Aspirasionline.com – Dua puluh tahun lalu, tepatnya 7 Agustus 1994, sekitar 100 orang berkumpul di Sirnagalih, Bogor, Jawa Barat. Mereka berdiskusi membahas kondisi politik saat itu, termasuk perlakuan penguasa terhadap pers di tanah air. Dipicu oleh sikap represi pemerintah, termasuk pembredelan tiga majalah saat itu, Tempo, Editor dan Detik, seratusan orang yang terdiri dari wartawan dan kolomnis menandatangani deklarasi yang diberi nama Deklarasi Sirnagalih. Penandatanganan deklarasi itu kemudian diikuti pembentukan Aliansi Jurnalis Independen atau AJI.
Pada masa Orde Baru, AJI sempat dikategorikan ke dalam daftar organisasi terlarang. Karena itu, AJI pun melakukan kegiatannya secara sembunyi-sembunyi. Roda organisasi dijalankan oleh dua puluhan jurnalis-aktivis melalui gerakan klandestain. Dan untuk menghindari tekanan aparat keamanan, sistem manajemen dan pengorganisasian diselenggarakan secara tertutup. Sistem kerja organisasi semacam itu memang sangat efektif untuk menjalankan misi organisasi, apalagi pada saat itu AJI hanya memiliki anggota kurang dari 200 jurnalis.
Koordinator Divisi Organisasi AJI Indonesia, Mustakim menuturkan, gerakan bawah tanah ini menuntut biaya mahal. Tiga anggota AJI, yaitu Ahmad Taufik, Eko Maryadi dan Danang Kukuh Wardoyo dijebloskan ke penjara, Maret 1995. Taufik dan Eko masuk bui masing-masing selama 3 tahun, Danang 20 bulan. Menyusul kemudian Andi Syahputra, mitra penerbit AJI, yang masuk penjara selama 18 bulan sejak Oktober 1996.
Tahun ini, umur AJI Indonesia sudah memasuki usia yang ke-20 tahun. Perkembangan kebebasan pers di Indonesia juga bergerak ke arah yang maju. Namun, masalah yang dihadapi jurnalis terkait kebebasan pers juga masih banyak terjadi. “Hanya saja, saat ini pelakunya berbeda. Kalau dulu musuh kita adalah negara yang cenderung represif terhadap media. Namun hari ini, musuh kebebasan pers di Indonesia justru datang dari pemilik modal, atau pemilik media itu sendiri,” terang Mustakim.
Saat ini banyak pemilik media yang justru mengintervensi jurnalisnya. Terutama pada ajang pesta demokrasi lalu. Jurnalis seolah dipaksakan untuk berpartisipasi dalam kegiatan pemilu dan tak jarang pula banyak jurnalis yang kehilangan pekerjaannya akibat menolak memenuhi permintaan sang pemilik modal. “Kasus semacam ini sangat sering terjadi pada pemilu lalu. AJI Indonesia juga menjadi pendamping rekan-rekan jurnalis yang memiliki masalah dengan atasannya,” paparnya.
Masalah kesejahteraan jurnalis juga menjadi masalah tersendiri saat ini. Banyak jurnalis yang masih diberi upah dibawah standar. “Sehingga banyak jurnalis yang masih menerima amplop karena tidak mendapatkan upah yang layak,” ujarnya. Untuk itu menurut Mustakim, AJI Indonesia terus mendesak agar perusahaan yang bergerak di media massa memberikan upah layak kepada jurnalisnya.
Selain itu, masalah kriminalisasi jurnalis oleh sejumlah pihak juga turut disayangkan oleh Mustakim. Semestinya, cara penyelesiaan setiap persoalan yang menyangkut dengan pemberitaan harus merujuk pada Undang-Undang Pers, bukan Undang-Undang Pidana. Oleh sebab itu, pihak AJI mendesak agar kepolisian menolak laporan yang menyangkut kasus pemberitaan. “Kami juga sudah meminta agar pihak kepolisian tunduk pada aturan yang berlaku. Sebab, penyelesaian kasus yang menyangkut penulisan berita merujuk pada Undang-undang Pers. Bukan Undang-undang Pidana,” tutupnya.
Sumber : KBR68H