Epri Wahyu Pratiwi, Kampanye Peduli Lingkungan Melalui Climate Rangers
Climate Rangers menekankan bahwa perubahan iklim disebabkan oleh manusia. Faktor utamanya yaitu polusi yang salah satunya disebabkan oleh pembangkit listrik batubara. Climate Rangers mengajak masyarakat untuk beralih ke energi yang terbarukan.
Aspirasionline.com — Tepuk tangan yang meriuhkan pertunjukan malam itu. Sedang berlangsung sebuah pertunjukan puisi diiringi musik kontemporer dan tradisional yang semakin menambah syahdu jalannya acara. Kala itu sedang berlangsung Sajak Selasa, yang merupakan kolaborasi antara Komunitas Bentara Muda dan Climate Rangers.
Disela acara tersebut, ASPIRASI bertemu dengan salah satu orang paling berpengaruh di Komunitas Climate Rangers. Ialah Epri Wahyu Pratiwi. Dua tahun silam, tepatnya pada Maret 2017, perempuan kelahiran Klaten, Jawa Tengah tersebutlah yang mendirikan komunitas peduli perubahan iklim global, khususnya di Indonesia.
Bermula dari ketertarikan Epri sejak kuliah terhadap lingkungan, membawanya membentuk komunitas yang fokus pada isu perubahan iklim. “Namanya juga feeling untuk menjaga lingkungan dan enggak boleh stop begitu aja. Aku reuni sama teman-teman yang dari Jogja. Kebetulan aku juga punya murid dan aku ajak dua orang dari mereka. Akhirnya terbentuklah Climate Rangers,” tuturnya kepada ASPIRASI, Selasa (25/6) di Bentara Budaya, Jakarta.
Epri mengatakan tujuan dibentuknya komunitas ini untuk mengampanyekan perubahan dari energi kotor menjadi energi bersih yang ramah terhadap lingkungan. Ia juga mengisahkan perjalanannya saat mengikuti klub pecinta alam semasa kuliah namun tak pernah ikut dalam kegiatan pecinta alam praktis, seperti mendaki gunung, panjat tebing dan sebagainya.
“Saya lebih suka kegiatan menanam pohon, sepeda bareng, acara bersih-bersih kampus. Intinya lebih ke tentang lingkungan,” ucap alumni Institut Teknologi Surabaya (ITS) tersebut.
Epri juga bercerita tentang momentum yang melatarbelakanginya untuk membentuk komunitas tersebut. “Ada suatu kegiatan di pecinta alam nama acaranya Siklus. Kegiatannya gowes bareng dari Surabaya ke Jogja. Itu hal paling gila dalam hidup karena totalnya empat hari empat malam aku gowes, tapi kalo siang aja gowesnya,” kata wanita lulusan S1 Teknik Fisika itu.
Epri menyebutkan, Climate Rangers berafiliasi dengan beberapa komunitas di seluruh Indonesia di 12 kota. “Namanya Fossil Free Indonesia, mempunyai visi dan misi yang sama untuk beralih dari energi kotor ke energi yang bersih. Jadi, ayo bikin komunitas yang sama untuk peduli terhadap lingkungan,” kata wanita yang bekerja sebagai Staf Akademik di International University Liason Indonesia (IULI).
Selain itu, Climate Rangers merupakan pendukung dari Organisasi Lingkungan ‘350’, seperti Non Government Organization (NGO) International yang befokus terhadap kampanye perubahan dari energi kotor menjadi energi bersih.
Program Climate Rangers dan Kawula Muda
Dalam melakukan kegiatanya, Climate Rangers memilih melakukan kampanye untuk mengedukasi kepada masyarakat. “Banyak hal yang kita kampanyekan kepada masyarakat untuk peduli lingkungan dari mulai anak TK, SMP, SMA, kuliah, sampai ibu-ibu juga kita jadikan sasaran,” kata Epri.
Satu hal yang menjadi ciri khas dari komunitas Climate Rangers adalah adanya keterlibatan peran anak muda di dalamnya. Epri memandang bahwa anak muda digambarkan sebagai sosok yang sangat kuat dan menyenangkan.
“Kita ada satu program namanya meet up, semacam diskusi bulanan. Pembicaranya anak muda, kita gak pernah ajak pembicara yang sudah top dan senior dalam masalah umur. Jadi kita ingin yang datang anak muda, yang semula gak tahu jadi tahu,” jelas dia.
Alasan Epri tidak melibatkan mereka yang senior karena walaupun mereka mengerti mengenai perubahan iklim tetapi memiliki pendekatan yang berbeda dengan anak muda.
“Kenapa anak muda, karena ngomongnya asik. Kita bisa nongkrong di kafe, gak ada rasa sungkan. Jadi lebih tahu pendekatannya, buat cari tahu apa aja sih yang lagi relate dengan keadaan saat ini,” kata wanita yang hobi bersepeda gunung ini.
Epri memberikan contoh tentang kejadian yang dialami oleh anak muda, tetapi sering dilupakan dan dampaknya pun berpengaruh terhadap bumi. “Contohnya kalau sudah selesai charge handphone, lebih bagus langsung dicabut, karena kalau masih dicolok, otomatis listriknya masih mengalir,” tambahnya.
Dalam diskusi yang dilakukan Climate Rangers, Epri juga sering mengaitkan antara perubahan iklim dengan dampak yang berpengaruh terhadap kondisi kesehatan.
Contohnya pada musim kemarau, matahari menghasilkan sinar ultraviolet yang semakin banyak. Hal tersebut dapat membuat kulit semakin panas dan menyebabkan resiko kanker pada kulit.
Selain program itu, Climate Rangers juga memiliki suatu program yang dinamakan Creative Action. Epri menjelaskan bagaimana caranya agar menyampaikan isu perubahan iklim tetapi lewat cara yang berbeda, salah satunya melalui seni.
“Belum tentu orang seni mengerti perubahan iklim. Jadi, kita ingin menyalurkan bakat mereka untuk menyampaikan kepada masyarakat awam tentang bagaimana perubahan iklim itu terjadi dengan banyak hal seperti dengan musik, puisi, gambar, dan seni lukis,” tuturnya.
Siapa Saja Bisa dan Harus Menjaga Lingkungan
Climate Rangers beranggotakan relawan dengan usia yang beragam, untuk tahun ini anggotanya berusia antara 17-30 tahun. Mulai dari anak SMA yang baru lulus sampai ibu rumah tangga yang mempunyai anak kecil dapat bergabung.
“Kita ada jam volunteernya, setiap hari beda orang. Mix and match waktunya mungkin agak susah, tapi kebanyakan waktu kegiatannya di hari weekend, karena banyak yang gak bisa di hari kerja,” ujar Epri.
Epri berpendapat, semua orang mempunyai kekuatan yang besar untuk berbuat suatu hal yang positif khususnya untuk peduli terhadap lingkungan.
”Sebenarnya anak muda punya power yang lebih, mereka bisa melakukan apa pun dengan berbuat positif terutama untuk menjaga lingkungan. Anak seni, pekerja profesional, sampai ibu rumah tangga pun bisa terlibat dalam menjaga lingkungan tanpa terkecuali,” katanya.
Epri menggarisbawahi bahwa ‘bumi kita satu, kita tidak punya bumi lain’. “Kita gak mau menjadi generasi terakhir yang bisa melihat salju di Pegunungan Jaya Wijaya. Kita juga gak mau menjadi generasi terakhir yang melihat beruang kutub di Kutub Utara karena mereka sudah kehilangan tempat,” katanya.
Menurutnya, hal penting yang harus sama-sama dilakukan adalah merawat bumi agar dapat di tinggali anak cucu kelak. “Ayo kita sama-sama mejaga bumi dengan kekuatan yang kita miliki,” tutup Epri malam itu.
Reporter: Faisal Reza.| Editor: Syifa Aulia.