Menelisik Gangguan Kesehatan Mental Pada Anak dan Remaja

Nasional

Yayasan Sayangi Tunas Cilik (YSTC) menggelar diskusi mengenai gangguan kesehatan mental pada anak dan remaja untuk mengedukasi dan meredam stigma gangguan mental di masyarakat.

Aspirasionline.com — Psikiater Nova Riyanti Yusuf mengatakan bahwa penyakit mental tidak hanya terjadi pada orang dewasa saja melainkan bisa terjadi sejak usia dini.

“Penyebab seorang anak terkena gangguan kesehatan mental atau depresi faktornya adalah biologi, psikologi dan sosial,” ujar Nova selaku pembicara pada diskusi yang diselenggarakan pada Jumat (6/12) di Gedung Arsip Nasional Republik Indonesia.

Diskusi ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman dan kepedulian orangtua tentang pentingnya kesehatan mental pada anak-anak. Selain Nova, diskusi ini dihadiri oleh pembicara lain, yaitu News Anchor Kompas TV Nitia Anisa, Deputy of Child Protection in KemenPPPA Nahar, serta Doodle Artist dan aktivis kesehatan mental Hana Madness.

Nova menyebutkan bahwa faktor utama penyebab depresi pada anak salah satunya karena anak tidak tahu bagaimana menghadapi masalah yang dialaminya.

‘’Belum tentu dari tiga anak misalnya diberikan satu masalah yang sama, mereka akan sama-sama mengalami depresi. Itu tidak juga,” kata Nova siang itu.

Ia menuturkan penyebab lainnya adalah kehidupan sosial, bisa dari latar belakang keluarga dan pola asuh yang membentuk karakternya. Turunan dari genetik pun bisa terjadi, yaitu adanya kelainan serotonin. Serotonin merupakan hormon yang dapat memberikan rasa nyaman dan senang.

Hal terberat dari gangguan mental atau depresi adalah keinginan untuk mati atau bunuh diri. Dari gambaran Nova, DKI Jakarta disebut sebagai melting pot yang mana adalah pencampuran berbagai kelas ekonomi, berbagai budaya, agama dan tradisi. Dari penelitiannya pada tahun 2018, terdapat 910 responden dengan hasil 13,8% mempunyai faktor resiko tinggi yaitu ide untuk bunuh diri.

“Sebanyak 5% yang punya ide serius mengakhiri hidupnya sebulan terakhir dengan rata-rata usianya yaitu 14-19 tahun dari penelitian yang dilakukan hanya di Jakarta,” ujar Nova.

Selain itu, Nova juga beranggapan perlu adanya pengajaran tentang problem solving skills (kemampuan memecahkan masalah). Menurutnya, hal ini mampu untuk membantu anak dalam upaya menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya sehingga dapat mencegah depresi dini.

Pengelola Save Children Indonesia Yanti mengatakan bahwa upaya pencegahan depresi pada anak haruslah dimulai dari diadakannya semacam psychologycal first aid atau pertolongan pertama psikologis di sekolah. Bimbingan Konseling (BK) di sekolah harus dapat membantu siswa untuk mengembangkan potensi dirinya atau memecahkan permasalahan yang dialaminya. Namun, yang terjadi hanya fokus kepada permasalahan pendidikan siswa saja, bukan pada pribadi siswanya.

“Banyak guru BK yang ada di sekolah saat ini lebih terfokus pada bimbingan karir siswa bukan untuk konseling dan keresahan diri para siswa,” ujar Yanti.

Aktivis Kesehatan Mental Hana Madness mengatakan jika seseorang sedang mengalami depresi, mereka sangat memerlukan adanya orang lain yang bisa mendengarkan keluh kesah yang sedang dialami. Di saat seseorang sedang merasakan banyak masalah, ia butuh teman yang bisa setia menemani dan mendengarkannya, baik itu dari keluarga, kerabat atau sahabat.

Hana juga menuturkan bahwa peran orangtua sangatlah besar dalam penyelesaian masalah pada anak.

“Peran orangtua sangatlah penting dalam membantu penyelesaian masalah anak. Karena jika anak merasa nyaman maka mereka akan bercerita ke orangtuanya,” ujar Hana

Pemerintah pernah menyediakan layanan telepon (hotline) pencegahan bunuh diri di nomor 500-454. Namun upaya ini tidak bertahan dalam jangka waktu lama.

Nova pun mengatakan bahwa hotline itu sudah tidak berfungsi kembali sejak beberapa tahun lalu. Sebab, layanan itu hanya bisa sekedar mendengarkan saja permasalahan yang dihadapi penelepon, tidak bisa melakukan kontrol sehingga kurang efektif. Jika memang depresi yang dialami penelepon sudah berada di tingkat tinggi dan butuh penanganan khusus, biasanya langsung diberikan arahan untuk ke psikiater.

“Kalau lewat telepon tidak cukup, bisa diarahkan untuk ke website atau dokternya. Jadi hotline itu bisa untuk mengarahkan dan bisa menjadi pertolongan pertama psikologis. Kalau memang tidak cukup, baru di rujuk,” jelas Nova.

Nova mengungkapkan, kesehatan mental kini masih banyak mengandung stigma di masyarakat. Faktornya antara lain seperti kurangnya edukasi dan pengaruh budaya ketimuran yang masih dirundung kepercayaan akan hal gaib.

“Karena memang banyak orang menganggap gangguan jiwa itu seperti bukan gangguan fisik. Masih dianggap seperti keserupan, santet, pelet atau sedang baper dan galau saja,” kata Nova.

Nova juga menyebutkan masih banyak yang belum mengetahui bahwa gangguan jiwa merupakan gangguan kesehatan juga. Maka dari itu, perlu dilakukan gencarnya edukasi dan pemahaman kepada masyarakat.

Reporter: Virgie Mg. |Editor: Yurri Nurnazila

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *