UU Penodaan Agama Sering Dijadikan Tameng oleh Kelompok Radikal
Jakarta – Indonesia kembali menjadi soratan mata internasional terkait penegakan hak asasi dan kebebasan beragama. Sorotan itu muncul dalam Sidang Sipil Politik (Sipol) Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada 10 Juli atau pekan lalu di Jenewa Swiss.
Ada banyak hal yang disorot Komite HAM PBB. Salah satunya adalah tentang masih berlakunya undang-undang lama yaitu Undang-undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan dan Penyalahgunaan Penodaan Agama. Padahal dunia internasional sudah merekomendasikan agar UU tersebut direvisi.
Pada 2009, sejumlah lembaga dan perseorangan termasuk bekas Presiden Abdurrahman Wahid dan Prof Musdah Mulia menggugat UU Penodaan Agama ke Mahkamah Konstitusi. Penggugat menilai undang-undang itu diskriminatif, melanggar kebebasan beragama serta kerap menjadi pemicu kekerasan dan intimidasi atas nama agama. Namun, Mahkamah Konstitusi menolak gugatan dan memilih mempertahankan Undang-undang yang sudah berumur 48 tahun tersebut.
Salah satu penggugat UU Anti Penodaan Agama, Musda Muflia mengatakan UU ini kerap digunakan masyarakat dalam banyak kasus kekerasan berbasis agama. “Bahkan lihat sepintas judulnya, sudah sangat bagus apapun agama orang lain kita harus hormati. Namun, UU ini harus dicabut sejumlah pasal didalamnya bertentangan dengan konstitusi, Pancasila dan prinsip kebebasan beragama yang merupakan kesepakatan dunia.”jelasnya.
“Setiap tahun ada saja alasan bagi penegak hukum menghakimi orang melakukan penodaan agama. UU ini tidak layak ada dalam atmos demokrasi kita,”ujar Musda saat berbincang di Program KBR68H Agama dan Masyarakat.
Deskripsi penodaan pun sangat luas sekali, yang dikatakan penodaan agama ini adalah perbedaan tafsir dari arus utama agama di Indonesia. Jika dimaksudkan penodaan agama adalah perbedaan tafsir, maka sangat membahayakan. Menurut dia, siapa yang bisa menentukan tafsir agama yang paling benar.
Sementara itu, Ahli Hukum Tata Negara, Refli Harun mengatakan UU ini menjadi pemicu tindakan yang inkonstitusional maka patut dibatalkan. UU ini bisa kembali diujikan ke Mahkamah Konstitusi dengan menggunakan argumen yang berbeda. Jika dikembalikan ke Judicial Review, menurut dia Mahkamah Konstitusi melihat dua aspek dari UU ini. Apakah teks UU ini bertentangan dengan konstitusi atau praktik dari UU ini yang bertentangan dengan konstitusi. “Kalau UU ini sering digunakan tameng untuk tindakan radikal maka di dalam tubuh UU ini bermasalah,”ujar Refli.
Selain itu juga, UU ini tidak rasional karena siapa yang bisa menghakimi terjadi penodaan agama. “Sebagai contoh ada orang yang merobek kitab suci, orang akan marah. Tapi orang ini tidak bisa mengeksekusi orang yang merobek kitab suci. Karena itu, yang ada adalah negara yang harus turun tangan. Sehingga tindakan itu bisa dicegah. Tapi apakah faktanya seperti ini yang terjadi ? ternyata tidak. Biasanya kelompok sipil yang menjadi polisi,” jelasnya.
Salah satu penggugat UU Anti Penodaan Agama, Musda Muflia sudah memikirkan untuk mengajukan kembali judicial review terhadap UU ini. Namun banyak hambatan dari kalangan mayoritas. Pihaknya terus bersosialisasi kepada masyarakat bahwa UU ini berbahaya jika dibiarkan. Dia berharap UU ini tidak lagi menimbulkan banyak korban. “UU ini sering menimbulkan korban dan paling banyak merupakan korbannya adalah minoritas. Sebagai contoh adalah jemaat Syiah dan Ahmadiyah,” tambah Refli.
Program Agama dan Masyarakat KBR68H