Biarkan Kami Belajar, Silahkan Kalian Bodoh Sendirian
Aspirasionline.com – Jika boleh jujur, sebenarnya saya tidak terlalu suka dengan konsep yang komunisme tawarkan dengan sentralisasi kekuasaannya. Terlebih setelah Revolusi Rusia meletus pada 1917, yang mengakibatkan lahirnya partai-partai marxis di beberapa negara. Terlebih lagi setelah Stalin telah menggampar muka para buruh dengan kediktatorannya. Belum lagi setelah desas-desus bahwa jajaran PKI berisi intelijen Soviet yang berambisi untuk mengkudeta Soekarno kala itu.
Namun apabila membicarakan komunisme di Indonesia, saya menaruh hormat pada Tan Malaka. Saya lebih menyukai gaya pemikirannya ketimbang para kamerad yang lain di PKI. Hemat kata, Tan Malaka tidak ambisius jika sedang membicarakan kekuasaan. Pun Tan Malaka telah menjadi suri teladan bagi saya dalam mencari ilmu, pasalnya walaupun beliau memiliki banyak guru namun tidak serta merta meniru begitu saja pola pemikirannya. Sebab bagi Tan Malaka, pemikiran itu tidak dibangun dari ide seseorang. Maka dari itu ia sedari muda, senang berkeliling dunia: Eropa, Rusia, Asia, dan Asia Tenggara untuk mencari ilmu. Intinya, kendati saya tidak terlalu menyukai konsep komunisme secara keseluruhan, namun ada beberapa komponen atau katakanlah tokoh dari ontologi komunisme itu sendiri yang saya senangi. Meskipun demikian, hingga saat ini saya masih senang membaca pelbagai hal tentang komunisme, siapa tau ketika saya mengatakan “tidak terlalu suka” yang adalah sebetulnya saya masih belum banyak membaca.
Saya pikir mempelajari komunisme, baik itu ide pemikirannya ataupun sejarah pergerakannya, tidak ada yang salah. Sebab kita tidak pernah tau bagaimana rasa garam itu asin jika belum mencicipinya. Maka melarang orang untuk mempelajari sesuatu adalah hal yang patut dipertanyakan motifnya. Seperti yang terjadi pada Sabtu (27/2) kemarin terhadap aksi pencekalan Belok Kiri Festival di Taman Ismail Marzuki Jakarta oleh sejumlah organisasi kepemudaan dan mahasiswa. Dengan tameng TAP MPRS No.XXV/1966 yang berbunyi:
“Pembubaran Partai Komunis Indonesia, pernyataan sebagai organisasi terlarang diseluruh wilayah negara republik indonesia bagi partai komunis indonesia dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran komunisme/marxisme-leninisme”
Mungkin saya bisa terima pada poin bahwa PKI memang selayaknya dibubarkan namun melarang untuk mempelajari atau mengembangkan faham komunisme adalah bentuk upaya penyesatan yang dilakukan pemerintah Indonesia sendiri. Kenapa saya bisa bilang demikian? Bagaimana tidak pemerintah rajin mempropagandakan kejahatan kaum PKI dan faham komunisme pada masyarakat Indonesia tanpa memberi sedikitpun kesempatan untuk masyarakatnya berkenalan dengan isme tersebut. Pemerintah telah memperlakukan masyarakatnya seperti bayi.
Kembali pada aksi kelompok pemuda dan mahasiswa. Mereka menyatakan bahwa Belok Kiri Festival adalah upaya melecehkan Pancasila sebagai ideologi bangsa ini. “Selamatkan seluruh elemen bangsa terutama generasi muda dari paham-paham yang bertentangan dengan Pancasila. Negara harus bertindak tegas dan juga melarang segala bentuk paham-paham yang bertentangan dengan Pancasila,” ujar seorang koordinator aksi yang saya kutip dari portal berita nasional. Membacanya saya mulai kehilangan akal. Bukannya TAP MPRS No.XXV/1966 adalah produk Orde Baru yang melakukan kudeta merangkak untuk mendongkel pemerintahan Soekarno. Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto menggunakan dalih G-30-S untuk memecah poros NASAKOM yang digagas oleh Soekarno yang terkenal dengan konsep Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme-nya. Siapa Soekarno sendiri ? Bukankah beliau adalah penggas Pancasila. Bagi saya ini janggal sekaligus menggelikan, satu sisi mereka menggunakan tap MPRS sebagai tameng dalil melindungi Pancasila. Satu sisi mereka lupa bahwa tap MPRS tersebut ada untuk menjatuhkan salah seorang penggas Pancasila.
Pantas saja apabila para kelompok pemuda dan mahasiswa tersebut melarang Belok Kiri Festival yang syarat dengan ilmu untuk diselenggarakan, mereka tidak mau ada orang lain yang belajar, khususnya tentang sejarah bangsanya sendiri. Sebab mereka adalah kelompok yang juga malas belajar, ternyata mereka sudah merasa keburu congkak. Menggelikan memang, seharusnya kelompok pemuda dan mahasiswa tersebut mampu menjadi fasilitator yang baik dan terbuka bagi keberagaman ilmu yang bisa disalurkan kepada masyrakat yang masih buta terhadap sejarah bangsanya sendiri. Biarkan kita pelajari semua ilmu yang ada, toh hati nurani kita kelak yang mampu menyortir mana yang baik dan buruk untuk diri sendiri ataupun bangsa ini.
Apabila seperti ini terus mau sampai kapan kita membutakan mata terhadap sejarah sendiri ? Film Jagal dan Senyap yang mengangkat background sejarah Indonesia era 1965, digarap oleh orang Amerika Serikat. Bukannya saya tidak senang, tapi seharusnya hal tersebut bisa digarap oleh kita. Tapi apa yang terjadi, kita lebih kandung kagum oleh sejarah bangsa lain, hitung berapa banyak orang yang bangga dan takjub mengetahui bahwa Presiden Amerika Serikat Barack Obama pernah tinggal di Menteng dan lebih sialnya anak bangsa ini lebih tertarik menjadikannya film layar lebar, jumlah mereka tidak sedikit. Memalukan. Inti dari semua ini adalah saya tidak membela marxisme, komunisme, nasionalisme, atau apapun itu di sini. Saya hanya ingin menuntut hak belajar terhadap semua bentul ilmu bagi semua orang.
Untuk melalui gua yang gelap, kita perlu berbagai cara untuk menciptakan obor yang bisa menerangi dan menuntun jalan. Sayangnya ternyata bangsa ini keburu antipati terhadap keberagaman ilmu, terlalu congkak dan merasa mampu berjalan keluar gua tanpa penerangan yang memadai. Alhasil, kadang kita saling bertabrakan dan tak jarang keserimpet kaki sendiri. Atau memang kita lebih senang hidup dalam gua yang gelap ini?
Penulis adalah Alfian Putra Abdi, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPNVJ tahun 2012.