Front Forward Muda Serukan Perlawanan Pelecehan Konstitusi dan Potensi Runtuhnya Demokratisasi
Merespons kekuatan rakyat yang semakin terpinggir, ketidakberdayaan konstitusional yang menjadi alat oligarki meraih kekuasaan, Front Forward Muda dan Mahasiswa Universitas Al-Azhar menyerukan sikap perlawanannya.
Aspirasionline.com – Front Forward Muda yang merupakan kelompok gabungan dari enam organisasi, terdiri dari Partai Hijau Indonesia, Bangsa Mahardika, Perempuan Mahardhika, Blok Pelajar Politik, Social Justice Indonesia, serta Universitas Al-Azhar Indonesia mengadakan konferensi pers dan konsolidasi aksi terbuka di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, pada Kamis, (22/9).
Konferensi pers dan konsolidasi aksi ini diadakan bertepatan dengan adanya momentum aksi demonstrasi untuk mengepung gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI).
Aksi tersebut dipicu dengan adanya layangan Revisi Undang-Undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sebelumnya.
Melihat itu, Juru Bicara Partai Hijau Indonesia, Delpedro Marhaen, segera mengambil sikap tegas dengan menyerukan sebuah perlawanan aksi besar-besaran yang akan dilaksanakan. Aksi ini dimotori dengan akumulasi kemarahan kaum muda kepada kaum tua yang dianggap mengacau.
“Kami menyerukan kepada mereka untuk sama-sama menyelamatkan masa depan anak muda dengan cara melawan tirani bernama Jokowi dan Prabowo. Oleh karena itu, tajuk seruan kami adalah bagaimana orang muda mengganyang Jokowi dan Prabowo,” tegas Pedro dalam pernyataannya di hadapan audiens pada Kamis, (22/8).
Rezim Pemerintahan Tuai Kritik Kekecewaan Kaum Muda
Front Forward Muda menemukan kegagalan pemerintah dalam sektor kesejahteraan perekonomian warga, khususnya pada kaum muda. Tercatat jumlah kaum muda yang menganggur sebanyak lebih dari 9 juta orang.
Tak hanya itu, dalam konferensi pers Front Forward Muda juga menyinggung upah pekerja Indonesia yang sebagian besar berada dibawah standar kelayakan.
Hal ini dilihat dengan adanya selisih besaran upah rata-rata pekerja dengan rata-rata Upah Minimum Provinsi (UMP). Pasalnya, terdapat selisih sebesar 600 ribu rupiah dalam perbandingan UMP dan gaji rata-rata para pekerja.
Ketidaksejahteraan tersebut pun banyak dirasakan terutama oleh kaum muda perempuan. Hal ini mencakup kesejahteraan ekonomi dan kesejahteraan keselamatan hidup.
Jihan Faatihah selaku perwakilan organisasi Perempuan Mahardhika menjelaskan bahwasannya sulitnya pengimplementasian Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Pelecehan Seksual (TPPS) dengan fokus utama pada orientasi ekonomi politik yang berbasis pada pembangunan dan investasi.
“Jokowi kemudian bertanggung jawab atas melanjutnya kemiskinan terhadap perempuan dan rakyat. Angka pengangguran dan angka PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) itu sangat tinggi saat ini 21 persen,” lanjut Jihan dalam penjelasannya pada Kamis, (22/8).
Karena orientasi ekonomi politik tersebut, Jokowi mengorbankan banyak hal, termasuk salah satunya adalah merusak pilar-pilar demokrasi.
“Dalam 10 tahun kita lihat, kriminalisasi perempuan pembela HAM (Hak Asasi Manusia) atau tidak hanya perempuan, tetapi juga mereka yang berjuang untuk haknya itu dengan mudah dikriminalisasi,” tukas Jihan.
Masih dalam kekecewaan yang sama, Syahdan Husein selaku perwakilan Bangsa Mahardika pun menyayangkan pemerintah yang dirasa mengasingkan dan bersikap kasar terhadap masyarakat mudanya.
“Melihat anak anak elit tersebut diberikan karpet merah oleh oligarki akan tetapi kami yang berjuang di sini diintimidasi, diteror, ditangkap dan saya berapa kali ditangkap polisi,” terang Syahdan pada Kamis, (22/8).
Lanjutnya, Syahdan juga menegaskan bahwa regu pemuda yang dibuat oleh pemerintah sama sekali tidak mewakilkan generasi muda.
“Ingin kita sampaikan bahwa Kaesang-Gibran itu bukan representasi dari kami penerus negeri,” tegasnya.
Pelecehan Konstitusional dalam Upaya Pelebaran Kekuasaan Rezim Jokowi
Berkaca melalui apa yang terjadi pada 5 tahun belakangan ini, Daffa Batubara selaku pihak Blok Politik Pelajar (BPP) merangkum segala bentuk keburukan sistem konstitusi Indonesia.
Melalui RUU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dirasa sebagai langkah mundur upaya melemahkan lembaga KPK, UU Cipta Kerja yang hanya dimanfaatkan oleh segelintir orang, sampai pada permasalahan dinasti politik yang diawali melalui Pilkada di Solo.
“Pemilu 2024 yang sama juga aktornya, yang sama ada Jokowi ada Gibran anaknya begitu. Kemudian hari ini Pilkada kembali ingin diakal-akali,” ujar Daffa pada Kamis (22/8).
Sama halnya dengan I Gede Oka Kertiyasa, perwakilan dari Social Justice Indonesia, yang menyampaikan bahwa adanya rencana penganuliran keputusan MK terkait Pilkada, menunjukan bukti bahwa memang terdapat adanya upaya pelecehan konstitusi.
“Jadi ada pelecehan terhadap konstitusi dan bisa dipastikan bahwa Jokowi, Luhut, Bahlil dan gerombolannya juga dinasti-dinastinya adalah penjahat konstitusi, adalah penjahat demokrasi,” tegas Oka pada Kamis (22/8).
Melihat pada kondisi kepemimpinan sekarang, yang menurun hanya kepada sanak famili, seorang Asisten Peneliti di Pusat Hukum Lingkungan Indonesia, Decmonth Pasaribu, merasa jargon Indonesia Emas 2045 hanyalah sebuah omong kosong belaka.
“Karena yang dimajukan untuk menjadi pemimpin-pemimpin muda saat ini adalah mereka yang melanjutkan sisa-sisa Orde Baru, sisa-sisa dinasti yang akan terus direproduksi sampai kita nanti menjadi tua,” ucap Decmonth dalam konferensi tersebut.
Ia menambahkan dengan adanya konsolidasi partai-partai besar hingga hanya menyisakan satu partai oposisi dirasa menjadi sebuah pertanda adanya rencana besar yang akan dilakukan oleh rezim berikutnya.
“Ada rencana yang lebih besar yang akan diwujudkan pemerintah rezim berikutnya. Bahkan, saya pikir akan mengubah konstitusi untuk memperpanjang masa jabatan itu bisa hidupkan kembali,” pungkas Decmonth.
Foto : Khaila Adinda
Reporter: Khaila Adinda| Editor: Syifa Aulia