Emotional Eating: Keterikatan Antara Emosi dan Nafsu Makan

Forum Akademika

Emotional eating, khususnya overeating merupakan bentuk pemindahan emosi seseorang dengan makanan sebagai objek yang paling mudah dijangkau.

Aspirasionline.com – Sebagai respon terhadap emosi, tubuh memiliki cara sendiri untuk meredakan perasaan lewat berbagai bentuk. Salah satunya adalah emotional eating, dimana makanan menjadi jawaban terhadap emosi seseorang. 

Dalam artikel penelitian “The Eating and Appraisal Due to Emotions and Stress (EADES) Questionnaire: Development and Validation” oleh Ozier dan kawan-kawan (2007), emotional eating mengacu pada keadaan ketika makan menjadi coping mechanism seseorang dalam mengatasi emosi dan stres dengan cara makan berlebih (overeating) atau mengurangi asupan makanan (undereating). Mengonsumsi makanan diyakini dapat mengontrol suasana hati, sedangkan koping merujuk pada upaya untuk mengelola emosi yang memberatkan seseorang.

Hal tersebut selaras dengan pernyataan Adinda Cut Qonita Dosen Psikologi Universitas Gunadarma yang menyebut konsep stress eating dan emotional eating merupakan hal yang sama, hanya perbedaan penggunaan istilah bagi sebagian orang.

“Alasan mengapa emotional dekat hubungannya dengan stress karena emotional eating ditimbulkan atau dipicu oleh stres, stres seseorang membuat dia pengen makan, atau justru gak pengen makan sama sekali, nah itu lah yang namanya emotional eating,” ujar dosen yang akrab disapa Acut kepada ASPIRASI pada Minggu, (26/11/2023). 

Lebih lanjut, Acut menyatakan emotional eating tidak tergolong ke dalam masalah mental. Namun, jika emosi stres seseorang terus menerus meningkat, kondisi tersebut dapat mengarah ke depresi dan masalah mental lain. 

Peran Hormon Stres dalam Emotional Eating

Berbeda dengan makan secara impulsif yang datang saat makanan berada di depan mata, emotional eating datang dilandasi oleh tubuh yang mengalami stres.

Acut menilai tubuh manusia memiliki hormon kortisol, atau yang biasa disebut juga dengan hormon stres. Ketika seseorang mengalami tekanan, hormon kortisol pada tubuh meningkat dan memberi sinyal pada otak yang kemudian merangsang hipotalamus di dalam otak.  

“Kita punya hipotalamus yang bikin kita pengen makan. Nah, biasanya kan kita makan kalau kita lapar ya, tapi kalau misalkan kita lagi stres tuh ternyata juga muncul sinyal-sinyal lain yang kayak ‘makan aja ah,’ atau segala macam, begitu,” jelas Acut.

Di sisi lain, perasaan ingin makan erat kaitannya dengan makanan manis sebagai opsi saat seseorang mengalami emotional eating. Sebagaimana yang dituturkan oleh Dosen Gizi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta, Avliya Quratul Marjan menyebut makanan manis dapat diserap cepat oleh tubuh dalam selang waktu dua jam.

“Nah, itu akan mempercepat rasa kenyangnya sehingga dia ingin makan terus menerus, jadi kenyangnya sebentar saja, terus lapar,” tutur dosen yang akrab disapa sebagai Ajan kepada ASPIRASI pada Senin, (27/11/2023).

Tersorotnya overeating dibandingkan dengan undereating berakar pada secara general mindset masyarakat terbentuk bahwa makan dapat mengurangi stres. 

Ajan, sebagai ahli gizi menjelaskan, overeating diyakini meningkatkan kadar glukosa darah dengan cepat, kemudian terlalu tinggi glukosa darah akan memperparah kerja dari hormon insulin yang terlalu lelah untuk menurunkan glukosa darah dan akan berdampak pada obesitas atau kondisi gizi lebih. 

Hal itulah yang menyebabkan overeating lebih tersorot dan membuat undereating luput dari keprihatinan. 

“Bahayanya adalah si undereating ini, yang nggak terlalu diperhatiin orang, jadi kadang orang ngerasanya ‘oh ini kurusan aja nih lagi nggak nafsu makan’, tapi sebenarnya dia ada masalah,” lanjutnya.

Sama-Sama Dipengaruhi Lingkungan, Emosi Dapat Dikendalikan dengan Alternatif Lain

Lingkungan tentunya memiliki andil terhadap sifat dan kondisi seseorang, begitu pula dengan emotional eating. Ketika kita merasa stres dan cenderung mengalami overeating atau undereating, Acut dan Ajan sepakat bahwa kegiatan positif dapat dijadikan sarana untuk meredakan emosi seseorang.

Sebagai contoh, membuat jurnal atau mendengarkan musik bisa membantu mengurangi stres tanpa perlu melibatkan makanan. 

Jika kita merasa ingin makan berlebihan, kita bisa mengurangi makanan manis dan memilih makanan yang lebih baik seperti sayuran, buah, dan makanan tinggi protein agar membantu menjaga tubuh tetap sehat.

“Jadi memang satu lingkungan yang positif itu sangat penting bagi kehidupan seseorang, tidak hanya pada prestasi tetapi nanti ke produktivitas ke masa yang akan datang,” ulas Ajan mengakhiri sesi wawancara hari itu.

 

Foto: astersprings.com

Reporter: Ihfadzillah Mg. | Editor: Maulana Ridhwan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *