Kala Video Game Dibahas Secara Serius
Aspirasionline.com –
Judul Buku : Ideologame: Pengaruh Video Game Atas Budaya
Pengarang : Aziz Dharma, dkk.
Penerbit : EKSPRESI Buku
Tebal : xxvi + 190 halaman
Waktu Terbit : Februari, 2017
Pernahkah Anda melihat anak-anak SMP atau SMA yang saban hari rutin keluar-masuk sebuah rumah, atau ruko, yang terdapat baliho rental Playstation? Punya kenalan seorang teman yang gemar bermain, atau boleh dikatakan, telah menjadikan video game sebagai salah satu prioritas kegiatan hariannya? Atau bahkan pernah bertemu dengan orang-orang yang telah menjadikan hobi bermain video game sebagai sumber penghasilan hidupnya?
Jika pernah, apa yang sekiranya Anda pikirkan ketika bertemu dengan orang-orang seperti itu? Hanya berpikir bahwa apa yang mereka lakukan adalah penghabisan waktu yang sia-sia? Atau berpikir bahwa mereka yang bergumul dengan video game masih belum menemukan titik pendewasaan dalam hidupnya, karena hal-hal tersebut hanya dilakukan oleh anak-anak? Memang tidak dapat dihindari, kegiatan seperti itu masih menjadi stigma yang buruk dari masyarakat kita hingga saat ini.
Lain halnya dengan apa yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa yang bergelut di dalam padepokan pers mahasiswa bernama EKSPRESI ini. Ketika bertemu dengan manusia-manusia yang saya sebutkan tadi, mereka melakukan hal yang berbeda. Alih-alih mencibir, atau malah melanggengkan stigma yang telah bersemayam dalam alam pikir masyarakat luas, justru mereka menjadikan fenomena sosial tersebut sebagai sebuah kajian diskusi dan memuntahkannya dalam bentuk tulisan.
Video Game dalam Ragam Perspektif
Hasilnya adalah buku kumpulan esai setebal 190 halaman ini. Berisi sebelas naskah esai yang mencoba menelaah fenomena video game dalam berbagai perspektif. Mulai dari sejarah manusia, psikoanalisis, filsafat, komunikasi, feminisme, ideologi politik, hingga teori periklanan dalam ranah ekonomi.
Buku ini diawali dengan sebuah esai dari Winna Wijayanti berjudul Serius dalam Permainan. Adalah hal yang menarik ketika kita menengok kebelakang, membaca masa lalu untuk memahami bahwa sejatinya permainan merupakan naluri yang sudah ada dalam diri manusia. Winna menilik hakikat permainan dalam kehidupan manusia lewat pemikiran sejarawan Belanda, Johan Huizinga.
Jika selama ini kita selalu mengonsumsi pengetahuan bahwa manusia adalah makhluk yang berpikir (homo sapiens), lain hal dengan apa yang diutarakan oleh Johan Huizinga. Johan percaya pada dasarnya manusia adalah makhluk yang bermain (homo ludens). Karena ia menilai keinginan bermain telah menjadi naluri dasar manusia, Johan beranggapan bahwa usia permainan jauh lebih tua dari kebudayaan. Sebagai contoh: seorang anak kecil yang sedang bermain bukan karena mendapat perintah, melainkan karena memang “ingin” bermain. Hal tersebut telah menjadi naluri dasar manusia, bukanlah sebuah perintah yang wajib, harus, dan menjadi budaya.
Selama ini seseorang yang suka bermain video game, atau yang akrab disebut gamer, selalu mendapat stigma buruk dari masyarakat. Mereka dinilai terlalu candu akan permainan teknologi hingga abai pada lingkungan sekitar dan menjadi generasi yang antisosial. Namun Ubdailillah Fatawi, dalam esainya berjudul Stop Stigma Terhadap Video Game!, menolak pandangan tersebut. Menggunakan teori komunikasi Aubrey Fisher, ia menilai generasi antisosial hanya bisa terbentuk melalui media komunikasi yang satu arah seperti televisi dan radio, karena penerimanya hanya berfungsi sebagai konsumen tanpa bisa berperan aktif. Lain hal dengan video game, sepemikiran dengan Martin Suryajaya, yang mana penerimanya bisa turut berpartisipasi aktif dalam menentukan alur permainan. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa video game merupakan media komunikasi yang dua arah.
Belum lagi ketika para gamers ikut dalam sebuah komunitas video game. Dengan berkumpul bersama sesama manusia untuk berbagi informasi dan menjaring relasi, alasan munculnya generasi antisosial yang selama ini menjadi momok menakutkan akibat video game bisa runtuh seketika. Generasi antisosial juga tak mungkin terjadi ketika kita melihat segerombolan anak-anak yang asyik bermain bersama di rental Playstation.
Bayu Hendrawati dalam esainya, Playstation dan Dialektika Interaksi, melihat langsung fenomena tersebut. Segerombolan anak-anak yang berada di rental bukan hanya untuk bermain, tapi juga melakukan komunikasi intens antar satu sama lain. Seperti bersenda gurau hingga mengejek, menghina, atau meledek ketika teman sepermainannya kalah. Alih-alih marah, justru mereka saling mengerti bahwa apa yang diucapkan merupakan guyonan belaka tanpa maksud tertentu. Menurut saya, komunikasi seperti ini yang justru jarang terjadi kepada mereka yang kerap men-cap generasi antisosial.
Namun dari seluruh isi naskah buku ini, esai Imam Ghazaly menjadi tulisan layak menggenggam peringkat outstanding. Dalam esai berjudul Ideologiku adalah Permainan, Imam mencoba menganalisis bagaimana video game bisa menjadi sebuah media penyebaran ideologi secara terselubung. Ia menempatkan video game sebagai salah satu aparatus ideologi, meminjam teori Loius Althusser. Dalam video game Call of Duty: Black Ops dan The Godfather 2, bercerita bagaimana tentara atau masyarakat Amerika yang mencoba membunuh Fidel Castro, tokoh pergerakan komunis asal Kuba.
Sudah sama-sama kita ketahui bahwa secara ideologi politik Amerika dan Kuba adalah kutub yang saling berseberangan. Imam meyakini bahwa kedua video game buatan Amerika tersebut mampu menjadi sebuah pengantar ideologi yang mujarab, terkhusus untuk masyarakat Amerika itu sendiri. Walhasil video game berhasil menjadi sebuah penyebaran agenda politik global. Melalui esai ini, Imam secara khusus membantah anggapan bahwa video game yang bermuatan ideologi politik adalah hal yang berlebihan.
Tak Hanya Main-Main
Sebenarnya masih sangat minim literatur yang membahas bagaimana fenomena video game atau permainan lainnya, yang bisa dijadikan sebuah obrolan serius. Dan juga, sedikitnya kajian dan keterbatasan pustaka menjadi salah satu faktor mengapa stigma buruk kepada para pemain video game masih langgeng hingga saat ini.
Faktor lainnya adalah media massa seperti televisi beserta aktor-aktor di dalamnya kerap melanggengkan stigma tersebut ke dalam benak masyarakat. Seperti dalam esai berjudul Menolak Sesat Pikir Mario Teguh, Mariyatul Kibtiyah mencoba melawan ucapan-ucapan buruk Mario Teguh kepada para pemain video game lewat acara motivasinya karena masih menggunakan logika yang dangkal dan kesesatan berpikir.
Saya rasa buku ini bisa menjadi semacam pengantar bagi mereka yang tertarik dan ingin mengetahui bahwa video game bisa dibicarakan dalam tataran keilmuan. Buku ini cukup serius membedah fenomena video game melalui multi-perspektif, menggunakan teori-teori yang biasanya dibicarakan di dalam kelas, bukan saat bermain di rental PlayStation ataupun warung internet (warnet). Jadi, jangan suka main-main dengan permainan.
Penulis : Haris Prabowo