Ketika seseorang kehilangan kemampuan untuk beradaptasi secara sosial dan menemukan kenyamanan dalam teknologi, fenomena Hikikomori, yang ditandai dengan isolasi selama lebih dari enam bulan, dapat berkembang.
Aspirasionline.com– Keinginan untuk menyendiri adalah hal yang wajar dialami oleh manusia. Namun, bagi sebagian individu, kebutuhan ini dapat berkembang menjadi isolasi sosial yang ekstrem.
Fenomena menyendiri ini dikenal dengan istilah Hikikomori. Istilah yang datang berasal dari Negeri Matahari Terbit, di mana seseorang memilih untuk menarik diri sepenuhnya dari kehidupan sosial.
Hikikomori sering terjadi pada remaja akhir hingga dewasa awal, dengan rentang usia 20-25 tahun. Dalam kondisi ini, individu akan mengurung diri, menghindari interaksi sosial, dan bisa berlangsung dalam waktu yang lama, mulai dari beberapa bulan hingga bertahun-tahun.
Dosen Psikologi Sosial Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta, Dewi Handayani, menyebutkan teknologi mendorong isolasi sosial, karena aplikasi pesan antar, belanja daring, dan komunikasi digital mengurangi kebutuhan interaksi langsung, memperkuat pandangan bahwa kehadiran orang lain tidak penting.
“Kemudahan teknologi ternyata membuat orang merasa dirinya itu tidak berinteraksi dengan orang lain. Jadi salah satu dampak negatif kemudahan teknologi ternyata membuat orang juga merasa sudah bisa handle sendiri, jadi buat apa bertemu secara sosial lagi.” kata Dewi kepada ASPIRASI melalui Zoom Meeting pada Minggu, (22/12).
Kondisi ini menjadi semakin mengkhawatirkan bagi individu yang sejak awal cenderung tertutup atau lebih nyaman dengan dunianya sendiri. Ketika mereka menghadapi masalah atau mengalami tekanan emosional, ada kemungkinan mereka memilih untuk semakin menarik diri dari lingkungan sosial.
“Kepribadian kalau normal itu harusnya masih tetap bersosialisasi, tapi kalau “tidak normal”, dia punya problem-problem psikologis yang membuat dia itu tidak senang harus bersosialisasi atau bahkan dia pernah tersakiti oleh interaksi sosial, maka dia memilih untuk Hikikomori.” tukas Dewi.
Adaptasi Sosial yang Lemah Menjadi Titik Awal Hikikomori
Fenomena Hikikomori ditandai dengan kurangnya kemampuan adaptasi sosial, sering dipengaruhi oleh pengalaman negatif yang mendorong individu membatasi interaksi untuk menghindari terluka.
Kemungkinan besar, individu tersebut memiliki pengalaman di masa lalu, ketika ia pernah disakiti oleh orang lain. Hal ini membuatnya lebih memilih untuk memberikan ruang atau menetapkan batasan dengan orang lain. Langkah ini diambil sebagai bentuk perlindungan diri agar tidak membuka peluang bagi orang lain untuk menyakiti dirinya lagi.
Kondisi ini semakin parah pada individu dengan kepribadian tertutup, yang merasa lebih nyaman dengan dirinya sendiri dan tidak tertarik untuk bersosialisasi. Dalam kondisi ekstrem, sikap ini dapat berkembang menjadi antisosial. Sering kali, mereka mengisolasi diri di kamar yang dianggap sebagai zona aman.
“Jadi memang merasa bahwa, areal yang bisa dikuasai itu adalah kamarnya atau rumahnya, yang dianggap ini safe bagi dia gitu loh. Ini daerah teritorial saya yang orang lain tuh tidak bakal bisa ganggu,” jelas Dewi.
Individu yang mengalami Hikikomori umumnya sudah memiliki masalah kecemasan. Hal ini dikarenakan memang kecemasan ini lah yang mendorong mereka untuk menarik diri dari kehidupan sosial sebagai bentuk perlindungan diri.
Kendati demikian, Hikikomori dinilai langkah yang salah. Hal ini dikarenakan dengan seiring waktu rasa kesepian yang ditimbulkan oleh Hikikomori ini akan berdampak buruk terhadap kesehatan mental individu itu sendiri. Dampak yang dimaksud dari ini adalah stress yang kronis serta depresi.
“Yang awalnya cemas, dia bisa jadi tambah stress atau bahkan depresi. Kenapa? Karena ternyata sisi kesepian dan meaningfulness tidak dia dapatkan” tegas Dewi
Dewi juga menyebutkan bahwa negara seperti Jepang dan Korea di mana kemandirian sangat didukung keluarga sebagai faktor fenomena Hikikomori. Kurangnya dukungan sosial membuat remaja menghadapi masalah, seperti perundungan, memilih mengurung diri tanpa memberi tahu keluarga.
“Dia enggak cerita, enggak apa-apa, enggak ada dukungan sosial. Dia tahu-tahu sudah kolaps saja di kos,” ungkapnya.
Dewi juga menyoroti perbedaan budaya dalam mendukung kesehatan mental. Menurutnya, negara-negara yang menekankan kemandirian mengalami gangguan psikologis lebih tinggi, dibandingkan di negara seperti Indonesia, di mana keluarga cenderung lebih suportif meskipun tetap ada tantangan, seperti tekanan sosial dari media.
“Peluang remaja itu (bermasalah) psikologisnya lebih tinggi, itu justru di negara-negara yang mandiri tadi yang memberikan ruang untuk bebas kepada remajanya gitu,” pungkasnya.
Peran Pola Pikir dalam Pembentukan Kebiasaan Hikikomori
Dewi mengatakan bahwa kunci utama seseorang tidak mengalami kondisi seperti Hikikomori terletak pada mindset atau pola pikir. Kebiasaan seseorang, termasuk kecenderungannya untuk menarik diri dari kehidupan sosial, berawal dari cara berpikirnya.
Misalnya, jika seseorang sering kali memiliki pemikiran bahwa orang lain dapat menyakiti atau tidak memahami dirinya, hal tersebut menimbulkan kebiasaan yang bisa berkembang menjadi Hikikomori, di mana individu mengisolasi diri sepenuhnya.
Namun, dengan pendekatan yang efektif seperti diskusi dan konseling, seseorang masih dapat diajak untuk merubah pola pikir tersebut. Dengan memahami alasan di balik perasaan mereka dan memberikan dukungan yang tepat.
“Bisa kita mengobrol dari mengobrol itu kita cari tahu apa sih yang dia pikirkan,” tuturnya.
Selain itu, dalam konteks psikologi perkembangan, terutama pada tahapan remaja akhir hingga dewasa awal, yaitu sekitar usia 20-30 tahun, kebutuhan akan keintiman menjadi sangat penting.
“Keintiman itu artinya ada orang lain yang support dia, memberikan rasa aman, kasih sayang, cinta, dan sebagainya,” tuturnya.
Penting bagi orang sekitar individu Hikikomori untuk mengenali gejala awal seperti ketergantungan pada gadget, berkurangnya komunikasi, atau isolasi sosial, agar pencegahan dapat dilakukan lebih cepat. Jika langkah ini gagal, konsultasi dengan psikolog atau psikiater sangat disarankan.
Ilustrasi:
Reporter: Putri Mg. | Editor: Azzahwa