Acuhnya Penyiaran Terhadap Hak Publik Akibat Jakarta Sentris

Nasional

Pemberitaan yang sentralistis terhadap Jakarta pada media-media arus utama bukanlah suatu hal yang baru, melainkan sudah menjadi hal yang mendarah daging dalam pemberitaan media.

Aspirasionline.com – Terjadinya kasus sentralistis dalam pemberitaan di Indonesia bukanlah suatu rahasia lagi. Wisnu Prasetya Utomo selaku peneliti Media Remotivi, mengatakan ada beberapa alasan hal tersebut dapat terjadi, salah satunya karena media-media mainstream terletak di Jakarta. Dalam konteks televisi, ia menuturkan bahwa hal ini terjadi karena sistem penyiaran di Indonesia masih sentralistis sehingga menyebabkan adanya anggapan televisi-televisi mainstream merupakan televisi nasional bukan televisi daerah. “Sebenarnya jika kita bicara kerangka UU Penyiaran maka tidak ada yang namanya televisi nasional, melainkan televisi berjaringan,” Ujar Wisnu kepada ASPIRASI pada Rabu, (22/02).

Wisnu menambahkan bahwa dengan logika sebelumnya, televisi dapat dikatakan sah apabila masing-masing televisi meng-cover daerahnya sendiri. Tetapi, yang terjadi ialah sebuah kerancuan dan stasiun televisi yang masih sentralistis. Sehingga jika ada pemberitaan daerah seolah-olah menjadi pemberitaan nasional karena cakupan televisi tersebut yang luas. Wisnu mengatakan bahwa yang menjadi masalah ialah ketika Jakarta sebagai fokus utama, karena sesuai amanat UU Penyiaran ada hak publik untuk tahu dan tugas medialah memberitakan informasi yang relevan bagi publik daerah.

Dilihat dari segi bisnis, hal ini terjadi karena perputaran ekonomi televisi terjadi di Jakarta baik dari segi pengiklan atau segi konsumen. “Meskipun logika bisnis dapat dipahami tetapi hal tersebut tidak bisa dijadikan suatu pembenaran, karena dalam kerangka frekuensi publik televisi harus melayani pembaca dengan cara memberikan informasi yang relevan,” jelas Wisnu. Menurut pria berumur 28 tahun tersebut, berita-berita yang sentralistik memberikan efek buruk terhadap kualitas informasi yang diterima masyarakat.

Terjadinya sentralistik dalam pemberitaan inilah yang mengakibatkan hak publik dilupakan. Ketika berbicara mengenai frekuensi publik, kita harus paham ada hak-hak publik yang tidak boleh kita lupakan bahwa arus informasi harus diberikan dengan mempertimbangkan relevansi dengan kebutuhan masyarakat. Wisnu menerangkan bahwa publik memiliki sebuah mekanisme yang dapat memprotes atau menuntut terkait konten isi siaran yang difasilitasi oleh KPI melalui program Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).

Sementara itu pria lulusan Universitas Gadjah Mada itu mengkatakan, akar permasalahan ada pada pemberlakuan Sistem Siaran Jaringan (SSJ), dari UU Penyiaran No 32 Tahun 2002. “Selama ini usaha untuk merevisi UU Penyiaran agar lebih progresif telah dilakukan sejak 2009, akan tetapi selalu mentok,” tutur Wisnu. Ia menambahkan dengan diterapkannya UU Penyiaran tersebut, maka tidak ada lagi ke khawatiran pemberitaan yang ada akan Jakarta Sentris. “Karena ketika hal itu berjalan akan ada kejelasan terhadap pembagian isi konten dari pusat dan konten daerah,” terang Wisnu.

Lanjut Wisnu, ada tiga pihak utama agar penyiaran tidak tersentralasitik di Jakarta, yakni televisi, regulator penyiaran (baca:KPI), dan infrastruktur penyiaran (baca:Kominfo). Wisnu sendiri yakin bahwa UU Penyiaran ini dapat dilakukan di Indonesia, menurut Wisnu semangat UU penyiaran itu sendiri sudah bagus akan tetapi masih butuh adaptasi dari UU tersebut. “Yang menjadi pertanyaan adalah, pihak-pihak yang berkaitan ini mau menerapkannya atau tidak?” tutup Wisnu.

Reporter : Taufiq Mg. |Editor : Sandy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *