Di Persimpangan Jalan Menuju Toga

CategoriesSastra

Jingga senja menyelimuti kota, menyusup masuk ke dalam perpustakaan yang semakin lengang.

Di sudut ruangan yang sunyi, Tara masih merenung dikelilingi tumpukan buku referensi yang tak kunjung berkurang, dengan wajah yang pucat diterangi bias lampu. 

Jemarinya terus menari di atas keyboard laptop, sesekali mengusap peluh di pelipis. Jejak langkahnya berat sebagai mahasiswa semester akhir yang terjebak dalam tekanan akademis dan organisasi. 

Ponselnya bergetar, menampilkan pesan dari ibunya yang menanyakan kapan ia akan wisuda. Ibunya bercerita bahwa tetangga mereka, Bu Erni, akan pulang dari Jakarta setelah menghadiri wisuda anaknya, Desi. 

Tara tercekat, mengingat bahwa teman sebangkunya dulu telah lebih dulu menyelesaikan studinya. Sementara itu, Tara masih terfokus dengan proposal skripsi yang belum juga mendapat persetujuan dari dosen pembimbingnya. 

Pikirannya semakin kacau saat Eka, sahabatnya, datang membawa kabar bahwa ia telah lulus dengan nilai sempurna. Tara hanya bisa memberikan selamat dengan senyum terpaksa.

Tara mengeluh. Tak hanya tugas organisasi, masalah lebih besar menghampirinya. Persoalan skripsi yang tak kunjung selesai semakin menekannya sebab orang tuanya  telah menyiapkan uang untuk datang ke kota tempatnya berkuliah dengan penuh harap. 

Tak tega, Eka memperkenalkan Yoga, seorang alumni yang dikenal sebagai joki skripsi untuk menjadi solusi bagi Tara yang kepepet.

Malam itu, Tara terbaring di kamarnya yang pengap dengan pikiran berkecamuk. Tekanan dari orang tua, tuntutan akademik, dan rasa lelah yang menggerogoti membuatnya mempertimbangkan saran memakai jasa joki. 

Saat ia hampir mengambil keputusan, telepon dari ayahnya kembali membuatnya merasa takut. Ayahnya menuturkan bahwa dirinya dan ibu sudah menyiapkan tabungan pensiun untuk melihat Tara mengenakan toga. Mendengar itu, hati Tara semakin berat. 

Setelah panggilan berakhir, Tara kembali menatap layar laptopnya yang menyala. Proposal skripsi yang penuh revisi seolah mengejeknya. 

Dengan jemari yang ragu, Tara mengetik pesan untuk menghubungi Yoga. Pikirannya terus bergejolak. Ia tahu, keputusan ini bertentangan dengan prinsip yang selalu ia junjung tinggi. Namun, tuntutan untuk segera lulus terus menghantuinya. 

Pagi harinya, Tara memantapkan hati dan bersiap menemui Yoga. Dering telepon dari Dina mengalihkan perhatiannya. Dina menceritakan bahwa dirinya sendiri baru mendapatkan persetujuan proposal, meskipun sudah memasuki semester sepuluh dan tetap optimis karena percaya bahwa yang terpenting adalah lulus dengan cara yang benar.

Kata-kata Dina menghantam batin Tara. Ia teringat kembali prinsip yang pernah dipegangnya sejak Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan menolak menyontek saat ujian nasional. Yakinnya, lebih baik mendapatkan nilai yang buruk daripada mengkhianati kejujuran. 

Setelah panggilan itu, Tara merasa ada kelegaan di hatinya. Ia memutuskan untuk membatalkan pertemuannya dengan Yoga. Dengan keberanian yang baru muncul, Tara mengaku kepada ayahnya bahwa skripsinya belum selesai dan ada beban dalam dirinya yang dihajar oleh ekspektasi keluarga hingga hampir memilih jalan pintas. 

Ayah berkata, Tara lulus cepat jika harus mengorbankan kejujurannya bukanlah yang ayah dan ibunya inginkan. Mereka hanya ingin Tara bahagia dan sukses dengan cara yang benar. Satu-satunya yang ayah dan ibu harapkan Tara selamanya baik-baik saja.

Mendengar itu, beban yang selama ini menghimpit dada Tara perlahan terangkat. Ia berjanji kepada ayahnya bahwa ia akan tetap berusaha, tanpa mengambil jalan pintas.

Bulan-bulan berikutnya, Tara terus berjuang menyelesaikan skripsinya dengan segala kesulitan yang menyertainya. Revisi demi revisi tetap ia jalani, meski terkadang ia merasa putus asa. 

Namun, berkat dukungan sahabat-sahabatnya dan keyakinan yang kembali ia genggam, ia berhasil menyelesaikan penelitian dan mempertahankan skripsinya di depan penguji. Beberapa bulan kemudian, ia dinyatakan lulus.

Pada hari wisuda, Tara berdiri di podium. Di barisan kursi depan, ia melihat kedua orang tuanya tersenyum bangga dengan mata berkaca-kaca. Dina, Eka, dan teman-teman lainnya juga hadir, memberikan dukungan seperti yang selalu mereka lakukan. 

Seusai prosesi, ibunya memeluknya erat, sementara ayahnya menepuk pundaknya dengan bangga. Tara meminta maaf karena tidak bisa lulus secepat yang diharapkan, tetapi ayahnya mengatakan bahwa yang terpenting adalah ia telah lulus dengan baik dan jujur. 

Malam itu, Tara menatap toga yang tergantung di dinding kamarnya. Bukan sekadar lambang keberhasilan akademis, toga itu menjadi simbol perjuangan, kejujuran, dan keteguhan hati.

Tara menyadari bahwa perjalanan barunya baru saja dimulai, dan ia bertekad untuk terus melangkah dengan cara yang benar, apa pun rintangan yang menghadang. 

Di luar jendela, bintang-bintang berkilau seolah merayakan kemenangannya, bukan hanya sebagai seorang lulusan, tetapi sebagai seseorang yang tetap setia pada nilai-nilai yang diyakininya.

 

Ilustrasi: Fabiana Amhnun

Penulis : Nazhif, Mg. | Editor : Azaliya Raysa

About the author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *