Ketidakadilan terhadap dosen ASN kembali mencuat seiring dengan tertundanya pencairan tukin di bawah Kemendiktisaintek sejak tahun 2020. Proses birokrasi yang berbelit-belit memperparah situasi, menimbulkan kegelisahan di kalangan dosen ASN yang merasa hak-hak mereka tidak dipenuhi oleh pemerintah.
Aspirasionline.com – Isu ketidakadilan pemerintah di lingkungan pendidikan terjadi lagi khususnya terhadap dosen berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) tercatut ketika Tunjangan Kinerja (Tukin) dosen ASN di lingkungan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) mandek sejak tahun 2020 sampai 2025.
Tidak cairnya tukin dosen ditengarai oleh tafsir pemerintah terhadap Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 49 Tahun 2020 tentang pemberian tukin di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Dalam Permendikbud No. 49, tidak ada penyebutan khusus mengenai dosen dalam teknis pembayaran tukin. Hal tersebut menjadi dasar bagi pemerintah untuk menafsir bahwa dosen bukan bagian dari pegawai.
Wakil Ketua Aliansi Dosen ASN Kemendiktisaintek Seluruh Indonesia (ADAKSI), Anggun Gunawan mengungkapkan bahwa meskipun dosen memiliki Nomor Induk Pegawai (NIP) dan rutin melaporkan bukti kinerja, kementerian tetap menihilkan tukin untuk dosen ASN.
“Kata mereka (pemerintah) di Permendikbud 49 itu, dosen bukan pegawai katanya. Jadi, sudah beberapa kali kita mendengar dari Sekretaris Jenderal (Sekjen) kementerian, ‘Kalian itu bukan pegawai,’” ungkap Anggun saat diwawancarai reporter ASPIRASI pada hari Rabu, (19/3).
Masalah lain juga terjadi ketika dikeluarkannya Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan (Kepmendikbud) No 447/P/2024 yang berisi nominal tunjangan kinerja dosen berdasarkan kelas jabatan sebelum Mendikbud Nadiem Makarim lengser dinilai tidak sah oleh Kemendiktisaintek.
Pencairan tukin dari peraturan tersebut yang seharusnya efektif mulai tahun 2025 dibatalkan oleh Kemendiktisaintek dengan anggapan Kepmendikbud No 447/P/2024 sebagai kecacatan hukum karena tidak adanya koordinasi dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) serta tidak adanya ajuan anggaran yang dilakukan untuk tukin tersebut.
“Argumentasi dari kementerian yang baru ini (Kemendiktisaintek), mereka mengatakan bahwasannya Nadiem tidak mengajukan anggaran untuk tukin dosen ini,” ujar Anggun.
Tertunda Lagi, Dosen ASN Keluhkan Lambatnya Pencairan Tunjangan Tukin
Semrawutnya birokrasi dalam pencairan tukin memicu protes kritis karena berdampak pada kesejahteraan dosen ASN.
Ahmad, salah seorang dosen Politeknik Maritim Negeri Indonesia Semarang mengatakan bahwa ada dua tuntutan yang didorong kepada Kemendiktisaintek. Pertama, memberi tukin untuk seluruh dosen ASN tanpa terkecuali. Kedua, bayarkan hutang tukin sejak 2020 sampai 2024.
“Yang pertama itu tukin for all, berikan tunjangan kinerja kepada semua dosen ASN Kemendiktisaintek, tanpa terkecuali, semuanya harus dapat. Yang kedua, kita menuntut juga, sejak 2014 UU ASN yang mengamanatkan ada tunjangan kinerja, tetapi dosen ASN Kemendiktisaintek itu selalu dikecualikan. Sehingga kita tidak pernah memperoleh pun tunjangan dia,” ujar Ahmad kepada reporter ASPIRASI pada Sabtu, (22/3).
ADAKSI, bersama dengan Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Brian Yuliarto telah melakukan audiensi tanggal 11 Maret 2025. Dalam audiensi Brian mengungkapkan bahwa pencairan tukin masih menunggu penandatanganan Peraturan Presiden (Perpres) oleh Prabowo Subianto, yang diajukan oleh Mendiktisaintek terkait pencairan tukin dosen ASN.
Di samping itu, meskipun tidak disetujui secara penuh, Mendiktisaintek telah mengajukan anggaran kepada Kemenkeu sebesar 10 Triliun untuk tukin dosen, akan tetapi yang disetujui oleh Kemenkeu hanya 2.5 Triliun, mencakup hanya sekitar sepertiga dari total dosen.
Meskipun jauh dari tuntutan, Ahmad menilai bahwa rencana pemerintah dalam pencairan tukin dosen diperlukan sebagai langkah awal dalam memastikan kesejahteraan dosen.
“Misalnya kalau yang ada itu hanya 2,5 Triliun, ya itu yang dicairkan dulu. Sebagai komitmen kalau pemerintah itu benar-benar serius terhadap kesejahteraan dosen, terutama tunjangan kinerja dosen,” ungkap Ahmad.
Ahmad melanjutkan, apabila rencana tersebut hanya angin segar belaka dan tukin tahun 2025 tidak diberi kepada pada dosen, aliansi dosen akan menggugat pemerintah atas pengabaian hak dosen atau warga negara.
“Kita tentu akan tempuh jalur yang lebih kompleks atau lebih keras melalui jalur hukum. Kita akan gugat bahwa ada pengabaian negara terhadap hak-hak dosen atau hak-hak warga negaranya yang tidak pernah dibayarkan sejak tahun 2020,” tegas Ahmad.
Dampak Tukin yang Tidak Cair terhadap Kesejahteraan Dosen ASN
Sejak tahun 2014, Undang-Undang No 5 tahun 2014 telah mengatur dua hak bagi ASN, yaitu tukin dan tunjangan kemahalan bagi ASN yang bertugas di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, terluar).
Namun, kurang jelasnya aturan turunan dalam undang-undang tersebut berujung pada pengecualian dosen ASN untuk mendapatkan hak fundamental mereka, yakni tukin.
Selain itu, Anggun juga menyoroti dua bentuk ketidakadilan yang dialami dosen ASN. Seperti adanya kesenjangan dalam pemberian tunjangan antara dosen ASN dengan tenaga kependidikan (tendik) seperti staf administrasi.
Meski memiliki kualifikasi pendidikan lebih tinggi, gaji dosen justru lebih rendah dibandingkan tendik. Kondisi ini menciptakan paradoks dalam sistem penggajian di lingkungan perguruan tinggi.
Ditambah, Anggun mengatakan, penerimaan tukin hanya berlaku bagi yang berada di Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH) atau Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum (PTN BLU) melalui skema remunerasi atau kompensasi berbasis pendapatan internal. Sementara itu, kampus berstatus Satuan Kerja (Satker) atau BLU non-remunerasi masih bergantung sepenuhnya pada pemerintah.
Anggun juga mengkritisi skema pencairan tukin dosen ASN bersumber dari remunerasi ini yang menyebabkan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di PTN BH dan PTN BLU cenderung tinggi.
“Dan itu kalau dia (Perguruan Tinggi) punya pendapatan yang besar, otomatis nanti dosennya juga akan mendapatkan pendapatan yang besar. Cuma persoalannya itu adalah kita melihat pola seperti ini merupakan bentuk dari lepas tangan negara, jadi dalam artian mereka biarkan kampus untuk mencari duitnya sendiri,” ungkap Anggun.
Kendati kemudian, dengan gaji pokok rata-rata yang masih kurang dari Upah Minimum Regional (UMR), dosen ASN yang berada dibawah Kemendiktisaintek terpaksa untuk mencari penghasilan dengan cara lain.
Menurut Ahmad, tidak cairnya tukin memiliki dampak sangat besar terhadap dosen ASN. Ahmad menilai bahwa secara kesejahteraan masih sangat jauh dari kata layak dan dapat berpengaruh terhadap kinerja dosen ASN.
“Mulai dari demotivasi para dosen dalam melakukan Tridharma, mengajar menjadi tidak begitu semangat, kemudian meneliti juga dapat biaya dari mana dengan take home pay penghasilan di bawah 4 juta tapi dituntut untuk publikasi scopus yang biayanya itu bisa sampai puluhan juta,” tutur Ahmad.
Sependapat dengan Ahmad, Anggun mengungkapkan, banyak dosen ASN menambah penghasilan seperti menjadi dosen di kampus lain, mengajar les, hingga menjadi driver ojek online (Ojol) yang menyebabkan banyak dosen tidak fokus di kampus utama mereka.
Diungkapkan oleh Anggun, ironi dosen ASN antara lain mencakup praktik manipulasi yang terpaksa dilakukan rekan sesama dosen untuk menambah penghasilan sekaligus bertahan hidup di tengah ketiadaan jaminan kesejahteraan dari negara.
“Contoh, misalnya manipulasi untuk proposal penelitian. Karena di proposal penelitian itu kita tidak boleh memasukkan honor. Tapi kan kita meneliti, kita bekerja. Sehingga pada akhirnya ada beberapa item anggaran itu yang kita mark up,” ungkap Anggun.
Gambar: Calista Mg. / ASPIRASI
Reporter: Calista Mg. | Editor: Ihfadzillah Yahfadzka