Neoliberalisme dalam Manufakturisasi Kurikulum Pendidikan

Nasional

Tergesernya konsepsi pendidikan dari marwahnya,  membuat otoritarianisme modern dalam konsep kapitalisme pendidikan terwujud dalam manufakturisasi kurikulum.

Aspirasionline.com – Selasa, (2/3) Seri Diskusi Kolektif Coreng Hitam Pendidikan, menghadirkan Diskusi Seri #2 bertajuk “Manufakturisasi Kurikulum dan Depolitisasi Mahasiswa.’’ Diskusi ini merupakan wujud kolaborasi antar Magister Administrasi Publik (MAP) Corner-Klub Manajemen dan Kebijakan Publik (MKP) Universitas Gadjah Mada (UGM), Social Movement Institute (SMI), LDP UNY, Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung UGM, dan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Kognisia.

Tema tersebut berangkat dari anggapan, bahwa saat ini neoliberalisme secara kelembagaan di perguruaan tinggi telah merajalela dalam konteks tumbuh suburnya kapitalisme pendidikan. Sehingga kepercayaan akan pasar yang menjadi jalan keluar dari segala permasalahan dalam kehidupan, merupakan tanda dari adanya konsep neoliberalisme.

Dosen Fakultas Hukum UGM, Agung Wardana mengatakan, berkaitan dengan konsep tersebut, setidaknya terdapat dua strategi yang dikembangkan dalam dunia pendidikan. Yakni, agenda pasar dalam pendidikan dan agenda pasar untuk pendidikan.

Agung menjelaskan, market agenda in education didorong untuk memastikan bahwa pendidikan tinggi menjadi proses untuk mereproduksi ideologi dan ekonomi pasar. Dalam konteks ini,  kurikulum menjadi sasaran agar bisa masuk dalam kebutuhan pasar. Sehingga, kontrol negara dalam agenda ini menjadi sangat ketat.

‘’Kenapa kontrol ini penting? karena negara ingin memastikan bahwa proses pendidikan yang tidak sejalan dengan kebutuhan pasar harus segera dihapus,’’ ucap Agung.

Lebih lanjut, Agung menjelaskan, terkait market agenda for education. Yakni, sebuah agenda untuk mengubah pendidikan menjadi komoditas jasa, dimana entitas manapun bisa menjadi service provider.

Dalam agenda ini, negara seakan melepaskan kontrol pada lembaga pendidikan, dalam rangka menciptakan arena yang mensejahterakan bagi seluruh pelaku usaha pendidikan. ‘’Sehingga mereka bisa bertarung untuk merebut mahasiswa dan menjadikan pendidikan sebagai pasar untuk memperoleh keuntungan,’’ jelas laki-laki itu.

Neoliberal Menurunkan Kolegalitas di Antara Akademis Perguruan Tinggi

Pendekatan non profit yang dahulu digaungkan oleh perguruan tinggi untuk membangun karakteristik mahasiswa yang kritis, lambat laun pun terkikis oleh kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan negara. Agung mengatakan, perguruan tinggi saat ini dikelola menggunakan pendekatan korporasi dalam mempengaruhi berbagai aspek yang terdapat di perguruan tinggi.

Hal itu terlihat dari pemberlakuan akreditasi karya ilmiah, seperti, sinta science dan teknologi index yang dilakukan sebagai syarat untuk mendongkrak akreditasi di setiap perguruan tinggi pun, menjadi salah dua instrumen berkembangnya neoliberalisme di kalangan akademis.

Agung pun menyebutkan, pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh seluruh akademisi kampus, nyatanya hanya sebatas pada pemenuhan indeks semata

“Produktivitas mereka diletakkan dalam sebuah indeks yang kemudian akan diperingkat dan disertai  iming-iming award, apabila mereka mampu mencapai posisi yang paling tinggi dalam kompetisi ini,” ucap Agung.

Belum lagi, Agung menyinggung, terkait kecurangan-kecurangan yang timbul, seperti plagiarisme publikasi karya jurnal. Tindakan itu sempat menghebohkan dunia pendidikan Indonesia, ketika diangkat menjadi pembahasan dalam suatu berita.

Agung juga menambahkan, saat ini akademisi lebih mementingkan dirinya sendiri untuk mendapat sanjungan dan insetif dari pihak kampus. Sehingga, kerap kali membuat akademisi menghalalkan segala cara untuk memenangkan kompetisi yang dibuat.

“Menurut saya, kita tidak cukup hanya melihat itu sebagai faktor moral bahwa pelaku-pelaku tersebut adalah orang-orang bejat,” jelas Agung.

Dalam konteks lain, Agung melihat dalam perspektif yang lebih luas. Yakni, berkaitan dengan neoliberalisme pendidikan.

Pembatasan Kebebasan Mahasiswa

Senada dengan Agung, Founder Social Movement Institute, Eko Prasetyo menganggap, semenjak disahkannya peraturan pemerintah terkait dengan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH), membuat mahasiswa tumbuh dalam perubahan tata kelola perguruan tinggi yang berbeda. Tak hanya terkait perubahan kurikulum, kebijakan yang diberlakukan oleh perguruan tinggi, membuat mahasiswa berpikir dua kali untuk melakukan pergerakan. Terutama, dalam menyampaikan pendapatnya terkait isu permasalahan yang tengah terjadi.

“Hal ini yang menyebabkan banyak mahasiswa yang tidak ikut pergerakan, karena aturan kampus yang makin hari makin mengontrol pikiran dan badan mahasiswa itu sendiri,” ungkap Eko.

Eko menambahkan, pembungkaman terhadap mahasiswa yang tidak sejalan dengan visi kampus pun sudah sangat nyata terlihat. Pembubaran Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), pembredelan LPM, hingga pemberian surat Drop Out (DO) untuk mahasiswa yang menyuarakan pendapat, menjadi bukti otoriterisme kampus yang semakin berkembang.

Menurut Eko, pembatasan yang dilakukan oleh kebanyakan perguruan tinggi bukan tanpa alasan. Hal itu didasarkan pada legitimasi dan keuangan kampus yang dianggap tidak bisa hanya mengandalkan mahasiswa. Sehingga dibutuhkannya dana tambahan dari pihak tertentu yang membuat kampus mudah untuk diintervensi.

Sebelum menutup diskusi itu, Eko menegaskan, bahwa kesadaran politik sangat dibutuhkan oleh kalangan mahasiswa saat ini. “Jadi politik itu kegiatan bukti, bukan hanya menunggu momen atau menunggu isu, ya. Seperti aksi kamisan kita harus menyatukan,” tutup Eko.

Reporter : Suci Amalia. | Editor: Azzahra Dhea.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *