Kala Kemhan Terjun ke Ospek Kampus

Berita UPN

Tahun ini, Kemhan dan Kemristekdikti bekerja sama dalam ospek kampus. Tak hanya UPN, Bela Negara menjadi materi wajib di ospek perguruan tinggi lainnya di Indonesia.

Aspirasionline.com – Ada yang berbeda dengan Pelaksanaan Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru (PKKMB) tahun ini. Pasalnya, Pembinaan Kesadaran Bela Negara (PKBN) menjadi materi pokok yang wajib disampaikan. Kegiatan yang biasanya dilaksanakan di bawah pedoman Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti), tahun ini Kementerian Pertahanan (Kemhan) turut andil dalam proses pembentukan pedoman pelaksanaan PKKMB tersebut.

Wakil Rektor III bidang Kemahasiswaan (Warek III) Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta (UPNVJ), Halim Mahfudh membenarkan adanya keterlibatan Kemhan dalam pelaksanaan PKKMB tahun ini. “Jadi Kemhan itu membuat konsep tentang Bela Negara. Saya sudah punya SKEP-nya (Surat Keputusan, red),” ujarnya saat ditemui ASPIRASI di ruangannya, pada Senin (31/7) lalu.

Konsep Bela Negara sendiri telah disosialisasikan sebelumnya pada Rapat Koordinasi tanggal 25-26 Juli lalu ke 135 Perguruan Tinggi Negeri dan beberapa Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis). Halim mengatakan, bahwa konsep yang dirancang oleh Kemhan ini telah disetujui oleh Kemenristekdikti.

Kesepakatan kedua kementrian ini tertuang dalam Surat Menteri Pertahanan Republik Indonesia nomor B/443/M/III/2017 Perihal Pelaksanaan Pembinaan Kesadaran Bela Negara dalam Kegiatan Pengenalan Kampus bagi Mahasiswa Baru. Kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari kesepakatan antara Kemenristekdikti dan Kemhan pada 5 Agustus 2015 tentang Pembinaan Kesadaran Bela Negara.

Selain UPNVJ, beberapa kampus lain pun terkena dampak dari kesepakatan dua kementrian ini. Salah satunya Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Dilansir dari laman Ekspresionline.com, UNY berencana akan mendatangkan Panglima TNI Gatot Nurmantyo untuk menjadi pembicara utama di Ospek UNY, 21 Agustus mendatang.

Di dalam pedoman PKBN yang dikeluarkan oleh Kemhan, terdapat tiga kategori materi, yaitu mutlak, penting, dan berfaedah. Kategori mutlak adalah materi pokok, sedangkan kategori penting adalah materi pendukung, dan kategori berfaedah adalah materi tambahan. “Kalau tahun lalu kita dikasihnya umum, yaitu materi Bela Negara Umum dan Wawasan Kebangsaan. Kalau sekarang kita bisa rinci yang berkaitan dengan tiga item itu tadi,” jelas Halim.

Menurut Halim, adanya materi Bela Negara dalam pelaksanaan PKKMB ini dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa cinta tanah air. Pria kelahiran 1957 ini menjelaskan, bahwa cinta tanah air itu memiliki implementasi yang luas. “Membeli produk-produk dalam negeri, mengkritik kebijakan pemerintah, dan mendiskusikannya juga salah satu contoh yang baik,” jelasnya sambil menandatangani sebuah dokumen kala itu.

Bentuk konkret lainnya bisa langsung diterapkan oleh para mahasiswa dengan mengajak teman-teman¬nya untuk belajar dengan baik. Ia berharap, mahasiswa bisa mengimplemenasikan materi Bela Negara ini dalam kehidupan sehari-hari. “Anak-anak saya di UPNVJ gigih belajar, gigih menolak narkoba, gigih menolak kekerasan. Sekarang sudah bukan zamannya lagi pakai kekerasan,” lanjut Halim.

Senada dengan Halim, salah satu pembicara materi PKBN, Endang P. berpendapat bahwa tujuan dari materi bela negara adalah membentuk sikap dan perilaku mahasiswa untuk menjiwai nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) sebagai dasar negara Indonesia. “Mahasiswa itu punya peran penting ya, sebagai role model untuk masyarakat. Karena mahasiswa kaum intelektual,” jelas wanita kelahiran Blitar ini.

Firdaus, selaku perwakilan lain dari Kemhan, menegaskan bahwa materi Bela Negara yang disampaikan ke hampir seluruh Perguruan Tinggi di Indonesia ini sudah merupakan persetujuan antara Kemenristekdikti dengan Kemhan, sehingga materi yang dibawakan sudah sesuai dengan kurikulum yang dibenarkan oleh Kemenristekdikti.

Terkait dengan masuknya Kemhan ke dalam ranah pendidikan, salah satu mahasiswa Fakultas Ekonomi & Bisnis (FEB) Alexander Adi turut menyampaikan pendapatnya. Menurutnya, pendidikan Bela Negara itu merupakan hal yang penting. ”Sekarang yang namanya doktrin yang tidak benar, seperti radikalisme atau negara khalifah, itu bisa kita cegah dengan cara Kemhan ikut masuk,” jelasnya. Bela Negara sendiri baginya cukup mudah untuk diimplementasikan ke dalam kehidupan mahasiswa. “Contohnya dengan tidak titip absen saat perkuliahan. Kalau titip absen, gimana mau majuin negara ini?,” ucap pria berbadan tinggi tersebut.

Berbeda dengan Alex, salah satu mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Bintoro Aji malah mempertanyakan kinerja Kemristekdikti ketika Kemhan ikut campur tangan ke dalam ranah pendidikan. “Secara tidak langsung muncul pemikiran bahwa ada sesuatu yang lagi diusahakan Kemhan,” jelas pria yang berkacamata itu.

Program yang Menuai Pro dan Kontra

Untuk menyukseskan program bela negara yang dicanangkan oleh Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, Kemhan pun menggandeng Kemenristekdikti. Namun, kerjasama antara kedua kementrian ini menuai pro dan kontra.

Selain itu, seperti yang dilansir dari Kompas.com, program Bela Negara yang diinisiasi oleh Kemhan dinilai belum memiliki landasan hukum. Menurut Koordinator Peneliti IMPARSIAL, lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada pengadvokasian hak asasi manusia, Ardi Manto, secara prinsip program Bela Negara yang dijalankan Kemhan tidak berlandaskan pada Pasal 9 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Ayat 3 dalam Pasal 9 tersebut menjelaskan bahwa program pemerintah, seperti Bela Negara, harus diatur melalui regulasi setingkat Undang-Undang.

Namun, dosen Hukum Tata Negara UPNVJ Taufiqurrohman memiliki pendapat lain. Ia mengatakan bahwa program Bela Negara itu diperlukan bahkan tak hanya di perguruan tinggi. Saat ditemui oleh ASPIRASI pada Rabu (2/8) lalu, Taufiq menjelaskan bahwa program Bela Negara ini sudah sejalan dengan konstitusi, yaitu pasal 30 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). “Jadi kalau kemudian Kemhan masuk ke kampus dengan materi Bela Negara, itu memang tugas yang diberikan oleh konstitusi,” ujar pria yang hobi berolahraga tersebut.

Pasal 30 Undang-Undang Dasar 1945 sendiri berbunyi: “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam keamanan dan pertahanan negara. Pertahanan sendiri berarti memperjuangkan intervensi dari negara lain dilakukan oleh TNI sebagai kekuatan utama dan rakyat sebagai kekuatan pendukung, sedangkan keamanan sendiri berarti keamanan negara dan rakyat dimana praktiknya diberikan kepada kepolisian.”

“Tertulis berhak dan wajib, jadi bela negara itu hak warga negara. Tetapi juga wajib,” jelas pria kelahiran Brebes ini. Baginya, Bela Negara itu tidak seperti militer. “Artinya bisa pelatihan, kecintaan terhadap negara, memahami konstitusi, memahami dasar negara. Itu yang penting supaya kita tidak cuek sebagai generasi muda,” tambahnya sembari membuka-buka buku UUD 1945.

Meski demikian, Taufiq berharap bahwa program Bela Negara ini tidak memasukkan materi Peraturan Baris Berbaris (PBB) di lapangan. Menurutnya, hal penting yang harus diberikan kepada mahasiswa adalah pengetahuan dan pemahaman mengenai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). “Arahnya tuh gak baris-berbaris, itu hanya untuk hiburan aja lah ya,” tutupnya.

Materi Anti-Bullying yang Gagal Hadir

Pelaksanaan PKKMB yang diselenggarakan pada 14-16 Agustus 2017 di UPNVJ akan mengambil dua sesi PKBN pada hari pertama, yaitu konsep PKBN I dan PKBN II. Sesi yang UPNVJ ambil merupakan materi mutlak dari pihak Kemhan, dimana PKBN I terdiri dari Dasar Bela Negara dan Wawasan Kebangsaan, sedangkan PKBN II terdiri dari Empat Konsensus Dasar Kebangsaan dan Sistem Pertahanan Semesta.

Menurut Halim, materi PKBN yang belangsung di kampus hijau ini akan dibawakan langsung oleh pihak Kemhan. “Namanya juga Veteran, dulunya punya Kemhan gitu. Jadi kita ambil pemateri Kemhan. Karena kita punya jalur,” jelasnya sambil tersenyum.

Selain itu, karena UPNVJ sedari dahulu berslogan ‘Kampus Bela Negara’ maka dalam hal program bela negara ini UPNVJ bisa merasa lebih unggul. “Orientasi Kemhan-nya itu lebih kental. Hal bela negara belajarnya ke UPN, PTN Baru orientasinya ke UPN. Kita dianggap di depan dalam hal Bela Negara.”
Pria yang gemar berolahraga ini juga mengatakan bahwa Bela Negara mencakupi hal yang luas, salah satunya adalah anti-bullying.

Melihat hal itu, panitia pelaksana PKKMB pun mengusungkan kepada Warek III untuk mengangkat materi terkait anti-bullying. “Kenapa kita mengusungkan materi bullying, pertama karena selain slot materi BNN, ada materi lainnya yang juga terkait narkoba. Kemudian bullying itu lagi naik daun. Harapannya yang seperti itu tidak terjadi di UPNVJ,” jelas Januardo Romadhon, selaku panitia PKKMB, saat ditemui pada Senin (7/8) lalu.

Halim pun membenarkan bahwa panitia mengusulkan materi anti-bullying untuk diberikan pada PKKMB tahun ini. Namun sayangnya, materi tersebut belum dapat dimunculkan. Sebagai alternatif Halim sudah menyiapkan materi terkait bahaya Media Sosial dan juga Anti Korupsi yang menurutnya dinilai lebih penting. Meskipun demikian, Halim akan menampung usul panitia dan akan diajukan pada rapat di tataran petinggi negara pada periode berikutnya.

Rekam Jejak Pengamanan Negara Masuk Kampus

Keterlibatan bagian keamanan dan pertahanan negara ke dalam ranah perguruan tinggi, khususnya mahasiswa, bisa dilihat jauh kebelakang. Indonesia punya sejarah yang panjang akan hal tersebut. Julie Southwood dan Patrick Flanagan, dalam buku berjudul Teror Orde Baru: Penyelewengan Hukum dan Propaganda 1965-1981 (2013), menjelaskan hubungan antara mahasiswa dengan bagian keamanan dan pertahanan negara, khususnya tentara, bukanlah hal yang baru.

Pada masa Orde Baru, sejak keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret (SUPERSEMAR), Suharto dimandatkan untuk menjadi pemimpin pemerintahan. Saat itu pula militer berperan penting dalam memegang tatanan kekuasaan politik Indonesia. Pada masa rezim Orde Baru, militer mengintervensi seluruh aspek politik dalam pemerintahan sejak awal tahun 1966.

Mahasiswa angkatan 1966 pun mendukung penuh Indonesia di bawah kepemimpinan Suharto dan banyak terlibat dalam perjuangan untuk mendirikan Orde Baru. Mahasiswa kala itu memiliki hubungan erat dengan tentara, terutama Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD), dan tidak sedikit mahasiswa yang mempercayai janji-janji Suharto akan pemerintahan yang adil.

Untuk beberapa saat aliansi mahasiswa dengan militer terlihat menjanjikan bagi kelompok mahasiswa. Namun, pada Oktober 1966, Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad), bagian keamanan dan pertahanan negara kala itu, membubarkan mahasiswa yang berunjuk rasa dengan menggunakan senapan puntung dan bayonet.

Pada pertengahan 1973, rezim terlihat benar-benar berkuasa menyusul kehancuran partai-partai politik pada Pemilihan Umum (Pemilu) 1971. Sebelum kunjungan Perdana Menteri Jepang Tanaka pada pertengahan Januari 1974, pengalihan isu dilakukan dengan mengompori mahasiswa untuk mengkritik kebijakan investasi pro Jepang.

Setelah peristiwa Malari, berita mengenai protes mahasiswa tak banyak muncul. Baru ketika menjelang pemilu 1977 protes mahasiswa kembali muncul ke permukaan. Penyimpangan politik menjadi isu yang diangkat oleh mahasiswa. Mereka berpendapat bahwa terdapat penyimpangan dalam pemilu, mulai dari pelaksanaan kampanye hingga penusukan tanda gambar pola rekruitmen anggota legislatif.

Gerakan protes tersebut berakibat pada diserbunya mahasiswa oleh militer dan Suharto kembali terpilih untuk yang ketiga kalinya. Meski begitu, gerakan protes mahasiswa tersebut menjadi sayap mahasiswa untuk bersikap berani untuk menyatakan sikap terbuka untuk menggugat, bahkan menolak kepemimpinan nasional.

Konsolidasi terus berlangsung. Tuntutan agar Soeharto turun masih menggema jelas. Banyak korban akhirnya jatuh. Sejak awal 1978, 200 aktivis mahasiswa ditahan tanpa sebab. Bukan hanya dikurung, sebagian mereka diintimidasi lewat interogasi.

Puncaknya, pengekangan terhadap mahasiswa terjadi pada peringatan 12 tahun Tritura tepatnya pada 10 Januari 1978. Saat itu penguasa menganggap mahasiswa sudah berada di luar toleransi. Dimulailah penyebaran benih-benih teror dan pengekangan. Namun, hal tersebut tidak menghentikan mahasiswa untuk berteriak lantang kepada Suharto untuk turun dari jabatannya.

Hingga gerakan 1998 pun menjadi puncak dan masa berakhirnya kepemerintahan Suharto. Ribuan mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR selama berhari-hari. Pada tanggal 21 Mei 1998 Suharto memutuskan untuk mundur dan menyerahkan kursi presidennya kepada Habibie[.]

Reporter : Maharani Putri, Nadia Imawangi
*Naskah ini sebelumnya telah diterbitkan lewat Jurnal ASPIRASI Edisi Khusus PKKMB 2017, dalam rubrik “INFO UTAMA”. Diterbitkan ulang dengan tujuan pendidikan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *