Aksi May Day 2024: Tuntutan Pekerja Buruh Di Tengah Provokasi Kepolisian
Serikat dan aliansi buruh dari berbagai sektor pekerjaan melakukan aksi unjuk rasa dalam memperingati Hari Buruh Internasional 2024 dengan mengepung Bundaran HI, Jakarta Pusat.
Hari Buruh Internasional yang tahun ini jatuh pada Rabu, (1/5), kembali membangkitkan semangat para pekerja dari berbagai sektor dalam memperjuangkan hak-hak mereka yang sampai saat ini masih terpinggirkan dengan melakukan aksi turun ke jalan. Aksi ini dilakukan dengan melakukan long march dari arah Tugu Tani, Dukuh Atas, dan gedung Bawaslu RI sampai ke Bundaran HI.
Berbagai serikat dan aliansi seperti Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Perempuan Mahardhika, Serikat Pekerja Kampus, Aliansi Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK), mahasiswa, jurnalis, dan lapisan masyarakat lainnya berkumpul bersama-sama untuk merayakan kebebasan mereka.
Ketua Umum SINDIKASI, Ikhsan Raharjo menegaskan urgensi dilakukannya aksi selain sebagai bentuk peringatan Hari Buruh juga untuk mengangkat permasalahan utama yang dirasakan para pekerja, khususnya pekerja media dan industri kreatif yang masih kurang mendapat perhatian.
“Khususnya dalam 2 periode pemerintahan Presiden Jokowi, pemerintahan tidak sama sekali memperhatikan kepentingan pekerja media dan industri kreatif dalam strategi pemajuan kebudayaan, dalam kebijakan pengembangan ekosistem seni dan budaya, kemudian kreatif dan media,” seru Ikhsan saat diwawancarai oleh ASPIRASI pada aksi May Day, Rabu, (1/5).
Kelayakan Upah dan Standar Pekerjaan Menjadi Tuntutan yang Disuarakan
Setelah resmi disahkan, nyatanya Undang-Undang (UU) Cipta Kerja tidak lepas dari tuntutan dan polemik yang melanda. Pasalnya, UU yang secara substansi merampas hak-hak dasar seluruh kelas pekerja ini juga semakin menambah keterpurukan pekerja, terutama pada sektor media, industri kreatif, dan sejenisnya.
SINDIKASI menyimpulkan bahwa pekerja-pekerja yang berada dalam hubungan kerja non-standar, seperti freelancer, ojek online, konsultan, dan lain sebagainya, masih mengalami situasi rentan yang disebut flexploitation (flexible and exploitation).
“Umumnya, freelancer itu menghadapi jam kerja yang sangat panjang. Data dari pemerintah menyebutkan 29-30% pekerja kreatif di Indonesia mengalami overwork (kelebihan kerja). Kemudian yang kedua, minim jaminan sosial,” jelas Ikhsan.
Lebih lanjut, Ikhsan menuturkan, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa upah pekerja ekonomi kreatif rata-rata di Indonesia sejumlah Rp2,2 juta per bulan. Angka itu lebih kecil daripada angka rata-rata upah minimum provinsi se-Indonesia, bahkan masih lebih kecil dibanding upah dari rata-rata buruh di semua sektor.
Lebih lanjut, beberapa tuntutan yang didesak oleh Dewan Pengurus Nasional SINDIKASI, diantaranya:
- Pemerintah agar mengakui keberadaan 7,2 juta pekerja ekonomi kreatif serta memasukkan aspek kesejahteraan pekerja dalam strategi pemajuan kebudayaan, pembangunan ekosistem media, dan pengembangan ekonomi kreatif;
- Pemerintah agar memberi perlindungan hukum khusus dan kesempatan yang sama bagi freelancer dalam menggunakan hak konstitusinya untuk berserikat serta melakukan perundingan di industri media dan kreatif;
- Pemerintah agar mengevaluasi praktik pemagangan secara menyeluruh dan meningkatkan perlindungan bagi pekerja magang terutama di sektor media dan industri kreatif;
- Pemerintah agar mencabut Undang-Undang Cipta Kerja yang telah terbukti merugikan kelas pekerja;
- Pemerintah agar meratifikasi Konvensi International Labour Organization (ILO) 190 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja serta mendorong pembuatan aturan turunan Undang- Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Tidak berhenti sampai di situ, Serikat Pekerja Kampus (SPK) yang baru saja terbentuk pada 17 Agustus 2023 lalu juga ikut menyuarakan tuntutannya pada May Day kali ini.
“Dengan adanya UU Cipta Kerja justru itu melegitimasi bentuk-bentuk pekerjaan ataupun status pekerjaan yang lebih fleksibel, misalnya outsourcing, terutama status-status pekerjaan yang sifatnya lebih temporer dan mungkin kedepannya kita akan melihat tendensi yang seperti itu,” jelas Hariati Sinaga selaku Sekretaris Jenderal (Sekjen) SPK kepada ASPIRASI pada Rabu, (1/5).
Lebih lanjut, Hariati menyampaikan bahwa secara khusus pada May Day kali ini SPK berharap dapat terus bebas berserikat, karena sampai saat ini SPK belum juga diakui sebagai suatu serikat.
“Ini kesempatan pertama untuk Serikat Pekerja Kampus menyampaikan aspirasinya. Terutama salah satunya karena Serikat Pekerja Kampus saat ini masih belum dapat mencatatkan sebagai Serikat” ungkapnya.
Massa Aksi Dihadang Aparat Kepolisian
Massa aksi telah memenuhi titik kumpul aksi dari arah Dukuh Atas sekitar pukul 10.00 WIB, namun long march baru berlangsung sekitar pukul 11-12 siang. Keterlambatan tersebut diakibatkan masih menunggu massa aksi lain yang terus berdatangan.
Selain itu, massa aksi juga sempat dihadang oleh pihak kepolisian lantaran dianggap tidak memiliki izin dan menyebabkan kemacetan karena terlalu lama menunggu massa lainnya.
Selama upaya penghadangan oleh aparat kepolisian, pihak KASBI, kuasa hukum, dan juga beberapa perwakilan dari lembaga hukum lainnya berusaha untuk terus bernegosiasi terkait izin agar mereka dapat melanjutkan aksi.
Padahal, menurut keterangan Ketua Bidang Advokasi & Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Zainal Arifin, berdasarkan UU Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan atau Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, aksi demonstrasi itu tidak membutuhkan izin.
“Gak perlu izin karena itu hak konstitusional. Adanya pemberitahuan, pemberitahuan itu dalam rangka untuk polisi ikut memberikan pengamanan terhadap orang-orang,” ungkap Zainal kepada ASPIRASI pada Rabu, (1/5).
Reporter: Anju Mg, Calvin Mg | Editor: Rara Siti