (BOPTN) dan mendorong PTN secara otonom dapat mengatur serta mengelola penyelenggaraan pendidikan tinggi di masing-masing lembaga.

Otonomi kampus juga termaktub dalam peraturan pemerintah tentang Penyelenggaraan Pendidikan Nomor 4 Tahun 2014, yang memungkinkan PTN untuk mengelola aset yang diberikan negara, serta membuka kesempatan untuk bekerja sama dengan pihak ketiga, mendapat hibah dan membuka unit usaha.

Namun, dalam pelaksanaanya ketidakmampuan perguruan tinggi mengelola aset negara sebagai sumber pendanaan non-subsidi menjadi bumerang dalam otonomi tersebut. Ataupun ketidakmampuan perguruan tinggi mendapatkan pendanaan dari hasil penelitian sebagaimana marwah dari institusi pendidikan.

Lantas jalan keluar paling sederhana adalah dengan membebankan biaya tersebut kepada mahasiswa, dengan memberikan biaya tambahan melalui uang pangkal. Akhirnya, otonomi kampus yang digemborkan para elit negara sejak reformasi menjadi simalakama bagi kampus.

***

Hakikat awalnya, pendidikan adalah hak dasar bagi setiap warga negara Indonesia untuk dapat menikmatinya. Pendidikan merupakan usaha sadar yang dilakukan oleh manusia agar dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran.

Keberadaan pendidikan yang sangat penting tersebut telah diakui dan sekaligus memiliki legalitas yang sangat kuat sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 Ayat (1), yang menyebutkan bahwa: “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”.

Kata “setiap” dalam pasal tersebut menyatakan keseluruhan dari sesuatu, atau dalam hal ini merujuk pada istilah seluruh warga negara, umumnya Warga Negara Indonesia, bukan hanya sebagian atau beberapa elemen warga negara saja.

Meskipun konstitusi dengan tegas menyatakan bahwa pendidikan adalah “hak” — yang berarti kewajiban bagi negara untuk memenuhinya — dibebankannya biaya pendidikan kepada masyarakat hanyalah salah satu ekspresi lain ketika pendidikan tinggi berada dalam jerat fundamentalisme pasar bebas: bahwa pendidikan adalah persoalan pribadi, dan bukan tanggung jawab sosial yang menjadi urusan negara untuk memenuhinya.

Logika tersebut kemudian menjadi pondasi dari segala bentuk komersialisasi pendidikan di perguruan tinggi saat ini mulai dari UKT sampai uang pangkal. Asumsi yang mendasarinya adalah sentralitas individu untuk memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa intervensi kolektif (negara) untuk memberikan akses yang adil atas pendidikan.

Dalam konteks pembebanan tanggung jawab kepada mahasiswa, UU Pendidikan Tinggi berpotensi menutup akses mereka yang tidak mampu untuk masuk ke perguruan tinggi. Sementara, akses terhadap pendidikan adalah amanah konstitusi (Pasal 31 UUD 1945). Ini menjadi paradoks.

Selain berpotensi menutup akses, UU ini juga akan menjadikan biaya kuliah tidak terjangkau oleh masyarakat kalangan bawah, sehingga pendidikan tidak dapat membebaskan mereka dari kemiskinan sebagaimana diamanahkan pembukaan UUD 1945. Pendidikan justru hanya menjadikan status quo bagi orang-orang bermodal.

***

Paulo Freire—filsuf pemikir pendidikan asal Brazil—dalam bukunya yang paling terkenal, Pedagogy of The Oppressed, menegaskan bahwa pendidikan harus diarahkan pada pembebasan idealisme melalui persinggungannya dengan keadaan nyata dan praksis. Baginya, manusia adalah incomplete and unfinished beings. Sehingga tugas utama pendidikan agar menjadikan peserta didik dapat menjadi subyek dalam pendidikan itu sendiri.

Untuk mencapai tujuan ini, proses yang ditempuh harus melalui dua gerakan ganda, yaitu meningkatkan kesadaran kritis peserta didik, sekaligus berupaya mentransformasikan struktur sosial yang menjadikan penindasan berlangsung.

Kampus harusnya menjadi ruang pertarungan ide, di mana tiap pikiran diadu untuk dicari mana yang lebih sesuai. Tempat di mana mahasiswa bebas berdialektika. Bertarung dengan kekuasaan yang otoriter ataupun kebijakan yang kampus yang membebanimu.

Untuk itulah, seharusnya pendidikan perlu diarahkan sebagai wadah berlangsungnya proses emansipasi tingkat kesadaran peserta didik, bukan sekedar memproduksi tenaga kerja siap pakai.

Sekarang aku mulai mempercayai bahwa apatis atau tidaknya mahasiswa diciptakan oleh lingkungan kampus yang ada. Sebab, kesadaran manusia itu berproses secara dialektis antara diri dan lingkungan. Ia memiliki potensi untuk berkembang dan mempengaruhi lingkungan, tetapi ia juga dipengaruhi dan dibentuk oleh struktur sosial tempat dirinya berkembang.

Untuk kalian para kakak-kakak mahasiswa, jangan salahkan adikmu yang baru masuk kampus menjadi seorang yang apatis, itu karena salahmu juga yang menciptakan lingkungan seperti ini di kampusmu.
Dan teruntuk semua mahasiswa, jangan salahkan rektorat jika kebijakannya tidak memberi rasa nyaman. Jika kamu saja tidak peduli dengan keadaan yang menimpamu, lantas apa yang membuatmu berpikir bahwa mereka akan peduli?

Penulis: Taufiq Hidayatullah, mahasiswa Fakultas Ilmu Komputer (FIK) semester 7.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *