Bupati Bojonegoro: Saya Ini Ibarat Sopir Angkutan Umum
“Saya ini sering ikut perayaan agama lain. Awalnya ya saya dikritik. Sampai ada yang memberi tahu ibu saya dan bilang saya murtad. Saat ditanya ibu saya, ya saya tersenyum saja dan menjelaskan dengan santun. Saya ini bupati, yang tugasnya sebagai pelayan semua kalangan dan agama yang ada di Bojonegoro. Saya ini ibarat supir angkutan umum. Penumpang saya beragam, tapi kita semua tujuannya sama, yaitu kesejahteraan dan keadilan. Jadi saya harus bisa menyetir angkutan umum ini ke arah yang benar agar sampai tujuan. Lama kelamaan warga memahami saya kok dan bahkan mencontoh saya” kata Bupati Bojonegoro, Jawa Timur Suyoto sambil tersenyum.
Dalam perbincangan di Program Agama dan Masyarakat KBR68H, Suyoto mengatakan, “Saya nyaman bergaul dengan semua agama. Ini menurut saya aplikasi keislaman saya. Bukan berarti murtad.”
Menurut pria kelahiran Bojonegoro, 17 Pebruari 1965 itu, beragama Islam tidak lantas membuatnya mengabaikan agama lain. Dia bahkan mengaku menemukan kenyamanan ketika berbaur dengan umat agama lain, seperti saat hadir dalam perayaan hari besar agama mereka. Pria yang akrab dipanggil Kang Yoto ini dikenal sebagai tokoh penebar toleransi di wilayahnya.
Di Bojonegoro, Jawa Timur, Kang Yoto lahir dari lingkungan Muhammadiyah yang merupakan kalangan minoritas di wilayah tersebut. Sejak kecil dia belajar untuk menghargai perbedaan di daerah dengan keberagaman yang cukup kental itu.
“Di Bojonegoro itu sangat plural. Ada Islam, Kristen, orang Tionghoa, Islam yang dipengaruhi kultur Hindu, seperti abangan juga ada. Ya, berbagai agama dan pandangan kepercayaan ada,” ujarnya.
Saat terpilih menjadi bupati, Kang Yoto bertekad mensejahterakan warganya. Salah satunya dengan meminimalisir potensi konflik di masyarakat. Prinsip yang dianutnya adalah keadilan sosial. Menurutnya konflik berbau SARA itu hanya akan ada ketika keadaan suatu masyarakat tidak sejahtera. Dia pun mulai memetakan masalah apa saja yang ada di Bojonegoro, termasuk masalah persinggungan warga terkait perbedaan agama dan ras. Prioritas pembangunan daerah dia tujukan untuk semua kalangan, bukan kelompok tertentu saja.
“Pembangunan di Bojonegoro saya prioritaskan ke fasilitas yang memang bakal digunakan semua orang. Bukan yang untuk kalangan tertentu saja. Misalnya jalan. Jalan ini kan semuanya pasti lewat. Mau Kristen, Islam, Hindu, Cina, siapapun pasti menggunakannya. Pernah saya dikritik tidak mendahulukan pembangunan masjid. Ya, saya beri pengertian kalau asas keadilan untuk semua harus didahulukan,” ujarnya
Setelah memetakan masalah yang ada, Kang Yoto menemukan beberapa kebiasaan atau mentalitas warga yang tidak baik. Salah satunya adalah mentalitas meminta. Kata dia, ini harus diubah menjadi mentalitas produktif dan menghasilkan. Imbas dari mudah meminta adalah warga jadi tidak mandiri dan bergantung terhadap sesuatu. Akhirnya dia menggalakkan warganya untuk bisa membuat usaha. Apapun itu.
“Mentalitas meminta ini yang saya temukan. Di semua agama ini kan ada juga mentalitas yang cenderung seperti ini. Ya, harus ada transformasi sosial. Warga Bojonegoro harus bisa jadi produsen dan mandiri. Menggiatkan warga dengan berbagai kegiatan ini juga salah satu cara untuk menghindari konflik karena adanya perbedaan,” sambungnya.
Resep lain yang dilakukan Kang Yoto adalah menyebarkan semangat demokrasi dan musyawarah. Selalu mengedepankan dialog damai untuk menyelesaikan berbagai perbedaan pendapat. Menurut dia, komunikasi sangatlah penting. Banyak kasus kekerasan antar agama dan ras karena komunikasi tidak berjalan. Selain itu niat baik dan cara pandang juga menjadi faktor penting dalam menyikapi berbagai potensi konflik.
“Kalau saya melihat kasus seperti larangan bangun rumah ibadah atau apapun itu konflik agama di luar sana itu tergantung bagaimana cara pandang kita dan niat kita. Peraturan yang ada bukanlah penentu. Misalnya ada aturan yang mungkin dinilai masih banyak celahnya, tapi kalau pihak yang bertikai punya niat baik, toleransi dan memandang aturan sebagai mekanisme pemersatu, ya pasti konflik tidak akan terjadi. Sebaliknya juga, walaupun ada aturan yang sudah bagus, tapi kalau tidak ada niat baik, ya pasti bakal tetap dicari celahnya dan efeknya ya konflik bakal terjadi,” imbuhnya.
Menurut Kang Yoto, langkah awal suksesnya masyarakat yang damai dan bertoleransi adalah dengan membuat masyarakat tersebut saling percaya. Ketika kepercayaan satu sama lain sudah terbangun, maka perbedaan bukanlah ancaman. Pluralisme bisa dijalankan dengan damai. Salah satu caranya, yaitu dengan memberikan contoh yang baik kepada masyarakat. Mencontohkan dan menjelaskan tindakan kita yang menjunjung semangat toleransi. Suyoto yakin perlahan masyarakat akan memahami pentingnya sikap toleransi tersebut.
KBR 68H