Tebarkan Intelektualitas Melalui Berdagang
Penggusuran kios pedagang di sekitar Stasiun UI tahun 2013 lalu, menyebabkan beberapa pedagang harus angkat kaki, salah satunya Kedai Buku Cak Tarno yang kini bertempat di Gedung VIII Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI).
Aspirasionline.com – Kedai Buku milik Sutarno bukanlah hanya sekedar toko buku biasa, selain pengunjung dapat membeli buku, mereka juga dapat berdiskusi mengenai konten buku tersebut dengan pria yang akrab di sapa cak Tarno ini. Walaupun mengaku hanya tamatan Sekolah Menengah Pertama (SMP), Cak Tarno dikenal memiliki wawasan yang cukup luas. Karena itu, banyak civitas akademika Universitas Indonesia yang gemar berkunjung ke Kedai Buku Cak Tarno hanya untuk sekedar nongkrong sembari berdiskusi.
Sebelum bertempat di Gedung VIII FIB UI, toko buku Cak Tarno berada di sebuah kios dekat Stasiun UI. Kios yang disewanya, yang kemudian terkena penggusuran untuk pembangunan apartemen. Melalui arahan relasi di kampus UI, Cak Tarno lalu menyewa salah satu kios di FIB UI yang kebetulan saat itu sedang kosong untuk dijadikan tempat menjual buku dagangannya.
Kepala Bagian Kerjasama Unit Pelayanan Kerjasama dan Ventura FIB UI, Nurhayati mengatakan bahwa ia juga cukup tahu mengenai keberadaan toko buku Cak Tarno saat masih bertempat di dekat Stasiun UI dulu. Ia mengakui bahwa keberadaan kedai buku Cak Tarno ini cukup membawa dampak baik bagi mahasiswa, “dengan adanya Kedai Buku Cak Tarno, mahasiswa jadi lebih mudah mencari buku, saya berharap kedepannya Kedai Buku Cak Tarno dapat terus mempermudah mahasiswa dalam mengembangkan wawasan keilmuan mereka,” jelasnya.
Buku-buku yang dijual di Toko Buku Cak Tarno juga terbilang khas. Tokonya dikenal menyediakan judul buku yang sulit dicari di pasaran, bahkan yang sudah tidak beredar. Seperti cetakan pertama Abangan, Santri, Priyayi: Dalam Masyarakat Jawa oleh Clifford Geertz (1983), Sejarah Revolusi Nasional oleh Nyoman Dekker (1989), dan Sobat oleh Putu Wijaya (1981). Namun menurut Cak Tarno, buku-buku seperti ini tidak untuk dijual melainkan sebagai koleksi bagi toko bukunya. Menurut pengakuan Cak Tarno, buku-buku populer yang dijual di tokonya justru kurang peminat. “Kayak buku-buku yang populer gitu, di sini belum tentu laku, Saya gak bisa menjual,” ujar pria asal Mojokerto ini.
Muhammad Luthfi, mahasiswa Ilmu Politik UI tahun 2011, mengaku sudah lama menjadi pengunjung toko buku Cak Tarno. Ia sudah biasa membeli buku di sana sejak toko buku Cak Tarno masih bertempat di dekat Stasiun UI. “Cak Tarno tidak hanya sekedar menjual buku, tapi ia juga menceritakan isi buku kemudian juga mengajak diskusi,” jelas pria yang gemar bermain futsal ini.
Dengan banyaknya dosen, alumni, dan mahasiswa yang menjadi pengunjung setia toko buku Cak Tarno, pada tahun 2005 dibentuklah Cak Tarno Institute, sebuah komunitas yang mewadahi kegiatan diskusi mereka. Agenda rutinnya adalah diskusi setiap hari sabtu yang membahas berbagai literatur keilmuan. Bagi Cak Tarno, ia akan menerima siapapun yang ingin mengadakan diskusi di tempatnya, asalkan sumber keilmuan yang dipakai dapat dipertanggungjawabkan.
Saat ditanya mengenai rencana untuk membuka toko buku cabang, pria yang hobi bermain tenis meja ini mengaku belum memikirkannya. Baginya kegiatan di Kedai Buku Cak Tarno bukan hanya menjual buku, melainkan juga kebiasaan berdiskusi yang kritis dan intelek. Sehingga seandainya ia ingin membuka cabang, terdapat banyak pertimbangan. “Sebenarnya terpikir kalau masalah soal membuka cabang, tapi siapa yang menjalankan? Terus apakah yang menjalankan itu benar-benar niatnya untuk menjalankan sebuah usaha? Karena untuk menjual buku ini nggak gampang, perlu komitmen, dan dia harus tahu kontennya (buku) tadi. Terus ketiga, bagaimana dia membangun sebuah relasi,” pungkasnya, Selasa (22/11).
Reporter: M Berlian Mg. |Editor: Deden