Manusia Bermuka Dua Pada Analisis Youtube Jerome Polin Sijabat
Kehadiran sosial media yang semakin menjadi, sangat penting dalam memberikan perubahan dalam dinamika sosial. Pun sosial media dapat menjadi wadah berekspresi bagi setiap penggunanya, juga mempermudah manusia untuk saling bertukar pesan tanpa berinteraksi tatap muka.
Aspirasionline.com — Pada masa pandemi saat ini, budaya tatap muka sudah mulai mengalami transisi dengan pertemuan secara virtual. Sehingga menciptakan realitas baru bahwa media sosial menjadi suatu budaya baru sebagai media sumber informasi, media bertukar pesan, hiburan dan bahkan dapat menjadi sumber pendapatan. Namun, penggunaan media sosial yang terlalu berlebih dapat menjadi sumber permasalahan, karena menimbulkan dampak kecanduan sosial media. Banyaknya informasi yang diterima pun memberikan ambiguitas dalam mencari suatu kebenaran terhadap fakta.
Berdasarkan data We are Social yang bekerja sama dengan Hootsuite dalam laporannya bertajuk Digital 2021, Indonesia tercatat ke dalam 10 besar negara yang kecanduan media sosial. Hasil riset yang diterbitkan pada 11 Februari 2021 pun menunjukkan, penduduk Indonesia menghabiskan tiga jam 14 menit per harinya untuk mengakses media sosial.
Keaktifan masyarakat Indonesia dalam bermedia sosial sebanyak 170 juta jiwa dari 274,9 juta penduduk Indonesia. Dengan urutan pertama media sosial yang paling sering digunakan di Indonesia ialah Youtube dengan persentase 93,8%. Dan pengguna teraktif didominasi oleh generasi Z atau biasa disebut generasi millennial dengan rentang usia 25-34 tahun.
Generasi millennial menggunakan sosial media sebagai “wajah” berekspresi dimata publik. Sosial media memberikan kebebasan kepada setiap penggunanya untuk membagikan, melihat dan memberi tanggapan satu sama lain sesama penggunanya. Wajah yang ditampilkan dalam media sosial merupakan ekspresi yang hanya diinginkan si pengguna bagikan kepada publik.
Hal ini membuat manusia menjadi bermuka dua. Diartikan sebagai manusia dapat berekspresi sebagaimana ia ingin diterima dalam sekitarnya maupun lingkup yang lebih luas. Pernyataan ini diasumsikan dalam Face Negotiation Theory.
Pada Face Negotiation Theory yang dikembangkan oleh Stella Ting Toomey 1988, mendefinisikan bahwa wajah merupakan identitas, persona yang dijaga dalam masyarakat citra publik. Wajah juga sebagai bentuk mengekspresikan diri sendiri dalam masyarakat yang dimana keragaman budaya juga sangat mempengaruhi seseorang melakukan suatu komunikasi.
Maka hal ini juga dikaitkan dengan adanya identitas sosial yang pasti dimiliki oleh seseorang sejak ia lahir hingga meninggal. Lantas semakin berkembangnya media sosial, maka semakin banyak pula orang yang menginginkan ketenaran melalui konten akun sosial media. Sehingga melupakan adanya batasan dan lunturnya identitas sosial yang dimiliki.
Setiap negara memiliki perbedaan budaya yang mempengaruhi “wajah” dalam komunikasi. Maka penting kesantunan dalam berkomunikasi dengan lingkungan yang baru. Hal inilah yang dilakukan oleh seorang mahasiswa asal Indonesia yang menempuh pendidikan di Universitas Waseda Jepang dengan 6,87M Subscribers, yaitu Jerome Polin Sijabat atau yang biasa dikenal dengan panggilan Jerome.
Dalam akun Youtube yang bernama Nihongo Mantappu, ia membagikan perjalanan kehidupannya selama menempuh pendidikan di negeri Sakura Jepang. Beberapa konten Jerome juga tak jarang membahas seputar pendidikan, khususnya matematika terapan sesuai dengan jurusan yang ia ambil.
Selama menempuh pendidikan di Jepang, laki-laki itu menyadari bahwa ia perlu memahami kebiasaan yang ada di Jepang, karena ia akan menjalin relasi dengan mahasiswa atau penduduk asal Jepang maupun negara lainnya. Meskipun demikian, Jerome tetap menunjukkan identitas sosial yang dimilikinya, sebagai Warga Negara Indonesia.
Jerome memiliki The Multiple Faces Of Face karena perbedaan budaya identitas sosial dengan identitas yang ia miliki sebagai mahasiswa Universitas Waseda Jepang. The Multiple Faces Of Face seorang Jerome dapat terlihat pada pembukaan video dalam akun Youtube dengan cara membungkukan badan 45°, sebagaimana budaya Jepang, yakni memberi salam, memberi hormat dan meminta maaf.
Serta penggunaan dua bahasa yang ia satukan sebagai salam pembuka videonya, yakni bahasa Jepang Konnichiwa minna-san dan bahasa Indonesia ‘mantap jiwa’ yang menjadi ciri khas dari dirinya. Interaksi yang sering ditunjukkan oleh Jerome dengan teman-temannya inilah yang disebut positive face. Mereka berinteraksi dengan menggunakan kalimat dan nada yang sopan, sehingga publik menyukai dan mengagumi karakter dari seorang Jerome Polin.
Pemilik akun Nihongo Mantappu ini memiliki jiwa yang ambisius dalam meraih masa depan, sehingga ia mampu menerima beasiswa di Jepang. Budaya individualistik telah melekat dalam tubuh Jerome, karena ia merupakan seorang mahasiswa yang independen. Meskipun Jerome sudah memiliki kerabat di Jepang, tetapi itu tidak menjadikan Jerome menjadi ketergantungan terhadap orang lain.
Ia membuat konten di media sosial sebagai bentuk pemenuhan kepentingan pada dirinya. Berkuliah dengan membuat konten bukan hal yang mudah dilakukan, tetapi upaya kerja keras Jerome merupakan sesuatu yang menghasilkan dan menguntungkan terhadap dirinya. Dengan pembuatan konten di media sosial dan keberhasilannya di kampus menunjukkan Jerome sudah menjadi kebanggan kedua orang tuanya disamping itu juga ia sudah meringankan beban kedua orang tuanya.
Berkat rasa ulet yang dilakukan oleh Jerome dalam pembuatan konten edukasi dan hiburan, menjadikan publik menilai sosok Jerome adalah seorang yang cerdas, sopan dan menyenangkan. Mahasiswa Jepang asal Indonesia itu juga jauh dari berita miring, sebab ia melakukan pendekatan kepada publik juga dengan Instagram dan Twitter. Pendekatan yang dilakukan Jerome bukan untuk membuka ruang privasinya tetapi hanya sekadar berinteraksi kepada pengikutnya. Maka ia tak pernah terlibat drama yang biasa terjadi pada public figure.
Penyelesaian permasalahan yang dilakukan Jerome pun dapat dilihat pada video sewaktu ia ingin pulang ke Indonesia, tetapi ia mengalami penundaan penerbangan pesawat dalam proses perjalanan pulang. Ia melakukan strategi masalah dengan Compromising dan Integrating kepada pihak maskapai untuk mendapatkan solusi. Strategi masalah ini dilakukan lantaran dipengaruhi oleh budaya individualistik sehingga menjadikan seorang Jerome Polin Sijabat menyelesaikan masalah tanpa melibatkan orang lain. Hal ini memberi makna bahwa “wajah” Jerome adalah seorang public figure yang patut dicontoh.
Penulis: Tesya Sonia, Ilmu Komunikasi, Semester 6.
Tulisan opini ini merupakan tanggungjawab penulis dan di luar tanggungjawab redaksi aspirasionline.com.