Menanti Kesetaraan Gender di Lingkungan Kampus

Lintas Kampus

Harapan terwujudnya kesetaraan gender di lingkungan kampus Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dirasa mahasiswanya masih belum bisa tercapai. Hal ini yang melatarbelakangi urgensi diskusi publik mahasiswa ihwal kesetaraan gender di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) diselenggarakan.

Aspirasionline.com — Bertempat di Kampus A UNJ, Jakarta Timur, Study and Peace (SPACE), Solidaritas Pemoeda Rawamangun (SPORA), Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Didaktika, dan Gerakan Perempuan (Gerpuan) UNJ menyelenggarakan diskusi bertajuk “Pentingnya Kesetaraan Gender Dalam Lingkungan Pendidikan” pada Selasa, (18/2).

Director of SPACE, Noval Auliady, memberikan pemahaman perihal pengertian setara. Menurutnya, setara memilki arti bahwa semua orang memiliki hak yang sama, meliputi hak lahir dan hak hidup. Tidak adanya paksaan dalam menjalankannya dan diperlakukan yang sama oleh pemerintah, masyarakat, dan orang lain.

Ia menambahkan, kesetaraan berangkat dari konsep pikir seseorang yang memandang bahwa semua manusia harus dapat memanusiakan manusia. Selain itu, setara menurutnya adalah merdeka dengan pilihannya masing-masing, tidak mengganggu hak orang lain, tidak adanya diskriminasi dan paksaan.

“Mau setara dalam artian gender atau kesetaraan dalam artian apapun itu enak kalo semuanya sudah dipandang sebagai manusia,” ucap Noval sebagai pemantik.

Ia pun menyampaikan, ketidaksetaraan terjadi karena adanya anggapan bahwa perempuan itu memiliki kemampuan di bawah laki-laki. Menurut Noval, hal ini lahir karena ada beberapa tulisan yang menyatakan jika tidak ada Adam maka Hawa pun tidak ada. Ia juga beranggapan bahwa faktor utama dari terjadinya diskriminasi terhadap perempuan adalah patriarki.

“Dimana laki-laki selalu menjadi nomor satu,” jelasnya.

Selaras dengan pernyataan Noval, salah satu peserta diskusi mahasiswa UNJ Raka memberikan komentar mengenai kesetaraan yang sama.

“Kesetaraan gender itu isinya tentang memanusiakan manusia,” ujar Raka.

Penindasan Perempuan dan Praktik Ketidaksetaraan Gender

Disela-sela diskusi, para audiens juga diajak untuk meninjau kembali bagaimana hubungan laki-laki dan perempuan dalam suatu pekerjaan. Uly Mega Septian, anggota LPM Didaktika, menjelaskan bahwa sebagai manusia tidak bisa melepaskan kondisi saat ini dengan sejarah di masa lalu.

Menurutnya, pada zaman komunal primitif, perempuan dianggap mendominasi bidang ekonomi, dimana perempuan memiliki kemampuan yang lebih dibanding dengan laki-laki dalam mengefektifkan suatu ladang pekerjaan.  Lebih lanjut, ia juga mengatakan sebelum zaman komunal primitif yaitu zaman berburu, penindasan terhadap perempuan belum terlihat secara jelas, hal ini karenakan laki-laki dan perempuan melakukan pekerjaan secara bersama-sama.

Namun setelah zaman komunal primitif, yaitu zaman bercocok tanam mulai muncul pemikiran untuk mempertahankan barang milik pribadi yang kemudian kembali lagi ke zaman patriarkal yang di dalamnya terbentuk sistem-sistem keluarga.

“Jadi kalo kita melihat penindasan terhadap perempuan, kita tidak bisa lepas dari penindasan perempuan dan sejarahnya,” ujar Uly.

Diskusi ini juga membahas mengenai blur foto yang dilakukan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan (FMIPA) dan Fakultas Teknik (FT) UNJ yang akhir-akhir ini sedang hangat diperbincangkan dalam media sosial.

Anggota Space, Maudy Asmara, menilai blur foto tersebut telah mendiskriminasi dan menghilangkan eksistensi perempuan.

“Apa yang terjadi di BEM FMIPA dan FT adalah sebuah konstruksi sosial yang sengaja dibentuk dan dapat diubah,” ujar Maudy.

Maudy menyayangkan hal tersebut dapat terjadi di lingkungan kampus dari dulu hingga sekarang. Menurutnya, suatu organisasi seharusnya dapat mewadahi publik dengan latar belakang yang heterogen dan meninggalkan tendensi keagamaan.

Reporter : Suci Mg. | Editor : Fadhila Wijaya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *