Keikutsertaan Pelajar dalam Konflik Yang Tak Berkesudahan
Judul: 71: Into the Fire
Genre: Drama, Perang
Sutradara: Lee Jae Han
Negara Asal: Korea Selatan
Tanggal Rilis: 16 Juni 2010
Durasi: 120 Menit
Diangkat dari kisah nyata, 71: Into the Fire membawa narasi kelam kala para pelajar harus turun untuk bertarung dalam konflik antarnegara.
Aspirasionline.com — Film 71: Into the Fire merupakan film tentang 71 siswa Korea Selatan yang harus bertarung melawan 500 tentara dari Korea Utara. Di depan Sekolah Menengah Perempuan Pohang, Jung Bum, yang diperankan oleh Choi Seung Hyeon, dipilih untuk menjadi pemimpin pelajar lainnya selama perang berlangsung.
Berlatar pada tahun 50-an, perang bermula ketika Korea Utara menyerang Korea Selatan pada pukul 4 pagi. Dilengkapi dengan kekuatan militer yang kuat, hampir seluruh Semenanjung Korea Selatan hingga Sungai Nakdonggang, berhasil disapu oleh tentara Korea Utara. Kondisi tersebut yang akhirnya membuat Komandan Unit Kang Seok Dae—diperankan oleh Kim Seung Woo, menyerahkan daerah tersebut ke tangan 71 tentara pelajar saat itu.
Sepanjang film, moral para siswa menjadi tak karuan. Para siswa turut menderita karena banyaknya teman yang berjatuhan, sebelum mampu melepaskan diri dari penembak Korea Utara yang ingin membawa mereka menuju tempat penyergapan. Hingga akhir peperangan tersebut, 71 pelajar berhasil melawan 500 tentara, walaupun 48 siswa lainnya ikut tewas.
Diangkat dari kisah nyata yang terinspirasi dari catatan milik Jung Bum, penonton akan dibawa untuk melihat beberapa cuplikan dokumentasi di akhir film. Mulai dari foto para pelajar dan bendera Korea Selatan yang ditandatangi oleh para pelajar, hingga sosok asli Kang Seok Dae yang berpidato sambil menitikkan air matanya ketika mengenang peristiwa tersebut.
Film yang lebih dikenal dengan judul Pohwasogeuro di negara asalnya ini, berhasil mendapat sejumlah penghargaan. Film ini juga diputar di Hawaii International Film Festival dan United Kingdom’s Showbox and Germany & Switzerland’s Ascot Elite serta ditayangkan di Los Angeles, San Francisco, New York, Washington, dan Philadelphia.
Dedikasi Para Pelajar dalam Mengabdi pada Negara
Memiliki alur yang apik, film ini berhasil menyampaikan makna ke penonton lewat setiap adegannya. Sebut saja saat Jung Bum dipilih menjadi pemimpin di medang perang. Karakternya yang pendiam seolah hilang ketika Kang Seok Dae berkata, “jika hatimu baik, mereka akan mengikutimu.”
Lantas Jung Bum membuktikan, bahwa moral dan etika yang dimiliki seorang pemimpin akan menentukan hasil dari perang tersebut. Karakter Jung Bum yang kompeten, bermoral baik, dan cerdik pun bisa mengantarkan pasukannya dalam kemenangan.
Di samping itu, dedikasi dari para siswa untuk meraih kemenangan juga digambarkan dalam film ini. Tak ada pilihan lain selain kata lawan, persahabatan mereka pun terbentuk, karena mempunyai visi yang sama, yaitu mengalahkan musuh bersama.
Adegan tersebut menggambarkan bahwa para siswa itu hanya ingin pulang ke rumah, memakan makanan yang dibuat oleh ibunya. Namun, keadaan berkata lain. 71 Siswa tersebut harus mempertahankan benteng terakhir yang merupakan tempat mereka untuk belajar. Mereka dihadapkan dalam kondisi yang memaksa mereka untuk bertahan hidup dengan alat seadanya.
Selang 72 tahun, nyatanya apa yang dialami oleh Jung Bum dan kawan-kawan, masih terjadi sampai saat ini. Seperti pada dua orang mahasiswa, Maksym Lutsyk dengan Dmytro Maksym, yang menjadi tentara relawan pada Perang Rusia-Ukraina. Setelah menjalani pelatihan dasar selama 3 hari.
Adanya konflik atau perang memang pada dasarnya telah dikutuk, dan hal tersebut bukan tanpa alasan. Kekerasan tanpa belas ampun yang dipertontonkan hingga darah manusia yang dihalalkan. Terlebih, anak-anaklah yang menjadi korban yang paling menderita dalam peristiwa tersebut.
Padahal, anak-anak seharusnya menjadi pihak yang dilindungi saat terjadinya perang. Pasal 3 Konvensi Jenewa IV tahun 1949 secara implisit melarang serangan dan mewajibkan para pihak bertikai untuk memperlakukan anakanak sebagai seorang yang tidak turut secara aktif dalam pertikaian.
Dilansir dari Laman Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, dalam dua dasawarsa terakhir dilaporkan, puluhan juta anak hidup menderita dan bahkan tewas akibat peperangan yang berkecamuk di sejumlah negara.
Akibat perang yang tak kunjung usai, korban warga sipil dari tahun ke tahun makin meningkat, khususnya anak-anak. Menurut laporan UNICEF (United Nations Children’s Fund) pada tahun 1996 saat Perang Dunia I, korban warga sipil semula hanya 14 persen. Pada Perang Dunia II melonjak hingga 70 persen, dan pada tahun 1990 korban perang dari warga sipil naik menjadi 90 persen.
Terbaru dalam perang yang terjadi antara Rusia dan Ukraina, UNICEF mencatat sekitar 4,3 anak di Ukraina terpaksa mengungsi akibat perang. Belum lagi sekitar 78 anak tewas dalam perang, sementara 105 lainnya terluka, menurut data OHCHR (Office of the High Commissioner for Human Rights).
Angka tersebut jelas menggambarkan bagaimana anak-anak yang semestinya memiliki hak untuk bermain dan belajar, justru haknya terampas ketika keadaan perang. Semua terangkum dengan haru, lewat kisah dari secarik kertas di kantung baju Jung Bum, ketika laki-laki itu menutup matanya.
Penulis: Azzahra Dhea. | Editor: Miska Ithra.