Polemik Wacana Sistem Pemilu Proporsional 2024: Antara Terbuka dan Tertutup
Pengadopsian kembali sistem Pemilu proporsional tertutup dinilai mencederai demokrasi karena tidak transparan dan sarat akan kepentingan.
Aspirasionline.com – Tak terasa tahun 2024 akan segera tiba, tahun di mana rakyat Indonesia akan berpartisipasi dalam pesta demokrasi melalui Pemilihan Umum (Pemilu) dengan sistem proporsional.
Menurut Dosen Hukum Tata Negara Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta (UPNVJ) Syamsul Hadi, sistem proporsional adalah sistem pemilihan lembaga legislatif yang berbasis pada keberimbangan perbandingan antara jumlah penduduk dan jumlah kursi anggota di daerah pemilihan.
“Jadi jumlah kursi di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) itu tergantung jumlah penduduk kita,” jelas Syamsul saat ditemui ASPIRASI pada Kamis, (16/2).
Ada dua jenis sistem Pemilu proporsional, yaitu terbuka dan tertutup. Saat ini, Indonesia sedang menerapkan sistem proporsional terbuka yang diadopsi sejak tahun 2004. Sistem dimana rakyat mendapatkan hak untuk memilih calon wakil rakyat dan pemimpin secara langsung.
Seorang peneliti senior Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Heroik Mutaqin Pratama atau biasa disapa Heroik, juga menyatakan pendapatnya mengenai sistem Pemilu proporsional terbuka dan tertutup.
“Terbuka tertutup itu adalah sistem Pemilu. Sistem Pemilu ini adalah sederhananya perlu kita maknai sebagai variabel teknik yang bertugas untuk mengonversi suara,” ucap Heroik kepada ASPIRASI pada Selasa, (21/2).
Wacana Sistem Proporsional Tertutup Pemilu 2024 Dinilai Tidak Transparan
Semangat dalam menyambut Pemilu 2024 telah menyala, bahkan sebelum menginjakkan kaki di tahun tersebut. Mulai dari gagasan calon presiden, sampai kampanye partai telah muncul ke permukaan publik yang memicu api semangat bagi rakyat Indonesia.
Berbagai kontroversi pun muncul, terutama ketika sistem Pemilu saat ini, sistem proporsional terbuka, telah diwacanakan untuk diganti dengan sistem proporsional tertutup. Upaya perubahan sistem Pemilu di Indonesia dari proporsional terbuka menjadi tertutup ramai diperdebatkan menjelang Pemilu 2024 yang hanya tersisa kurang dari satu tahun.
Syamsul kemudian menyebut bahwa sistem proporsional tertutup secara definisi tidak jauh berbeda dengan sistem proporsional terbuka. Yang menjadi perbedaan adalah pemilih hanya dapat memilih partai politik secara keseluruhan dan tidak dapat memilih kandidat.
“Kalau terbuka, Pemilu legislatif, kita tahu calon yang kita pilih, ada gambarnya. Kalau tertutup, tidak ada nama-nama kandidatnya, nyoblos gambar atau lambang partai aja,” jelas Syamsul.
Selaras dengan Syamsul, Maghreza Surya, seorang politisi muda mendefinisikan sistem proporsional tertutup dengan letak perbedaan sistem di mana pemilih tidak dapat memilih kandidat secara langsung.
Hal tersebut, kata Maghriza, akan membuat masyarakat tidak mengetahui dan tidak adanya transparansi dari partai politik terkait calon yang diajukan menjadi wakil rakyat.
“Jadi perbedaannya adalah proporsional terbuka yang dipilih adalah orangnya, sedangkan proporsional tertutup yang dipilih adalah partainya,” ungkap Maghreza saat dikonfirmasi ASPIRASI pada Minggu, (19/2).
Hal ini, kata Syamsul lagi, tentunya menjadi tanda tanya di benak masyarakat ketika akan memilih calon kandidat. Pasalnya, masyarakat tidak benar-benar mengetahui siapa kandidat yang mereka pilih jika sistem Pemilu dilaksanakan secara proporsional tertutup.
“Masyarakat jadi bingung kalau cuma nyoblos lambang partai, tidak mencoblos nama kandidat padahal itu wakil kita,” ulas Syamsul.
Perbedaan kedua terletak pada metode penetapan calon terpilih yang memiliki hak untuk duduk di kursi legislatif. Heroik menyampaikan, dalam sistem proporsional tertutup, basis penentuan calon terpilihnya berdasarkan nomor urut kandidat dari daftar yang telah disiapkan oleh partai. Berbeda dengan sistem terbuka yang bergantung pada suara terbanyak yang diperoleh kandidat.
Lebih lanjut, Heroik juga menegaskan bahwa sebelum memilih sistem Pemilu yang tepat, harus terlebih dahulu memperbaiki mekanisme rekrutmen dan pengelolaan partai politik agar demokratisasi di dalamnya semakin terlihat. Hal ini dapat membantu memastikan bahwa proses Pemilu berlangsung dengan adil dan transparan.
“Kalau kemudian kita mau beralih ke proporsional tertutup tanpa ada ketentuan demokratisasi partai, tanpa ada mekanisme rekrutmen yang transparan, demokratis, dan juga pelibatan partisipasi publik dalam proses rekrutmennya, itu justru akan berdampak buruk terhadap proses demokrasi di Indonesia,” tegas Heroik.
Namun, bagi Syamsul, mengubah sistem Pemilu yang akan diterapkan di tahun 2024 adalah pilihan yang tidak realistis karena untuk mengubah sistem Pemilu, banyak rangkaian dan tata cara yang harus dilalui sedangkan kita sudah setengah jalan melakukan sosialisasi Pemilu.
“Kalau permohonan di Mahkamah Konstitusi dikabulkan, bisa saja, masih ada 12 bulan. Waktunya cukup, cuma memang KPU (Komisi Pemilihan Umum) harus sosialisasi lagi, harus merubah mindset lagi, dan menambah anggaran lagi kan?” tutur Syamsul.
Mahasiswa dan Masyarakat dalam Pusaran Sistem Pemilu
Suara yang terhitung saat Pemilu nanti tentunya tidak terlepas dari suara masyarakat yang memilih. Efi Susanti yang sehari-hari bekerja sebagai pedagang warung mengatakan, sistem Pemilu tertutup memiliki kekurangan yang mengakibatkan pemilih tidak mengenal calonnya karena hanya terdapat logo partai pada kertas suara.
“Kalau kita sih rakyat biasa pastinya mengikuti pemimpin. Tapi sih lebih baik yang terbuka ya, jadi rakyat bisa mengenal langsung siapa tujuan yang dipilih, visi misinya, dan orangnya,” ungkap Efi pada Jumat, (24/2).
Di sisi lain, mahasiswa sebagai salah satu dari aktor penggerak dalam fenomena sosial dan politik, pasti tidak menutup mata akan Pemilu 2024 mendatang. Kontroversi wacana sistem Pemilu memantik suara dari Hansel, salah satu Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UPNVJ.
Menurut Hansel, mengadopsi sistem proporsional tertutup dapat menimbulkan distorsi demokrasi yang sedang dinikmati saat ini dan dengan sistem proporsional tertutup, kita dapat mencederai demokrasi itu sendiri.
“Kalau kita bener-bener menjalankan demokrasi, untuk memilih atau mencalonkan diri sebagai pejabat seharusnya tunjukan diri dulu nih nanti baru kita nilai kepantasannya,” ujar Hansel kepada ASPIRASI pada Jumat, (17/2).
Namun, Hansel menyayangkan masih banyak mahasiswa yang menutup mata terhadap fenomena sosial dan politik di Indonesia. Padahal, katanya, mahasiswa merupakan calon intelek serta jembatan bagi masyarakat dan aparatur negara.
“Jadi kalau mahasiswanya cuek, siapa lagi?” tutup Hansel.
Ilustrasi: Canva.com
Reporter: Rina Rustanti, Verena Nisa | Editor: Nayla Shabrina.