Awas Janji Manis, Mahasiswa Jangan Apatis
Banyak janji manis bertebaran, mahasiswa diharapkan dapat ikut andil dalam mencerdaskan pemilih.
Aspirasionline.com — 2019 merupakan tahun politik, tahun dimana akan dilangsungkan dua pemilihan umum (pemilu) sekaligus. Yang pertama ialah pemilu untuk memilih para calon legislatif yang akan duduk di kursi DPR dan DPD, dan yang kedua adalah pemilu untuk memilih calon presiden dan wakil presiden.
Untuk menarik simpati dan mendapat dukungan dari masyarakat, para calon pemimpin tersebut harus pintar-pintar memainkan strategi. Strategi dalam menyampaikan setiap visi dan misi serta program-program unggulannya. Sebagai cerminan atas apa yang akan ia lakukan selama lima tahun kedepan jika ia dipilih oleh masyarakat Indonesia.
Visi dan misi serta program-program tersebut disampaikan sebagai janji kepada para pemilih. Janji-janji itulah yang sering disebut sebagai janji politik, janji yang seharusnya akan mereka realisasikan saat terpilih nanti.
Janji sendiri merupakan hutang yang harus dibayar. Oleh karena itu kita harus benar-benar dapat menilai janji seperti apa yang mereka ucapkan. Apakah janji-janji tersebut berpeluang dibayarkan saat para calon wakil rakyat tersebut menduduki kursinya masing-masing? Atau hanya akan menjadi hutang abadi yang takkan terbayarkan di kemudian hari.
Sebagai generasi milenial, kita sudah cukup banyak menelan janji-janji manis. Tak hanya janji manis sang mantan kekasih tapi juga janji manis para calon wakil rakyat. Seperti halnya artikel dan berita-berita clickbait yang bertebaran di dunia maya, janji para calon wakil rakyat pun tak jauh berbeda.
Mendekati hari-H pesta demokrasi, janji-janji tersebut makin mudah ditemui bertebaran disepanjang jalan, diberitakan dari mulut ke mulut, hingga hinggap di ranting angan para milenial. Janji-janji yang bertebaran di sepanjang jalan itu beraneka ragam, ada yang terpampang di baliho atau spanduk dan ada pula yang menempel di stiker atau pamflet-pamflet.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sendiri memberikan kebebasan kepada para calon legislatif maupun calon presiden untuk mengkreasikan media kampanye yang akan mereka gunakan. Namun tentunya dengan peraturan-peraturan yang harus mereka patuhi, peraturan-peraturan tersebut tertuang jelas dalam Peraturan KPU Nomor 28 tahun 2018.
Namun, pada pelaksanaannya, masih ditemui beberapa tim sukses (timses) yang ‘bandel’ melanggar peraturan tersebut dengan memasang baliho atau spanduk liar tak sesuai aturan, seperti memasangnya di tempat-tempat yang telah dilarang KPU. Meski Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai badan pengawas telah bekerja sama dengan satpol PP untuk menangani hal tersebut, tetap saja beberapa hal tersebut masih saja bisa kita ditemukan.
Dari sekian banyak janji yang terpampang, mungkin ada satu atau dua janji yang menggelitik sanubari. Sampai ada pula yang menggugah nalar atau mungkin hanya sebagai pengganggu pandang. Itu semua tergantung kepada siapa dan bagaimana janji tersebut dipandang.
Sebagai generasi yang akrab dengan teknologi dan berpikiran kritis, kita bisa dengan cepat mengecek kebenaran dan kerasionalan janji-janji tersebut. Sejauh mana janji tersebut dapat terwujud, atau seefektif apa janji tersebut bagi penanganan masalah yang terjadi akhir-akhir ini.
Bagi kalangan berpendidikan atau bagi mereka yang memiliki kepedulian lebih akan nasib bangsanya tentu mengecek kebenaran setiap janji tersebut bukanlah hal yang harus diingatkan lagi. Tapi beda dengan mereka yang belum memiliki kesadaran tinggi akan nasib bangsanya sendiri, karena bagi mereka memikirkan hidupnya sendiri saja sudah susah.
Peran mahasiswa sangat diperlukan pada titik ini, mahasiswa sebagai pihak yang masih mendapat kepercayaan oleh sebagian besar masyarakat dapat membantu menyosialisasikan pentingnya pemilu. Mengajak mereka untuk tidak golput dan menggunakan hak suaranya. Hal sederhana itu merupakan langkah awal yang dapat kita lakukan sebagai mahasiswa. Kemudian, baru lah pada tingkat penyadaran akan pentingnya menilai janji-janji semua calon wakil rakyat itu.
Selain itu, sudah sepatutnya kita sebagai generasi milenial memberikan sedikit pengetahuan akan teknologi, agar masyarakat pun dapat mengetahui siapa yang kelak akan memimpin dan menjadi wakil suara mereka. Janji Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang akan menghapus pajak motor dan SIM seumur hidup, misalnya.
Hal tersebut bagi sebagian masyarakat mungkin sangat menggiurkan. Karena seperti yang kita ketahui, pemilik sepeda motor diwajibkan membayar pajak tahunan dan memperpanjang SIM mereka apabila sudah habis masanya. Memang tak ada yang salah dengan janji itu, toh mereka mempunyai hak untuk menyuarakan ide dan gagasan mereka.
Namun, bagi kaum milenial, saya rasa hal ini tak bisa mentah-mentah ditelan. Mereka bisa mengkaji ulang dampak positif maupun negatifnya terlebih dahulu. Pemberlakuan SIM seumur hidup dapat meningkatkan risiko kecelakaan dan juga menambah kemacetan tentunya.
Dilansir dari tirto.id, Pendiri dan Instruktur Jakarta Defensive Driving Consulting (JDDC) Jusri Pulubuhu menertawakan janji PKS tersebut. Sedangkan Rio Octaviano, anggota Badan Kehormatan Road Safety Association (RSA), mengatakan bahwa hal tersebut justru dapat meningkatkan potensi kecelakaan lalu lintas.
Pendapat-pendapat ahli inilah yang nantinya bisa kita sampaikan kepada masyarakat umum yang hanya sekilas membaca janji-janji tersebut. Beda halnya dengan janji PKS hapuskan pajak motor dan SIM seumur hidup, relawan yang tergabung dalam Kopi Politik Syndicate (KPS), mengusulkan agar para petani dan janda dinafkahi untuk periode Jokowi berikutnya.
Walaupun memang belum secara resmi keluar sebagai janji dari Jokowi, tapi hal ini juga patut dicari tahu kebenaran dan rasionalitasnya bila memang nantinya akan keluar sebagai sebuah janji politik.
Mengingat kita sebagai generasi milenial yang dekat dan akrab dengan teknologi, janji-janji seperti itu harusnya dapat menjadi sarana bagi kita untuk mengasah kemampuan berpikir kritis kita. Jangan biarkan masyarakat menelan mentah-mentah semua janji itu. Kita dapat membantu mereka agar mampu memahami apa yang ada dibalik janji tersebut.
Sebagai mahasiswa pula kita harusnya jangan bersikap apatis, bersikap acuh dan tak peduli pada nasib bangsa ini. Tak perlu jauh memandang ke depan, memikirkan akan seperti apa demokrasi dan lain-lain. Peduli pada pemilu yang hanya tinggal menghitung hari saja sudah cukup bagi bangsa ini. Teruskan perjuangan mengawal demokrasi dan kemerdekaan.
Penulis: Agung Mg |Editor: Fakhri Taka