Melihat Hoaks di Indonesia dengan Pendekatan Australia
Angela Romano dari University of Queensland memberikan kuliah umum mengenai perbandingan antara hoaks di Australia dan di Indonesia serta bagaimana kedua negara tersebut mengatasinya.
Aspirasionline.com – “Hoaks di Indonesia itu sangat parah dan sudah seperti suatu epidemik jika dibandingkan dengan hoaks di Australia yang penyebarannya relatif baru belakangan ini,” ungkap Angela Romano saat memberikan kuliah umum di Gedung D MBRC Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia, Senin (27/11).
Menurutnya, Indonesia mengalami masalah serius terkait hoaks ketimbang di Australia. Ia mengatakan bahwa di sana isu hoaks umumnya seputar kesehatan dan medis, kalaupun ada soal politik skalanya kecil dan hanya menjelang pemilihan umum. “Saya melihat hoaks di Indonesia jumlahnya lebih besar daripada di Australia. Dampaknya terhadap masyarakat juga jauh lebih besar di Indonesia. Risiko menggangu ketertiban umum lebih besar terjadi,” ujarnya.
Dalam paparannya Angela memberi tahu tujuh poin untuk menghadapi hoaks yang dipengaruhi oleh budaya, ekonomi, politik, serta mentalitas masyarakat dari masing-masing negara yakni; Security Approach, Media Industry Regulation, Professionalization, Fact Checking, Citizen Capacity, Moral Leadership, and Technological Approach.
Perihal Security Approach, dia menjelaskan bahwa Indonesia sudah berusaha dengan mengeluarkan Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik tahun 2008, pembuatan unit polisi multimedia, serta memblokir konten-konten terduga hoaks. Sedangkan di Australia, pemerintah disana menjadikan “German Network Enforcement Act” dan hukum yang mirip dengan yang ada di Indonesia sebagai pedoman. Akan tetapi ia mengatakan bahwa hal tersebut masih bergantung kepada hukum lain seperti hate speech dan pencemaran nama baik.
Proses Fact Checking atau pengecekan kembali terhadap data yang ada, menurutnya merupakan sesuatu yang vital dalam memerangi hoaks. Ia menjelaskan karena hal ini merupakan sesuatu yang harusnya bisa dilakukan melalui kesadaran dari sendiri dan juga relatif mudah dilakukan oleh para pembaca sehingga bisa terbebas dari hoaks.
Ia mengatakan kemampuan masyarakat menyeleksi berita hoaks juga merupakan hal yang tak kalah penting dalam memberantas hoaks. Menurutnya letak akar permasalahannya berada pada masyarakat yang menerima hoaks itu sendiri. Dia menjelaskan bahwa hoaks itu tidak melihat golongan masyarakat, karena tidak peduli seberapa majunya pemikiran dan edukasi seseorang, mereka masih bisa terkena hoaks juga.
Kemudian Angela menanggapi isu bahwa pemerintah juga turut ikut dalam menyebarkan hoaks. Ia berpendapat bahwa hal tersebut memang benar adanya. Menurutnya, hoaks yang disebarkan oleh pemerintah tidak lagi hanya dalam konteks media sosial semata melainkan juga melalui cara tradisional dalam menyebarkan hoaks atau miss information. “Jadi ya, pemerintah melakukan ini setiap saat dan ini bahkan bukan hal yang baru dalam media sosial,” tegas perempuan yang mengenakan dress hitam.
Lanjutnya, mengenai gerakan literasi media yang masif saat ini ia berpendapat bahwa hal tersebut bisa menjadi salah satu pemberantasan hoaks yang cukup efektif. Akan tetapi, ia menegaskan bahwa literasi media bukan ditunjukan hanya kepada kalangan pembaca saja melainkan juga kepada media itu sendiri untuk menghindari kesalahan berupa membuat berita hoax secara tidak sadar.
Ketika salah satu peserta menanyakan terkait kemungkinan Indonesia dapat terbebas dari hoaks dalam waktu dekat, ia berpendapat bahwa hal itu tidak mungkin dapat terjadi dalam kurun waktu yang sebentar. Perempuan yang memakai syal biru ini menegaskan bahwa hoaks di Indonesia merupakan sebuah masalah yang kompleks sehingga menghilangkan hoaks di Indonesia tidak bisa dilakukan dalam waktu yang sebentar. “Tapi mungkin Indonesia punya waktu untuk mempersiapkan diri dan mendorong warga untuk memberikan pemahaman lebih mengenai hoaks,” pungkasnya.
Reporter : Farhan Mg. |Editor : Taufiq